[ArtikelKeren] CERPEN - Untuk yang ketiga-kalinya aku kembali menyeduh kopi. Berarti sudah dua gelas besar ukuran mug beer, kopi yang kulicin tandaskan dan berpindah ke perut. Sebetulnya kopi ini bukanlah kopi pilihan yang selalu kuminum sebagai pemuas hasrat, penghangat badan dan pereda kantuk saat bekerja. Namun apa boleh buat, hanya ini yang ada. Kopi bubuk milik Kandar, budak se kampung yang numpang kost di rumah kami, dan Kandar bukanlah penikmat kopi sejati. Bagi dia kopi itu sama saja rasanya dan ketika pernah kucoba mencicipi kopi seduhan Kandar, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa kopinya Kandar adalah gula yang dibubuhi sedikit kopi, bukan sebaliknya, kopi yang diberi gula sekadarnya.
Akhir akhir ini, setiap aku menyalakan komputer, ingin bekerja dan ingin menekan huruf huruf yang tertera pada keyboard, mengarang cerita dari sekian puluh cerita yang pernah dihasilkan. Perasaan muak, bosan dan benci selalu saja semakin menghimpit. Bahkan perasaan itu terkadang muncul juga pada saat menjelang tidur. Seharusnya dan sudah menjadi keinginan setiap orang, bahwa pada saat peralihan dari sadar ke tidak sadar, ingin selalu diantar oleh kekosongan pikiran, atau oleh bayang-bayang yang menyenangkan dengan harapan, akan terbawa menjadi mimpi yang menjadi musik merdu dan gambaran indah penyerta tidur.
Perasaan muak, bosan dan benci pada sebuah nama yang aku sendiri tak mengerti entah apa penyebabnya. Sebuah kebosanan yang beralasan lemah untuk menuju pada sebuah perceraian. Bosan yang sudah seharusnya untuk ditimbang-timbang masak sebelum membuat keputusan. Sangat kecil sekali alasan untuk membuang begitu saja sebuah nama yang sudah bertahun-tahun dekat dan lekat dalam pikiranku. Sebuah nama yang bertahun-tahun kusanjung kupuja dan menjadi rahasia khalayak, bahwa di mana ada aku, di sana ada dia. Bak ‘’Mimi lan Mintuno’’ atau ‘’Rama dan Shinta’’ dalam legenda Jawa, atau ‘’Sampek dan Engtay’’ dalam cerita China, atau juga seperti ‘’Romy and Juli’’ yang menjadi kekasih abadi sampai ke akhir hayat.
Sebuah nama yang telah memberikan segala-galanya dalam perjalanan hidupku, baik kepuasan batin maupun lahir yang sampai saat ini masih kunikmati. Untuk menjadi yang setia dan jujur, tampaknya memang sulit dan perlu pengorbanan yang maha besar. Odiseus dan Penelope pasangan percintaan dari Yunani ini yang sejati memahami makna pengorbanan. Setelah dicabik-cabik, mereka menunggu hari-hari yang panjang yaitu dua puluh tahun untuk bertemu kembali. Perang menyebabkan Odiseus menghilang tak lama setelah pernikahannya dengan Penelope. Meskipun keadaan memberikan hanya sedikit harapan kembalinya sang suami, ia menolak 108 pelamar yang ingin menggantikan suaminya. Begitupun Odiseus sama-sama setia, menolak tawaran seorang penyihir yang cantik dan memang bahwa cinta sejati adalah layak ditunggu. Begitu juga halnya dengan Mintuno yang mengorbankan segalanya untuk selalu lengket dengan Mimi, Rama yang berdarah darah merebut Shinta dari Rahwana dengan bantuan Hanoman dan Jatayu, Sampek yang mati sekubur dengan Engtay dan konon melanjutkan kebahagian mereka di Nirwana sana, begitu juga dengan Romy dan Juli yang rela mati bersama demi cinta.
‘’Mengapa aku tak bisa jadi mereka?’’ Tak mampu menjadi Horase tokoh fiksi dalam cerita pendek yang berulang kali kubaca, yang dengan cinta kasih tulus tak terhingga, rela melawan jijik dan busuk kudis tubuh Lisbeth, ‘’kekasih batinnya’’ yang terseok-seok telanjang bulat, berjalan di pelataran gerbang ‘’Bandar Serai’’, lalu membersihkan, membawanya pulang dan merawatnya. Walau kebusukan dan kekotoran Lisbeth tersebab oleh pilihan sendiri, menggauli dan digauli para sembarang lelaki yang kini menghindar jauh dan semakin jauh, karena tak sudi menghidu bau busuk di tubuh malang Lisbeth dan mungkin, boleh saja terjadi ada satu atau dua diantara mereka yang lebih gila dari orang gila betulan, karena ingin gratis dan ‘’alih-alih rasa’’, tetap saja menggauli Lisbeth si busuk kotor.
