Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Selasa, 28 Januari 2014

Kesalahan Kemendagri soal Lima Desa

Selasa, Januari 28, 2014 By Unknown No comments

Oleh : Wilham Murdianto


[ArtikelKeren] OPINI - Meskipun Undang-undang No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) telah dua kali diubah, yakni dengan UU No.9/2004 dan UU No.51/2009, namun persoalan sering mangkirnya badan atau pejabat tata usaha negara terhadap putusan PTUN yang telah inckracht (berkekuatan hukum tetap) ternyata belum juga terselesaikan.

Salah satunya terbukti dari putusan Mahkamah Agung (MA) No.395 K/TUN/2011. Adapun putusan tersebut pada intinya berisi tentang pembatalan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No.17/B/2011/PT.TUN.JKT, dan menguatkan putusan PTUN Jakarta No.65/G/2010/PTUN-JKT yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (SK Mendagri) No.135.6/824/SJ tanggal 2 Maret 2010 tentang penegasan status lima desa yang dipersengketakan oleh Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu.

Sekedar mengingatkan, kelima desa itu adalah desa Tanah Datar, Rimba Jaya, Rimba Makmur, Muara Intan, dan Intan Jaya.

Sebelumnya berdasarkan keputusan Mendagri yang disebut di atas, kelima desa itu disebut masuk wilayah Rohul. Tidak terima dengan keputusan itu, Badan Perwakilan Desa (BPD) lima desa tersebut mengajukan gugatan tata usaha negara, hingga kemudian berlanjut sampai tingkatan kasasi.

Kesalahan Kemendagri

Kalaulah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) taat hukum, semestinya begitu salinan putusan MA itu diterima, Kemendagri segera menindaklanjuti dengan membatalkan Keputusan Mendagri Nomor 135.6/824/SJ dan menerbitkan keputusan baru yang sesuai dengan amar putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh MA.

Sebagaimana diketahui paling lambat 14 hari setelah pembacaan putusan, salinan putusan telah diterima oleh para pihak. Namun baru pada 31 Mei 2013 putusan itu disikapi Kemendagri.

Itupun tidak dengan mengeluarkan keputusan baru yang sesuai dengan amar putusan pengadilan, tetapi justru dengan mengeluarkan Surat Mendagri No.135.6/2779/SJ yang memerintahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dalam hal ini Gubernur Riau untuk melaksanakan percepatan penegasan batas daerah antara Kampar dengan Rohul. Karena penetapan tapal batas wilayah antara kabupaten kewenangan dari Pemerintah Provinsi Riau.

Padahal sebelumnya pada tahun 2005 Pemprov Riau telah mengeluarkan Pergub No.30/2005 tentang penegasan status wilayah administrasi pemerintahan lima desa tersebut.

Keluarnya Pergub itu diawali pertemuan antara Pemkab Kampar dengan Rohul yang difasilitasi Pemprov Riau pada 8 September 2005 untuk melaksanakan perundingan, yang menghasilkan kesepakatan melalui berita acara kesepakatan tentang penyelesaian kasus over lapping kelima desa tersebut.

Kesepakatan itu antara lain menurunkan Tim Teknis Penataan dan Penegasan Batas Daerah (PPBD) provinsi bersama Tim Teknis PPBD kedua kabupaten.

Berdasarkan rekomendasi dari Tim PPBD itulah, maka kemudian ditetapkan Pergub No.30/2005 yang menyebutkan bahwa lima desa masuk dalam wilayah administrasi Pemkab Kampar.

Tindakan Kemendagri itu sama artinya dengan mementahkan sesuatu yang telah matang, dan itu bukan tanpa risiko, buktinya sampai hari ini persoalan itu tidak terselesaikan Pemprov.

Bahkan sengketa di lima desa itu sudah mengarah pada bentrok fisik. Kemudian selain itu, apapun yang akan diputuskan Pemprov nanti akan sangat rawan dengan gugatan kembali, sehingga sengketa akan terus berkepanjangan.

Bukan kali ini saja Kemendagri tidak taat putusan pengadilan terkait sengketa lima desa ini. Sebelumnya pada tahun 2010 Kemendagri juga mengeluarkan surat keputusan (SK) yang tidak sejalan dengan putusan MA.

Ketika itu atas gugatan Pemkab Rohul MA membatalkan Pergub No.30/2005 dengan dalil bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat 10 UU No.53/1999 (UU tentang pembentukan Kabupaten Rohul dan beberapa kabupaten lainnya), yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan batas wilayah adalah Mendagri.

Berdasarkan putusan MA itu seharusnya yang dilakukan Kemendagri ketika itu adalah mengambil alih penetapan dari Gubernur dengan tetap sesuai rekomendasi Tim PPBD.

Tetapi yang dilakukan Kemendagri justru sebaliknya, bertolak belakang dengan rekomendasi Tim PPBD Riau. Melalui SK Mendagri No. 135.6/824/SJ tanggal 2 Maret 2010 kelima desa dimasukkan ke dalam wilayah Rohul.

Kembali Surat Mendagri No.135.6/2779/SJ tanggal 31 Mei 2013 yang memerintahkan Gubernur Riau untuk melaksanakan percepatan penegasan batas daerah antara Kampar dengan Rohul, selain mementahkan sesuatu yang telah matang, dengan surat itu Kemendagri terkesan lari dari tanggung jawab.

Padahal kisruh ini bisa dikatakan diawali oleh kesalahan Kemendagri sendiri, oleh karena itu seharusnya Kemendagri pulalah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannnya.

Tidak sejalannya apa yang dilakukan Kemendagri dengan putusan pengadilan (MA), dapat dilihat sebagai contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan).

Mengutip buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan MA (halaman 9), salah perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan adalah tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders), dua putusan MA terkait sengketa lima desa tersebut sekaligus merupakan perintah pengadilan.

Atas penghinaan pengadilan yang dilakukan Kemendagri secara berulang-ulang itu, melalui tulisan ini saya berpendapat pihak-pihak yang berkompeten untuk melayangkan somasi kepada Mendagri untuk mencegah hal-hal serupa kembali dilakukan Kemendagri di kemudian hari.

Selain itu gugatan ke PTUN saya kira juga bisa ditempuh atas dikeluarkannya surat Mendagri No.135.6/2779/SJ atau tidak dikeluarkannya penetapan sebagaimana amanat putusan MA No.395 K/TUN/2011, merujuk pada Pasal 3 ayat (1) UU PTUN; Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (yang dapat menjadi obyek gugatan tata usaha negara).

Pemprov Riau yang telah dijadikan bumper oleh Kemendagri harus bijak dalam menangani ini, agar persoalan ini segera tuntas.

Melibatkan kedua kabupaten yang bersengketa adalah hal yang wajib dilakukan. Kemudian apapun hasilnya nanti, Pemprov Riau mesti mengkomunikasikannya dengan Kemendagri terlebih dahulu sebelum ditetapkan, agar apa yang terjadi dengan Pergub No.30/2005 tidak terulang kembali.***(ak27)



Wilham Murdianto
Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi Indonesia (PSKI) UIR


http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN