Oleh : Parlindungan
[ArtikelKeren] OPINI - Tingginya pertumbuhan penduduk dan industri yang menggunakan bahan baku gula, dari waktu ke waktu dipastikan berdampak kepada peningkatan permintaan masyarakat akan gula.
Idealnya, dengan pertumbuhan penduduk dan industri ini diimbangi dengan peningkatan produksi gula. Dari tahun ke tahun berjalan, permintaan gula capai 2,4 juta ton rata-rata tiap tahun.
Dari fenomena ini, secara otomatis industri pengolahan tebu menjadi gula menjadi posisi strategis untuk berkembang di Indonesia.
Secara khusus, pemerintah telah menempatkan pengembangan industri pengolahan tebu menjadi gula telah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Ditambah lagi potensi pengembangan industri tebu yang sangat terbuka dengan sumber daya lahan dan bahan baku cukup melimpah.
Bila kita kaji lebih dalam lagi mengenai antara kebutuhan dengan kapasitas produksi gula di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian RI, produksi gula Indonesia hanya 1,68 persen sedangkan gula yang dikonsumsi sebesar 2,79 persen dari total konsumsi gula dunia.
Swasembada gula dapat dicapai antara lain dengan ekstensifikasi lahan tebu oleh karena itu kajian mengenai potensi sumber daya lahan di Indonesia untuk perkebunan gula perlu dilakukan.
Total areal tebu di Indonesia saat ini sekitar 430.000 Ha, masih kekurangan 420.000 Ha untuk swasembada gula. Kekurangan ini secara teknis dapat diatasi karena potensi lahan dengan karakteristik tanah yang cocok untuk tebu tersedia.
Sedangkan daerah yang sesuai untuk tanaman tebu berdasarkan kesesuaian lahan mencapai 33,80 juta Ha, yang terdiri dari lahan sangat sesuai 12,70 juta Ha, moderat cocok dengan 6,30 juta Ha, dan marginal sesuai sekitar 14,80 juta Ha.
Penyebaran areal yang cocok untuk tebu adalah terluas di Kalimantan, Papua, dan Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Lampung.
Produksi Gula v Swasembada Gula 2014
Bangsa kita sempat berjaya dalam produksi gula. Pada tahun 1930-an, produksi gula kita mencapai 3 juta ton per tahun. Itu diproduksi oleh 179 pabrik gula. Indonesia, saat itu masih bernama Hindia-Belanda, merupakan salah satu eksportir gula terbesar di dunia.
Sekarang produksi gula nasional terus menurun. Sedangkan kebutuhan gula nasional makin meningkat. Seperti dilansir berdikarionline.com, bila jumlah produksi gula kristal putih (GKP) kita adalah 2,1 ton per tahun seperti data tadi, lalu kita bagi 200 juta penduduk indonesia yang mengkonsumsi gula, maka jumlah itu hanya bisa memenuhi 60 persen dari jumlah konsumen tersebut.
Dan itu, artinya jumlah produksi tersebut sama halnya hanya bisa untuk memenuhi konsumsi masyarakat Pulau Jawa saja. Pasalnya, mayoritas pabrik gula yang ada adalah berdomisili di Pulau Jawa.
Bahkan, ada sejumlah daerah yang sulit mendapatkan distribusi gula dari Jawa, seperti Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan Riau.
Tentunya kita sedikit prihatin akan masalah ini. Gula menjadi bagian dari sembilan bahan keperluan pokok rakyat. Artinya, jika pemerintah gagal menjamin ketersediaan gula secara nasional, maka rakyat tentu saja akan mengalami kesulitan.
Produksi gula nasional sendiri terhimpit beberapa realitas masalah. Salah satu di antaranya akibat cuaca perekonomian nasional. Beberapa akibat kondisi perekomomian bangsa kita adalah, pertama, penyusutan produksi tebu.
Produksi gula secara nasional sekarang ini dihasilkan oleh 62 pabrik gula (PG) yang dikelola 13 perusahaan negara (BUMN) dan swasta; 51 PG milik BUMN.