Pendapat ini bukan tak beralasan, karena pada kenyataannya sangat banyak perempuan kotor, busuk bahkan gila betulan yang bunting berulang kali namun tak berlaki dan yang jelas para lelaki yang lebih gila itu, tentulah bukan Horase si pecinta abadi.
Horase adalah Horase dan Horase bukanlah aku, yang kini sama sekali tak dapat menggerakkan jari jemari menekan tuts huruf dan angka pada keyboard komputer.
Mataku yang semakin nanar menatap layar komputer dengan baris kalimat yang mengalami macet, terhenti bagai antrian panjang kemacetan jalan raya selama berminggu minggu. Tangan dengan jemari kokoh, meremas remas mouse yang terletak di samping keyboard tak dapat menghasilkan apa apa, kecuali kelelahan batin yang bermuara pada ngilunya sendi sendi pergelangan dan denyut kepala yang semakin menjadi, menahan kebencian tak wajar pada sebuah nama.
Selintas terpikir juga akan alasan yang dipaksakan, untuk dapat meyakinkan bahwa bisa saja aku menghapus namanya dengan rasa ego yang tinggi dan tak berbelas kasih. Karena bukankah aku adalah satu satunya penentu yang boleh atau tidak boleh memasukkan namanya dalam pikiran dan relung hati ini! Bukankah aku, orang satu satunya yang sangat berjasa dan menjadikan ia sebagai primadona di mata masyarakat. Menjadikan ia panutan para perempuan, para gadis belia dan ibu-ibu, yang memberikan kesempatan padanya untuk melanglang buana ke manca negara, yang membuat banyak lelaki merasa iri karena keberhasilanku membuat sebuah nama jadi perempuan cantik, pintar yang setia sekaligus berprediket, ‘’Perempuan Perkasa.’’
Namun segala pikiran dan alasan seperti yang kurasakan, masih belum kuat untuk menghapus begitu saja, sebuah nama yang terlalu besar dan tentu akan menimbulkan berbagai pikiran tak baik yang ditujukan padaku, dari berjuta khalayak penyanjung dan pecintanya.
Dentang lonceng dari gardu ronda yang dipukul para penjaga malam terdengar empat kali. Kini hanya tinggal empat jam, waktu yang diberikan untuk sampai pada keputusan akan perceraianku dengan sebuah nama, atau melanjutkan hubungan kami dan menetapkan ia sebagai bahagian abadi dari kehidupan yang telah kulalui lebih dari separoh jalan.
Kegugupan yang timbul akibat janji yang kubuat dan kebencian beralasan bosan dari sosok yang kujadikan sempurna lengkap dengan kecantikan, kepintaran dan kesetiaannya. Kecamuk pikiran yang mengalirkan kucuran deras peluh dingin pada subuh menjelang azan, membuat aku seakan semakin berada pada ruang gelap tak berpelita.
Dengan sepitan ibu-jari dan telunjuk, kuraih lempengan metal penarik kancing lipan di dada dari jacket penahan dingin subuh yang kukenakan. Tiba pada tarikan menjelang akhir, tepatnya pada pangkal leher aku mendengar suara gaduh dari televisi yang memang sengaja tidak kumatikan. Aku berpaling dan mengarahkan pandang ke kaca televisi. Ketertarikan pada adegan yang tergambar, membuat aku semakin memelototkan mata.
‘’Kau, kau Shakila. Sungguh tega kau menghianati aku. Kau bunuh bara cinta yang semakin marak di hatiku.’’ Terlihat cengeng dan sangat verbal kalimat pada adegan itu, namun begitulah film drama versi India yang sangat digemari berbagai kalangan terutama para nyonya yang pengangguran, pelahap duit laki dan banyak kehendak.
‘’Eh... ahch...’’ hanya itu yang keluar dari mulut Shakila, entah bahasa apa yang ia gunakan merespon kesal dan marah Prakash suaminya yang memergoki ia dan seorang pemuda tegap gagah sedang bergumul panas di ranjang kamar mereka, kamar Prakash dan Shakila.
