Oleh : Masduri
[ArtikelKeren] OPINI - Baru-baru ini publik digegerkan dengan kasus Ustad Solmed yang diberitakan memasang tarif dalam berdakwah. Kritik tajam berbau pelecehan terus bermunculan.
Tetapi akhirnya sang ustad meminta maaf, dan mengajak mengakhiri polemik tersebut. Kasus ini tentu menarik perhatian publik, sebab selama ini konstruksi pikiran masyarakat tentang dakwah berada dalam lingkaran suci.
Berdakwah dalam Islam sangat dianjurkan, bahkan bisa menjadi kewajiban. Karena itu, bila ada seorang ustad yang mengaitkan dakwah dengan kepentingan duniawi, dianggap sebagai penistaan agama.
Agama dalam masyarakat adalah simbol kesucian, dan dakwah menjadi jalan bagi tersampaikannya ajaran-ajaran agama. Sehingga menjadi niscaya bila ada ustad berdakwah memasang tarif dianggap sebagai penistaan dan tindakan memperjualbelikan ajaran agama.
Belakangan ini model dakwah sangat seksi, bahkan ustad pun laiknya artis. Kehadiran era digital dengan segenap perangkatnya, menembus batas-batas ruang dan waktu, sehingga ustad bisa manggung di dalam layar telivisi. Hal inilah yang oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dianggap sebagai dampak besar perubahan akibat globasilasi.
Jika dahulu untuk mendengar ceramah ustad harus bertatap muka secara langsung, tetapi kini ustad berceramah di Jakarta dengan diliput televisi, bisa disaksikan jutaan penonton di seluruh Tanah Air.
Manfaat luar biasa akibat globalisasi dapat kita nikmati secara nyata, meski kita tak juga mengelak banyak dampak buruk bagi kehidupan umat manusia. Sehingga pada posisi itu, kita harus menempatkan kemajuan globalisasi dalam proporsi yang benar.
Dengan digitalisasi dakwah, baik liputan secara langsung ataupun video yang dicetak dalam bentuk kaset dan file, telah melahirkan desakralisasi terhadap dakwah.
Jika selama ini dakwah secara langsung di depan masyarakat mendapat apresiasi luar biasa sebagai proses transfer pengetahuan keagamaan, kini dengan kehadiran digitalisasi dakwah, apresiasi semakin berkurang, bahkan apatisme masyarakat terhadap dakwah keagamaan semakin tinggi.
Masyarakat sekarang lebih suka menonton tayangan-tayangan yang menghibur ketimbang menambah penat akibat penyampaian dakwah yang kadang sangat sulit dicerna, atau penyampaian ustad yang lebih banyak guyonnya daripada subtansi ajaran keagamaan yang hendak disampaikan.
Bagi sebagian masyarakat ketimbang mendengarkan ustad yang terlalu banyak guyonnya lebih baik menyaksikan tayangan-tayangan koplak yang tidak dikemas dengan nuansa kegamaan, sebab mereka merasa risih jika ajaran agama dijadikan guyonan.
Ketika dakwah masuk ke dalam ranah digital, problem yang muncul kemudian adalah perubahan paradigma tentang dakwah.
Jika selama ini dakwah selalu lekat dengan dunia suci, selang pergantian waktu, menjamurnya digitalisasi dakwah telah mengubah pendakwah dan masyarakat pada mindset dakwah sebagai bisnis para pemilik media, sehingga selanjutnya pendakwah menganggap ketika dirinya diliput dan ditayangkan dalam televisi ataupun video, berati dirinya telah menjadi barang yang diperjual belikan.
Karena itulah, kemudian pendakwah banyak terbius oleh kepentingan duniawi dalam berdakwah. Sehingga mudah memasang tarif saat tayang di televisi ataupun diundang oleh seseorang untuk mengisi pengajian.
Akibatnya, pikiran masyarakat tentang ustad pendakwah juga kental dengan apatisme, sebab mereka secara nyata dapat melihat bagaimana dakwah keagamaan kini menjadi ajang bisnis.
Kemunculan kasus Ustad Solmed mungkin hanya sedikit dari kasus ustad yang memasang tarif saat berdakwah.
Ustad juga Manusia
Sebenarnya kita tak dapat memungkiri, jika setiap manusia perlu materi untuk menyambung hidupnya. Termasuk dalam hal ini ustad, karena itu “wajar” bila ustad pun mencari (berharap) bayaran dalam setiap aktivitas dakwahnya.
Sebab mereka kadang tidak memiliki aktivitas lain yang menghasilkan uang selain berdakwah. Satu-atunya aktivitas yang bisa diandalkan adalah berdakwah.
Berbeda misalnya dengan sebagian ustad yang selain menjadi pendakwah, dirinya juga menjalankan bisnis.