Kedua, pertanian tebu tak lagi sanggup mengangkat kesejahteraan kaum tani. Akibatnya, banyak petani meninggalkan profesinya sebagai petani tebu.
Bahkan, banyak lahan perkebunan tebu berubah fungsi menjadi lahan pertanian padi. Ketiga, pabrik atau industri gula kita tidak bisa bekerja maksimal.
Pada tahun 2011, misalnya, ada 52 pabrik gula milik BUMN yang masih tersisa, tetapi hanya 20 pabrik yang kondisinya masih baik. Sisanya, 32 pabrik, kondisinya sangat buruk.
Keempat, kebijakan pemerintah mengimpor gula turut memukul petani tebu dan industri gula nasional. Maraknya impor gula menyebabkan petani tebu dan industri gula di dalam negeri terus merugi.
Selain itu, petani tebu dan industri gula juga dirugikan oleh melubernya gula rafinasi ke pasaran. Belum lagi, sudah berdiri sejumlah pabrik gula rafinasi.
Pabrik gula rafinasi ini mengolah atau memutihkan gula mental (raw sugar). Ini membawa dampak buruk pada petani tebu. Sebab, industri itu tidak berbasiskan pada bahan baku tebu yang dihasilkan oleh jutaan petani.
Kelima, minimnya dukungan modal bagi pertanian tebu dan industri gula. Ini menghambat kemampuan petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Selain itu, pencabutan subsidi pupuk juga berpengaruh pada produksi tebu petani. Pemerintah harus mengatasi segala hal itu.
Pemerintah harus segera menghentikan liberalisasi impor gula. Selain itu, perlu pembangunan dan modernisasi pabrik gula nasional.
Pada aspek lain, penting juga untuk memaksimalkan perbaikan varietas tebu, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, perbaikan sistem tebang dan pengangkutan.
Bila persoalan ini tidak segera diatasi, maka dapat menggangu Program Target Swasembada Gula Nasional pada 2014.
Pabrik Gula Angkat Perekonomian Daerah
Tingkat keuntungan usaha tani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usaha tani tebu bekisar antara Rp2,5 juta sampai Rp8 juta per hektare.
Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp2,5 juta-Rp5 juta per hektare. Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras.
Keuntungan finansial merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.
Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan).
Agar wacana ini terwujud, setidaknya kebijakan gula yang ada diperluas memasuki di sejumlah daerah yang cocok ditanami tebu demi peningkatan jumlah produksi gula dan mensejahterakan petani daerah.
Diakui, pemerintah instansi lainnya harus berpihak pada petani dan melindungi industri gula nasional, karena selain melindungi petani tebu juga aset nasional yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, terutama di daerah.
Dengan keberadaan lahan pertanian tebu yang luas di masing-masing daerah di Indonesia kemudian menghasilkan tebu kapasitas besar, idealnya didirikan pabrik gula sebagai tanda tingginya intensitas produksi tebu menjadi gula di setiap daerah. Tentunya menjadi peluang perbaikan perekonomian daerah.
Wacana ini patut dikembangkan agar tidak saja merasakan manisnya gula hasil pertaian tebu daerah di Indonesia, juga membuahkan hasil yang manis bagi pertanian Indonesia.
Kemudian, ketika wacana ini dapat diterapkan, peluang pembukaan lahan perkebunan tebu di daerah yang belum tergarap akan semakin memperluas kenikmatan bertani di sektor perkebunan tebu.
Tentunya menambah kuat pepatah lama mengatakan, “Ada gula ada semut” menjadi “Ada pabrik gula di situ ada semut manis”. Semut manis di sini saya artikan sebagai pendapatan financial bagi petani tebu daerah.
Kemudian, bagi lembaga keuangan yang selama ini memberikan dana pinjaman bunga ringan kepada petani tebu daerah sebagai modal usaha untuk membantu pengadaan maupun peningkatan usaha.
Dengan cara ini siapa tahu dapat menyemangatkan kembali dalam mensukseskan Program Swasembada Gula Nasional Tahun 2014 dengan melibatkan petani daerah.***
Parlindungan, Pemimpin Redaksi Majalah dan Media Online Riau Bisnis
[ArtikelKeren] OPINI - Tingginya pertumbuhan penduduk dan industri yang menggunakan bahan baku gula, dari waktu ke waktu dipastikan berdampak kepada peningkatan permintaan masyarakat akan gula.