‘’Ini dia, aku temukan. Eureka! Eureka!’’ Spontan aku berteriak girang, mematikan televisi dan mengalihkan padang berkonsentrasi penuh pada tuts keyboard yang dimainkan oleh jari jemariku sedemikian lancar tanpa hambatan. Sebuah ending dengan keputusan yang menentukan bahwa sebuah nama harus hapus dari ingatan ini.
Prakash, Shakila dan pemuda itu, telah menolongku dan memberikan inspirasi dan jalan yang cukup beralasan untuk menceraikan Vony, sebuah nama yang membuat aku kini merasa muak dan bosan ketika jari-jari ini menuliskan namanya.
Dingin yang tadi mencekam, sekarang berubah hangat menyegarkan. Aku tak lagi menggunakan jacket. Tak lagi setiap saat menuangkan air panas ke gelas yang berisi bubuk kopi dan gula untuk penyegar dan penghangat tubuh.
Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari pikiran kreatif, yang dicurahkan pada cerita roman- bersambung yang rutin dimuat di sebuah koran. Vony hanya melengos, pada ending episode cerita yang kubuat, ketika ia kupergoki dengan mata terkebil-kebil sedap, merasakan nikmat kejantanan dari perzinahannya dengan Desmond anak angkat, yang kami pelihara sejak Sekolah Menengah Pertama hingga kini kuliah di Perguruan Tinggi tingkat pertama.
Tak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain kata yang telah lama terpikirkan dan melompat lancar dari mulutku.
‘’Kalian berdua memang binatang! Mulai detik ini nama kau Vony, kuhapus dari pikiranku! Subuh ini kita resmi bercerai dan kau Desmond, inilah langkah awal dan akhir aku menyebut namamu dalam setiap pikiran kreatifku.’’
Seperti juga dengan Shakila, Vony sedikitpun tidak menggubris dan menganggap kalimat yang kuucapkan hanya sebagai angin lalu.
Aku berbalik meninggalkan mereka dengan senyum kemenangan dan rasa bebas, tanpa tekanan siap membuang nama Vony pada karya-karyaku selanjutnya. Karya cerita-bersambung episode mendatang.
‘’Selamat tinggal Vony!’’ dan episode cerita bersambung nomor ini usai menjelang subuh, kucopy ke flash disc dan kukirim via e-mail ke redaksi sesuai dengan janji tepat pada pukul delapan nanti.***(ak27/rp)
Dantje S Moeis
Adalah seniman perupa, penulis kreatif, pembina Sindikat Kartunis Riau (SiKaRi), redaktur majalah budaya Sagang, penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad). Kumpulan cerita pendeknya ‘’Semah Japura Laut’’ diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau/IKAPI, cerita pendek, esai budaya, puisi dan lainnya tersebar di berbagai media cetak dan buku-buku antologi.
Akhir akhir ini, setiap aku menyalakan komputer, ingin bekerja dan ingin menekan huruf huruf yang tertera pada keyboard, mengarang cerita dari sekian puluh cerita yang pernah dihasilkan. Perasaan muak, bosan dan benci selalu saja semakin menghimpit. Bahkan perasaan itu terkadang muncul juga pada saat menjelang tidur. Seharusnya dan sudah menjadi keinginan setiap orang, bahwa pada saat peralihan dari sadar ke tidak sadar, ingin selalu diantar oleh kekosongan pikiran, atau oleh bayang-bayang yang menyenangkan dengan harapan, akan terbawa menjadi mimpi yang menjadi musik merdu dan gambaran indah penyerta tidur.
Perasaan muak, bosan dan benci pada sebuah nama yang aku sendiri tak mengerti entah apa penyebabnya. Sebuah kebosanan yang beralasan lemah untuk menuju pada sebuah perceraian. Bosan yang sudah seharusnya untuk ditimbang-timbang masak sebelum membuat keputusan. Sangat kecil sekali alasan untuk membuang begitu saja sebuah nama yang sudah bertahun-tahun dekat dan lekat dalam pikiranku. Sebuah nama yang bertahun-tahun kusanjung kupuja dan menjadi rahasia khalayak, bahwa di mana ada aku, di sana ada dia. Bak ‘’Mimi lan Mintuno’’ atau ‘’Rama dan Shinta’’ dalam legenda Jawa, atau ‘’Sampek dan Engtay’’ dalam cerita China, atau juga seperti ‘’Romy and Juli’’ yang menjadi kekasih abadi sampai ke akhir hayat.