Bagi meraka hasil materi berdakwah mungkin tidak terlalu penting, tetapi bagi ustad yang tidak memiliki pekerjaan lain, uang hasil berdakwah menjadi sangat penting.
Karena itu, dalam menyikapi kasus ustad memasang tarif kita harus bijaksana. Bijaksana bukan berarti kita membenarkan pemasangan tarif dalam berdakwah, tetapi langkah ini dilakukan sebagai upaya agar kita realistis dalam melihat persoalan yang berkembang di dalam masyarakat.
Sebagai seorang agamawan, ustad telah banyak merelakan waktu dan tenaganya untuk mendalami kajian keagamaan. Belum lagi mereka juga belajar metode dakwah yang efektif agar pesan keagamaan yang hendak disampaikan dapat dicerna oleh masyarakat secara baik.
Tindakan tersebut tentu sangat mulia sekali jika motivasinya demi kemaslahatan umat, tetapi menjadi tidak bermakna di mata Allah SWT.
Jika hal tersebut dilakukan sebagai cara mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Kritik terhadap ustad yang memasang tarif sebenarnya juga wajar, mengingat dakwah adalah ajaran keagamaan yang mestinya dijalankan secara ikhlas.
Tetapi kritik jika sampai dilakukan secara berlebihan, apalagi sampai melecehkan, tentu hal tersebut juga dilarang dalam ajaran Islam.
Berdakwah sebagai laku keagamaan juga mengandung untung rugi, banyaknya waktu yang digunakan ustad dalam mendalami kajian keagamaan dan cara penyampaian dakwah, sehingga menghilangkan banyak kesempatan seorang ustad dalam bekerja hal lain.
Karena itu, memang sudah semestinya kerja keras seorang ustad mendapat apresiasi dan imbalan materi yang setimpal, sebab ustad biasanya mengandalkan dakwahnya sebagai jalan mendapatkan rezeki.
Tetapi yang tak etis dilakukan oleh seorang ustad adalah memasang tarif dalam berdakwah, sebab dakwah adalah jalan tersampaikannya ajaran-ajaran keagamaan.
Sakraslisasi terhadap agama harus melekat dalam proses penyampaiannya. Karena ketika dakwah menjadi ladang bisnis meraup keuntungan materi, berarti telah terjadi desakralisasi terhadap agama.
Bukan tidak mungkin esok hari agama akan menjadi bagian dari “bisnis manusia” dalam meraup keuntungan, jika ustad saja sebagai sosok teladan tidak bisa memberikan contoh yang ideal.***
Masduri, Penggagas Laskar Ambisius
Tetapi akhirnya sang ustad meminta maaf, dan mengajak mengakhiri polemik tersebut. Kasus ini tentu menarik perhatian publik, sebab selama ini konstruksi pikiran masyarakat tentang dakwah berada dalam lingkaran suci.
Berdakwah dalam Islam sangat dianjurkan, bahkan bisa menjadi kewajiban. Karena itu, bila ada seorang ustad yang mengaitkan dakwah dengan kepentingan duniawi, dianggap sebagai penistaan agama.
Agama dalam masyarakat adalah simbol kesucian, dan dakwah menjadi jalan bagi tersampaikannya ajaran-ajaran agama. Sehingga menjadi niscaya bila ada ustad berdakwah memasang tarif dianggap sebagai penistaan dan tindakan memperjualbelikan ajaran agama.
Belakangan ini model dakwah sangat seksi, bahkan ustad pun laiknya artis. Kehadiran era digital dengan segenap perangkatnya, menembus batas-batas ruang dan waktu, sehingga ustad bisa manggung di dalam layar telivisi. Hal inilah yang oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dianggap sebagai dampak besar perubahan akibat globasilasi.
Jika dahulu untuk mendengar ceramah ustad harus bertatap muka secara langsung, tetapi kini ustad berceramah di Jakarta dengan diliput televisi, bisa disaksikan jutaan penonton di seluruh Tanah Air.
Manfaat luar biasa akibat globalisasi dapat kita nikmati secara nyata, meski kita tak juga mengelak banyak dampak buruk bagi kehidupan umat manusia. Sehingga pada posisi itu, kita harus menempatkan kemajuan globalisasi dalam proporsi yang benar.
Dengan digitalisasi dakwah, baik liputan secara langsung ataupun video yang dicetak dalam bentuk kaset dan file, telah melahirkan desakralisasi terhadap dakwah.
Jika selama ini dakwah secara langsung di depan masyarakat mendapat apresiasi luar biasa sebagai proses transfer pengetahuan keagamaan, kini dengan kehadiran digitalisasi dakwah, apresiasi semakin berkurang, bahkan apatisme masyarakat terhadap dakwah keagamaan semakin tinggi.