Idealnya, dengan pertumbuhan penduduk dan industri ini diimbangi dengan peningkatan produksi gula. Dari tahun ke tahun berjalan, permintaan gula capai 2,4 juta ton rata-rata tiap tahun.
Dari fenomena ini, secara otomatis industri pengolahan tebu menjadi gula menjadi posisi strategis untuk berkembang di Indonesia.
Secara khusus, pemerintah telah menempatkan pengembangan industri pengolahan tebu menjadi gula telah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Ditambah lagi potensi pengembangan industri tebu yang sangat terbuka dengan sumber daya lahan dan bahan baku cukup melimpah.
Bila kita kaji lebih dalam lagi mengenai antara kebutuhan dengan kapasitas produksi gula di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian RI, produksi gula Indonesia hanya 1,68 persen sedangkan gula yang dikonsumsi sebesar 2,79 persen dari total konsumsi gula dunia.
Swasembada gula dapat dicapai antara lain dengan ekstensifikasi lahan tebu oleh karena itu kajian mengenai potensi sumber daya lahan di Indonesia untuk perkebunan gula perlu dilakukan.
Total areal tebu di Indonesia saat ini sekitar 430.000 Ha, masih kekurangan 420.000 Ha untuk swasembada gula. Kekurangan ini secara teknis dapat diatasi karena potensi lahan dengan karakteristik tanah yang cocok untuk tebu tersedia.
Sedangkan daerah yang sesuai untuk tanaman tebu berdasarkan kesesuaian lahan mencapai 33,80 juta Ha, yang terdiri dari lahan sangat sesuai 12,70 juta Ha, moderat cocok dengan 6,30 juta Ha, dan marginal sesuai sekitar 14,80 juta Ha.
Penyebaran areal yang cocok untuk tebu adalah terluas di Kalimantan, Papua, dan Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Lampung.
Produksi Gula v Swasembada Gula 2014
Bangsa kita sempat berjaya dalam produksi gula. Pada tahun 1930-an, produksi gula kita mencapai 3 juta ton per tahun. Itu diproduksi oleh 179 pabrik gula. Indonesia, saat itu masih bernama Hindia-Belanda, merupakan salah satu eksportir gula terbesar di dunia.
Sekarang produksi gula nasional terus menurun. Sedangkan kebutuhan gula nasional makin meningkat. Seperti dilansir berdikarionline.com, bila jumlah produksi gula kristal putih (GKP) kita adalah 2,1 ton per tahun seperti data tadi, lalu kita bagi 200 juta penduduk indonesia yang mengkonsumsi gula, maka jumlah itu hanya bisa memenuhi 60 persen dari jumlah konsumen tersebut.
Dan itu, artinya jumlah produksi tersebut sama halnya hanya bisa untuk memenuhi konsumsi masyarakat Pulau Jawa saja. Pasalnya, mayoritas pabrik gula yang ada adalah berdomisili di Pulau Jawa.
Bahkan, ada sejumlah daerah yang sulit mendapatkan distribusi gula dari Jawa, seperti Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan Riau.
Tentunya kita sedikit prihatin akan masalah ini. Gula menjadi bagian dari sembilan bahan keperluan pokok rakyat. Artinya, jika pemerintah gagal menjamin ketersediaan gula secara nasional, maka rakyat tentu saja akan mengalami kesulitan.
Produksi gula nasional sendiri terhimpit beberapa realitas masalah. Salah satu di antaranya akibat cuaca perekonomian nasional. Beberapa akibat kondisi perekomomian bangsa kita adalah, pertama, penyusutan produksi tebu.
Produksi gula secara nasional sekarang ini dihasilkan oleh 62 pabrik gula (PG) yang dikelola 13 perusahaan negara (BUMN) dan swasta; 51 PG milik BUMN.
Kedua, pertanian tebu tak lagi sanggup mengangkat kesejahteraan kaum tani. Akibatnya, banyak petani meninggalkan profesinya sebagai petani tebu.