Sebuah nama yang telah memberikan segala-galanya dalam perjalanan hidupku, baik kepuasan batin maupun lahir yang sampai saat ini masih kunikmati. Untuk menjadi yang setia dan jujur, tampaknya memang sulit dan perlu pengorbanan yang maha besar. Odiseus dan Penelope pasangan percintaan dari Yunani ini yang sejati memahami makna pengorbanan. Setelah dicabik-cabik, mereka menunggu hari-hari yang panjang yaitu dua puluh tahun untuk bertemu kembali. Perang menyebabkan Odiseus menghilang tak lama setelah pernikahannya dengan Penelope. Meskipun keadaan memberikan hanya sedikit harapan kembalinya sang suami, ia menolak 108 pelamar yang ingin menggantikan suaminya. Begitupun Odiseus sama-sama setia, menolak tawaran seorang penyihir yang cantik dan memang bahwa cinta sejati adalah layak ditunggu. Begitu juga halnya dengan Mintuno yang mengorbankan segalanya untuk selalu lengket dengan Mimi, Rama yang berdarah darah merebut Shinta dari Rahwana dengan bantuan Hanoman dan Jatayu, Sampek yang mati sekubur dengan Engtay dan konon melanjutkan kebahagian mereka di Nirwana sana, begitu juga dengan Romy dan Juli yang rela mati bersama demi cinta.
‘’Mengapa aku tak bisa jadi mereka?’’ Tak mampu menjadi Horase tokoh fiksi dalam cerita pendek yang berulang kali kubaca, yang dengan cinta kasih tulus tak terhingga, rela melawan jijik dan busuk kudis tubuh Lisbeth, ‘’kekasih batinnya’’ yang terseok-seok telanjang bulat, berjalan di pelataran gerbang ‘’Bandar Serai’’, lalu membersihkan, membawanya pulang dan merawatnya. Walau kebusukan dan kekotoran Lisbeth tersebab oleh pilihan sendiri, menggauli dan digauli para sembarang lelaki yang kini menghindar jauh dan semakin jauh, karena tak sudi menghidu bau busuk di tubuh malang Lisbeth dan mungkin, boleh saja terjadi ada satu atau dua diantara mereka yang lebih gila dari orang gila betulan, karena ingin gratis dan ‘’alih-alih rasa’’, tetap saja menggauli Lisbeth si busuk kotor.
Pendapat ini bukan tak beralasan, karena pada kenyataannya sangat banyak perempuan kotor, busuk bahkan gila betulan yang bunting berulang kali namun tak berlaki dan yang jelas para lelaki yang lebih gila itu, tentulah bukan Horase si pecinta abadi.
Horase adalah Horase dan Horase bukanlah aku, yang kini sama sekali tak dapat menggerakkan jari jemari menekan tuts huruf dan angka pada keyboard komputer.
Mataku yang semakin nanar menatap layar komputer dengan baris kalimat yang mengalami macet, terhenti bagai antrian panjang kemacetan jalan raya selama berminggu minggu. Tangan dengan jemari kokoh, meremas remas mouse yang terletak di samping keyboard tak dapat menghasilkan apa apa, kecuali kelelahan batin yang bermuara pada ngilunya sendi sendi pergelangan dan denyut kepala yang semakin menjadi, menahan kebencian tak wajar pada sebuah nama.
Selintas terpikir juga akan alasan yang dipaksakan, untuk dapat meyakinkan bahwa bisa saja aku menghapus namanya dengan rasa ego yang tinggi dan tak berbelas kasih. Karena bukankah aku adalah satu satunya penentu yang boleh atau tidak boleh memasukkan namanya dalam pikiran dan relung hati ini! Bukankah aku, orang satu satunya yang sangat berjasa dan menjadikan ia sebagai primadona di mata masyarakat. Menjadikan ia panutan para perempuan, para gadis belia dan ibu-ibu, yang memberikan kesempatan padanya untuk melanglang buana ke manca negara, yang membuat banyak lelaki merasa iri karena keberhasilanku membuat sebuah nama jadi perempuan cantik, pintar yang setia sekaligus berprediket, ‘’Perempuan Perkasa.’’
Namun segala pikiran dan alasan seperti yang kurasakan, masih belum kuat untuk menghapus begitu saja, sebuah nama yang terlalu besar dan tentu akan menimbulkan berbagai pikiran tak baik yang ditujukan padaku, dari berjuta khalayak penyanjung dan pecintanya.
Dentang lonceng dari gardu ronda yang dipukul para penjaga malam terdengar empat kali. Kini hanya tinggal empat jam, waktu yang diberikan untuk sampai pada keputusan akan perceraianku dengan sebuah nama, atau melanjutkan hubungan kami dan menetapkan ia sebagai bahagian abadi dari kehidupan yang telah kulalui lebih dari separoh jalan.
