Oleh : Irving Kahar Arifin
Diperkirakan untuk belanja barang dan jasa adalah sekitar 40 persen atau sekitar Rp730 trilliun.
Tentunya dengan angka yang sangat fantastis ini akan menimbulkan gairah bisnis bagi masyarakat jasa konstruksi, konsultansi, barang dan jasa lainnya, untuk berupaya menikmati dan ambil bagian dari ”kue” tersebut.
Dalam kaitan ini, di satu sisi fenomena otonomi daerah telah menciptakan daerah-daerah dengan APBD-nya besar, dan sekaligus juga akan mendongkrak lahirnya badan-badan usaha jasa konstruksi, konsultansi, barang dan jasa lainnya yang baru, dengan harapan akan dapat mencicipi “kue-kue” dari APBD yang besar tersebut.
Pengadaan barang dan jasa adalah merupakan kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja perangkat daerah atau institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan keperluan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa tersebut (Perpres No 54, 2010, Pasal 1). Proses yang dimaksud disini, di antaranya adalah melalui proses pemilihan penyedia barang dan jasa atau yang lebih dikenal dengan proses lelang.
Adalah benar, jika salah satu indikator dalam menetapkan dan memilih penyedia barang dan jasa pada proses lelang tersebut berdasarkan harga penawaran yang disampaikan. Setelah itu, harga penawaran yang seperti apa yang dapat memenangkan proses lelang tersebut?
Jika salah satu indikator penetepan pemenangnya adalah harga, apakah harga yang terendah, atau harga yang tertinggi dalam suatu penawaran?
Merujuk Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 dan perubahannya Perpres No 70 tahun 2012, menyatakan bahwa pemenang lelang adalah penawaran terendah responsif yang memenuhi syarat.
Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, pada pekerjaan konstruksi, Unit Layanan Pengadaan (ULP) sering menetapkan pemenang lelang pekerjaan kepada rekanan yang menyampaikan penawaran dengan nilai, 30 persen sampai 40 persen di bawah nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS), bahkan ada yang lebih dari itu.
Tentunya akan timbul pertanyaan apakah penawaran ini memenuhi syarat, atau juga penawaran dapat dipertanggungjawabkan, selanjutnya apakah dalam pelaksanaannya nanti dapat diselesaikan sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam dokumen kontrak, ataukah juga memang HPS-nya terlalu tinggi dari standar harga yang berlaku di pasaran?
Kalaulah hal ini terjadi dan dilakukan berarti ada indikasi mark up HPS. Kemudian pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara membuat perhitungan HPS itu sebenarnya? Namun, sebelumnya harus dipertanyakan juga dahulu apa itu HPS, dan mengapa HPS tersebut dibuat, sehingga nantinya ada persamaan presepsi dan tidak menimbulkan kecurigaan dan kegamangan.
HPS atau Owner’s Estimate merupakan harga yang dihitung oleh pengguna jasa yang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/ Pengguna Anggaran (PA)/ Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) secara professional dengan mempertimbangkan segi teknis pekerjaan, nilai ekonomis konstruksi,dan kemampuan dana yang ada, dengan mengacu kepada peraturan yang berlaku untuk mendapatkan harga yang optimal (wajar). HPS dibuat untuk mengendalikan spekulatif harga penawaran.
Jika merujuk pada penentuan HPS itu, bayangkan saja jika perusahaan yang ditetapkan oleh kelompok kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) tersebut adalah perusahaan yang melakukan penawaran dengan nilai 40 persen dari nilai HPS, artinya perusahaan tersebut akan melaksanakan pekerjaan tersebut dengan rincian nilai; 45 persen dari nilai HPS, dengan perhitungan 40 persen nilai terbuang, 10 persen pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPh) sebesar 2,5 persen serta restribusi dan pajak lainnya sekitar 2,5 persen sehingga total menjadi 55 persen.
Tentunya perusahaan tersebut juga akan memperhitungkan keuntungan perusahaan, apakah itu wajar? Memang benar setiap HPS atau OE telah memperhitungkan keuntungan (profit) sebesar 10 persen pada setiap analisa harga satuannya, namun jika nilai penawaran telah mencapai dibawah 80 persen dari nilai HPS atau OE tersebut, metode kerja mana seperti apa yang dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut, hingga akhirnya fenomena “kereta kencana” akan terjadi lagi.
Di Eropa dan Amerika, atau negara-negara maju lainnya, proses pelelangan (International Competitive Bidding) tidak pernah menggunakan Harga Perkiraan Sendiri atau Owner’S Estimated, cukup dengan memberikan EE (Engineering Estimated) ataupun gambar rencana dan spesifikasi teknis sebagai acuan untuk melakukan penawaran.
International Competitve Bidding lebih mengutamakan penawaran yang menyampaikan metode kerja dan nilai rekayasa teknis (value engneering) guna penyelesaian suatu pekerjaan, termasuk program pengawasan dan pengendalian terhadap mutu (standard ISO) dan tata laksana kerja (Kesehatan Keselamatan Kerja – K3) merupakan suatu ukuran pasti yang tidak akan mungkin ditawar lagi.
Kembali ke awal lagi terhadap aturan yang dituangkan pada Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 serta perubahannya Peraturan Presiden No 70 Tahun 2012 pemenang lelang adalah penawaran terendah responsif yang memenuhi syarat.
Secara langsung kita harus menggaris bawahi pernyataan rensponsif dan memenuhi syarat tersebut apa maksudnya? Secara hirarki, penawaran terendah responsif yang memenuhi syarat tersebut maksudnya adalah penawaran terendah yang telah melalui proses evaluasi administrasi, teknis, harga dan kualifikasi. adapun seluruh tahapan evaluasi tersebut telah disampaikan di dalam dokumen lelang secara transparan, baik dengan sistem gugur ataupun secara sistem poin atau nilai.
Penetapan pemenang lelang bukan didasarkan bahwa perusahaan tersebut selalu memenangkan pekerjaan yang sama atau juga bukan karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan negara (BUMN) yang pengalaman kerjanya segudang, akan tetapi yang paling menentukan adalah bagaimana perusahaan tersebut dapat menyusun dan menyampaikan dokumen penawarannya sesuai dengan yang diminta dan disyaratkan oleh dokumen lelang pada saat itu dan dapat dipertanggungjawabkan.
Adalah manusiawi jika perusahaan yang kalah dalam proses lelang dan penawarannya lebih rendah dari pemenang lelang yang telah ditetapkan, akan selalu membuat pernyataan dan tudingan negatif, seperti; ULP telah bertindak deskriminsi, ULP bermain mata dengan pemenang, dan pernyataan-pernyataan lainnya yang mendiskreditkan ULP, bahkan ada yang menyatakan bahwa negara telah dirugikan sebesar selisih nilai antara pemenang dengan nilai penawaran terendah.
Namun sayangnya, itu hanya tudingan yang dihembuskan, tanpa ada membuat tudingan yang disampaikan itu dalam bentuk sanggahan yang disampaikan kepada ULP.
Di samping itu tidak pernah disampaikan apalagi sanggahan banding yang diwajibkan menyetor jaminan sanggahan kepada negara dengan nilai dua persen dari HPS, sehingga yang terjadi adalah laporan dugaan kecurangan ULP pun melayang-layang kepada aparat hukum dengan harapan ULP tersebut diperiksa dan terbalaskan sakit hatinya. Itulah fenomena yang terjadi saat ini.***(ak27)
Irving Kahar Arifin
Kepala Dinas Binamarga dan Pengairan Kabupaten Siak
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.