Bahkan, banyak lahan perkebunan tebu berubah fungsi menjadi lahan pertanian padi. Ketiga, pabrik atau industri gula kita tidak bisa bekerja maksimal.
Pada tahun 2011, misalnya, ada 52 pabrik gula milik BUMN yang masih tersisa, tetapi hanya 20 pabrik yang kondisinya masih baik. Sisanya, 32 pabrik, kondisinya sangat buruk.
Keempat, kebijakan pemerintah mengimpor gula turut memukul petani tebu dan industri gula nasional. Maraknya impor gula menyebabkan petani tebu dan industri gula di dalam negeri terus merugi.
Selain itu, petani tebu dan industri gula juga dirugikan oleh melubernya gula rafinasi ke pasaran. Belum lagi, sudah berdiri sejumlah pabrik gula rafinasi.
Pabrik gula rafinasi ini mengolah atau memutihkan gula mental (raw sugar). Ini membawa dampak buruk pada petani tebu. Sebab, industri itu tidak berbasiskan pada bahan baku tebu yang dihasilkan oleh jutaan petani.
Kelima, minimnya dukungan modal bagi pertanian tebu dan industri gula. Ini menghambat kemampuan petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Selain itu, pencabutan subsidi pupuk juga berpengaruh pada produksi tebu petani. Pemerintah harus mengatasi segala hal itu.
Pemerintah harus segera menghentikan liberalisasi impor gula. Selain itu, perlu pembangunan dan modernisasi pabrik gula nasional.
Pada aspek lain, penting juga untuk memaksimalkan perbaikan varietas tebu, optimalisasi waktu tanam, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, perbaikan sistem tebang dan pengangkutan.
Bila persoalan ini tidak segera diatasi, maka dapat menggangu Program Target Swasembada Gula Nasional pada 2014.
Pabrik Gula Angkat Perekonomian Daerah
Tingkat keuntungan usaha tani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usaha tani tebu bekisar antara Rp2,5 juta sampai Rp8 juta per hektare.
Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp2,5 juta-Rp5 juta per hektare. Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras.
Keuntungan finansial merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.
Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indikator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan).
Agar wacana ini terwujud, setidaknya kebijakan gula yang ada diperluas memasuki di sejumlah daerah yang cocok ditanami tebu demi peningkatan jumlah produksi gula dan mensejahterakan petani daerah.
Diakui, pemerintah instansi lainnya harus berpihak pada petani dan melindungi industri gula nasional, karena selain melindungi petani tebu juga aset nasional yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, terutama di daerah.
Dengan keberadaan lahan pertanian tebu yang luas di masing-masing daerah di Indonesia kemudian menghasilkan tebu kapasitas besar, idealnya didirikan pabrik gula sebagai tanda tingginya intensitas produksi tebu menjadi gula di setiap daerah. Tentunya menjadi peluang perbaikan perekonomian daerah.
Wacana ini patut dikembangkan agar tidak saja merasakan manisnya gula hasil pertaian tebu daerah di Indonesia, juga membuahkan hasil yang manis bagi pertanian Indonesia.
Kemudian, ketika wacana ini dapat diterapkan, peluang pembukaan lahan perkebunan tebu di daerah yang belum tergarap akan semakin memperluas kenikmatan bertani di sektor perkebunan tebu.
Tentunya menambah kuat pepatah lama mengatakan, “Ada gula ada semut” menjadi “Ada pabrik gula di situ ada semut manis”. Semut manis di sini saya artikan sebagai pendapatan financial bagi petani tebu daerah.
Kemudian, bagi lembaga keuangan yang selama ini memberikan dana pinjaman bunga ringan kepada petani tebu daerah sebagai modal usaha untuk membantu pengadaan maupun peningkatan usaha.
Dengan cara ini siapa tahu dapat menyemangatkan kembali dalam mensukseskan Program Swasembada Gula Nasional Tahun 2014 dengan melibatkan petani daerah.***
Parlindungan, Pemimpin Redaksi Majalah dan Media Online Riau Bisnis
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.