Masyarakat sekarang lebih suka menonton tayangan-tayangan yang menghibur ketimbang menambah penat akibat penyampaian dakwah yang kadang sangat sulit dicerna, atau penyampaian ustad yang lebih banyak guyonnya daripada subtansi ajaran keagamaan yang hendak disampaikan.
Bagi sebagian masyarakat ketimbang mendengarkan ustad yang terlalu banyak guyonnya lebih baik menyaksikan tayangan-tayangan koplak yang tidak dikemas dengan nuansa kegamaan, sebab mereka merasa risih jika ajaran agama dijadikan guyonan.
Ketika dakwah masuk ke dalam ranah digital, problem yang muncul kemudian adalah perubahan paradigma tentang dakwah.
Jika selama ini dakwah selalu lekat dengan dunia suci, selang pergantian waktu, menjamurnya digitalisasi dakwah telah mengubah pendakwah dan masyarakat pada mindset dakwah sebagai bisnis para pemilik media, sehingga selanjutnya pendakwah menganggap ketika dirinya diliput dan ditayangkan dalam televisi ataupun video, berati dirinya telah menjadi barang yang diperjual belikan.
Karena itulah, kemudian pendakwah banyak terbius oleh kepentingan duniawi dalam berdakwah. Sehingga mudah memasang tarif saat tayang di televisi ataupun diundang oleh seseorang untuk mengisi pengajian.
Akibatnya, pikiran masyarakat tentang ustad pendakwah juga kental dengan apatisme, sebab mereka secara nyata dapat melihat bagaimana dakwah keagamaan kini menjadi ajang bisnis.
Kemunculan kasus Ustad Solmed mungkin hanya sedikit dari kasus ustad yang memasang tarif saat berdakwah.
Ustad juga Manusia
Sebenarnya kita tak dapat memungkiri, jika setiap manusia perlu materi untuk menyambung hidupnya. Termasuk dalam hal ini ustad, karena itu “wajar” bila ustad pun mencari (berharap) bayaran dalam setiap aktivitas dakwahnya.
Sebab mereka kadang tidak memiliki aktivitas lain yang menghasilkan uang selain berdakwah. Satu-atunya aktivitas yang bisa diandalkan adalah berdakwah.
Berbeda misalnya dengan sebagian ustad yang selain menjadi pendakwah, dirinya juga menjalankan bisnis.
Bagi meraka hasil materi berdakwah mungkin tidak terlalu penting, tetapi bagi ustad yang tidak memiliki pekerjaan lain, uang hasil berdakwah menjadi sangat penting.
Karena itu, dalam menyikapi kasus ustad memasang tarif kita harus bijaksana. Bijaksana bukan berarti kita membenarkan pemasangan tarif dalam berdakwah, tetapi langkah ini dilakukan sebagai upaya agar kita realistis dalam melihat persoalan yang berkembang di dalam masyarakat.
Sebagai seorang agamawan, ustad telah banyak merelakan waktu dan tenaganya untuk mendalami kajian keagamaan. Belum lagi mereka juga belajar metode dakwah yang efektif agar pesan keagamaan yang hendak disampaikan dapat dicerna oleh masyarakat secara baik.
Tindakan tersebut tentu sangat mulia sekali jika motivasinya demi kemaslahatan umat, tetapi menjadi tidak bermakna di mata Allah SWT.
Jika hal tersebut dilakukan sebagai cara mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Kritik terhadap ustad yang memasang tarif sebenarnya juga wajar, mengingat dakwah adalah ajaran keagamaan yang mestinya dijalankan secara ikhlas.
Tetapi kritik jika sampai dilakukan secara berlebihan, apalagi sampai melecehkan, tentu hal tersebut juga dilarang dalam ajaran Islam.
Berdakwah sebagai laku keagamaan juga mengandung untung rugi, banyaknya waktu yang digunakan ustad dalam mendalami kajian keagamaan dan cara penyampaian dakwah, sehingga menghilangkan banyak kesempatan seorang ustad dalam bekerja hal lain.
Karena itu, memang sudah semestinya kerja keras seorang ustad mendapat apresiasi dan imbalan materi yang setimpal, sebab ustad biasanya mengandalkan dakwahnya sebagai jalan mendapatkan rezeki.
Tetapi yang tak etis dilakukan oleh seorang ustad adalah memasang tarif dalam berdakwah, sebab dakwah adalah jalan tersampaikannya ajaran-ajaran keagamaan.
Sakraslisasi terhadap agama harus melekat dalam proses penyampaiannya. Karena ketika dakwah menjadi ladang bisnis meraup keuntungan materi, berarti telah terjadi desakralisasi terhadap agama.
Bukan tidak mungkin esok hari agama akan menjadi bagian dari “bisnis manusia” dalam meraup keuntungan, jika ustad saja sebagai sosok teladan tidak bisa memberikan contoh yang ideal.***
Masduri, Penggagas Laskar Ambisius
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.