Kegugupan yang timbul akibat janji yang kubuat dan kebencian beralasan bosan dari sosok yang kujadikan sempurna lengkap dengan kecantikan, kepintaran dan kesetiaannya. Kecamuk pikiran yang mengalirkan kucuran deras peluh dingin pada subuh menjelang azan, membuat aku seakan semakin berada pada ruang gelap tak berpelita.
Dengan sepitan ibu-jari dan telunjuk, kuraih lempengan metal penarik kancing lipan di dada dari jacket penahan dingin subuh yang kukenakan. Tiba pada tarikan menjelang akhir, tepatnya pada pangkal leher aku mendengar suara gaduh dari televisi yang memang sengaja tidak kumatikan. Aku berpaling dan mengarahkan pandang ke kaca televisi. Ketertarikan pada adegan yang tergambar, membuat aku semakin memelototkan mata.
‘’Kau, kau Shakila. Sungguh tega kau menghianati aku. Kau bunuh bara cinta yang semakin marak di hatiku.’’ Terlihat cengeng dan sangat verbal kalimat pada adegan itu, namun begitulah film drama versi India yang sangat digemari berbagai kalangan terutama para nyonya yang pengangguran, pelahap duit laki dan banyak kehendak.
‘’Eh... ahch...’’ hanya itu yang keluar dari mulut Shakila, entah bahasa apa yang ia gunakan merespon kesal dan marah Prakash suaminya yang memergoki ia dan seorang pemuda tegap gagah sedang bergumul panas di ranjang kamar mereka, kamar Prakash dan Shakila.
‘’Ini dia, aku temukan. Eureka! Eureka!’’ Spontan aku berteriak girang, mematikan televisi dan mengalihkan padang berkonsentrasi penuh pada tuts keyboard yang dimainkan oleh jari jemariku sedemikian lancar tanpa hambatan. Sebuah ending dengan keputusan yang menentukan bahwa sebuah nama harus hapus dari ingatan ini.
Prakash, Shakila dan pemuda itu, telah menolongku dan memberikan inspirasi dan jalan yang cukup beralasan untuk menceraikan Vony, sebuah nama yang membuat aku kini merasa muak dan bosan ketika jari-jari ini menuliskan namanya.
Dingin yang tadi mencekam, sekarang berubah hangat menyegarkan. Aku tak lagi menggunakan jacket. Tak lagi setiap saat menuangkan air panas ke gelas yang berisi bubuk kopi dan gula untuk penyegar dan penghangat tubuh.
Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari pikiran kreatif, yang dicurahkan pada cerita roman- bersambung yang rutin dimuat di sebuah koran. Vony hanya melengos, pada ending episode cerita yang kubuat, ketika ia kupergoki dengan mata terkebil-kebil sedap, merasakan nikmat kejantanan dari perzinahannya dengan Desmond anak angkat, yang kami pelihara sejak Sekolah Menengah Pertama hingga kini kuliah di Perguruan Tinggi tingkat pertama.
Tak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain kata yang telah lama terpikirkan dan melompat lancar dari mulutku.
‘’Kalian berdua memang binatang! Mulai detik ini nama kau Vony, kuhapus dari pikiranku! Subuh ini kita resmi bercerai dan kau Desmond, inilah langkah awal dan akhir aku menyebut namamu dalam setiap pikiran kreatifku.’’
Seperti juga dengan Shakila, Vony sedikitpun tidak menggubris dan menganggap kalimat yang kuucapkan hanya sebagai angin lalu.
Aku berbalik meninggalkan mereka dengan senyum kemenangan dan rasa bebas, tanpa tekanan siap membuang nama Vony pada karya-karyaku selanjutnya. Karya cerita-bersambung episode mendatang.
‘’Selamat tinggal Vony!’’ dan episode cerita bersambung nomor ini usai menjelang subuh, kucopy ke flash disc dan kukirim via e-mail ke redaksi sesuai dengan janji tepat pada pukul delapan nanti.***(ak27/rp)
Dantje S Moeis
Adalah seniman perupa, penulis kreatif, pembina Sindikat Kartunis Riau (SiKaRi), redaktur majalah budaya Sagang, penerima beberapa anugerah kebudayaan, pengajar Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru, illustrator cerpen Riau Pos (Ahad). Kumpulan cerita pendeknya ‘’Semah Japura Laut’’ diterbitkan oleh Yayasan Pusaka Riau/IKAPI, cerita pendek, esai budaya, puisi dan lainnya tersebar di berbagai media cetak dan buku-buku antologi.
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.