Oleh : Imam Ghozali
[ArtikelKeren] OPINI - Sambil menunggu “detik-detik” pemilihan Gubernur Provinsi Riau pada Rabu, 4 September 2013, penulis mengajak untuk memahami “sejarah kearifan para pemimpin” yang pernah lahir.
Penulis berpikir, agar kita terbiasa belajar dari sejarah. Karena sejarah bukan hanya “sebuah kisah” semata, tapi kumpulan dari berbagai nilai-nilai kebaikan yang menjadi perilaku masyarakat sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut lahir dan tetap berkembang dari seorang pemimpin yang arif dan bijaksana.
Selalu saja setiap perjalanan sejarah melahirkan pemimpin yang baik. Ia lahir pada saat manusia terperangkap oleh nafsu syayi’ah (jiwa angkara murka).
Ketidakberdayaan ini menyebabkan manusia saling menindas, saling membunuh dan saling menjajah. Kondisi ini melahirkan para pemimpin seperti Nabi Musa yang membebaskan Mesir dari dari Ramses atau Firaun (1200 SM), Raja Daud (1004-971 SM) mampu membebaskan bangsa Israel dari cengkraman Filistin, dan Nabi Muhammad SAW membebaskan masyarakat Arab dari Abu Jahal dan Abu Lahab yang terkenal dengan zaman Jahiliyah (zaman kejumudan).
Lahirnya para pemimpin dan menjadi panutan sebagai bukti bahwa “sejarah” telah mewariskan nilai-nilai kebaikan agar generasi selanjutnya melestarikannya.
Beberapa nilai kebaikan antara lain sebagaimana perkataan Muhammad SAW sebagai berikut : “Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasul: “Perbuatan apakah yang paling mulia dalam Islam?” Rasul menjawab : “Engkau sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak.” (Ahmad Bin Hambal, jilid IV, h.256).
Sementara generasi selanjutnya, Abu Bakar pernah berkata: “Saya telah terpilih menjadi pemimpin kalian, padahal saya bukanlah orang terbaik di antara kalian.
Jika saya berbuat baik, maka dukunglah saya. Sebaliknya jika saya berbuat salah luruskanlah. Taatlah kepada saya selama saya taat kepada Allah, tetapi janganlah kalian taat bila saya durhaka kepada-Nya.”.
Sedangkan Umar bin Khatab ketika dilantik menjadi seorang pemimpin, ia berpidato sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian melihat dalam diri saya suatu penyimpangan, luruskanlah.”
Seketika itu juga tampil seorang kulit hitam yang membawa pedang sambil berkata: “Wahai Umar, jika kami melihat ada penyimpangan dalam diri Anda, pasti akan kami luruskan dengan pedang ini.”.
Dari tiga pemimpin di atas, penulis bisa merasakan semangat seorang pemimpin sejati, yaitu mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Karenanya, ketika pengabdian kepada mereka bisa dilaksanakan secara totalitas berarti telah menjalankan amanah. Ketika amanah telah dijalankan, berarti menjadi orang muttaqin.
Jadi puncak ketakwaan seorang pemimpin pada kemampuan menjadi seorang pemimpin yang amanah, yaitu mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Pemimpin yang amanah apabila merujuk perkataan ketiga pemimpin di atas bisa ditemukan sebagai berikut: Pertama, orientasi utama menjadi pemimpin yaitu mensejahterakan rakyatnya.
Pemimpin adalah bayangan Tuhan di dunia. Artinya sikap adil mensejahterakan masyarakat dengan memperlakukan mereka sama, dan tidak diskriminasi.
Dengan demikian, pembahasan anggaran Negara dan program pemerintah semata-mata bukan kepentingan penguasa atau kroni-kroni “tim sukses”, tapi demi kemaslahatan masyarakat.
Kedua, penegakan hukum. Tidak bisa dipungkiri bahwa supremasi hukum selalu menjadi simbol keberhasilan seorang pemimpin.
Hal ini wajar, pada saat hukum menjadi panglima tertinggi, semua tunduk terhadapnya. Tidak ada manusia istimewa. Semua sama di hadapan hukum. Ketiga, perlindungan HAM.
Seorang pemimpin yang amanah juga ada kesanggupan melindungi Hak-hak Asasi (HAM) rakyatnya dari ketidakadilan. Hak-hak dasar seperti hak beragama, hak hidup, hak kebebasan intelektual, hak mendapatkan keturunan, merupakan hak mendapatkan penghidupan yang normal merupakan kebutuhan mendasar masyarakat yang dipasrahkan kepada seorang pemimpin.
Bentuk penyerahan nasib mereka ditandai dengan pengangkatan seorang pemimpin. Keempat, terbuka kontrol masyarakat. sikap tersebut merupakan bentuk kearifan dari pemimpin sejati.
Kesadaran bahwa jabatan adalah amanah telah melahirkan sikap terbuka terhadap kritik, dan masukan dari masyarakat.
Sikap tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial. Sebab pemimpin adalah manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan.
Sikap keterbukaan untuk bisa menerapkan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, sebenarnya memberi peran kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi membangun pemerintah bersih (clean government).
Dari pemaparan di atas menunjukan bahwa kearifan pemimpin masa lampau bukan sebatas retorika semata. Ucapan mereka adalah cermin perilaku keseharian.
Maka hal yang wajar apabila ucapanya tidak hilang di telan masa. Para pengikut dan orang-orang yang mencintainya menjadikan setiap ucapan para pemimpin tersebut sebagai pegangan hidup dalam rangka mencapai puncak kesempurnaan hidup.
Seharusnya saat ini kita merenungi hal tersebut, bisakah negeri kita wabil khusus Provinsi Riau yang hari ini menggelar hajatan pesta demokrasi memilih para Cagub untuk menjadi ulil amri di negeri Melayu? Penulis tentu optimis hal tersebut bisa terwujud, apabila mereka semua kembali kepada khittah yang dibangun oleh para leluhur negeri ini.
Kalimat, ”adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah” tentu bukan bualan kosong. Para pendahulu telah membuktikan kebenaran tersebut dalam sejarah hidupnya, dan saat sekarang ini para calon pemimpin untuk meneruskan pesan tersebut.
Sebagai penutup, apa yang dikampanyekan oleh para kandidat pasti bukan “racun bermerek madu”. Mereka sedang menyosialisasikan makna kepemimpinan yang arif. Keinginan mereka tampil karena terpanggil untuk mengabdi kepada negeri ini agar lebih baik di masa mendatang.
Dan kita sebagai masyarakat biasa hanya bisa berikhtiar memilih pemimpin yang terbaik di antara mereka. Mari kita berijtihad sama-sama untuk pergi ke TPS dan pilih yang terbaik untuk Riau mendatang. Selamat berdemokrasi, semoga pemimpin baru melahirkan perubahan baru menuju Riau bertamaddun. Wassalam.
Imam Ghozali, Mahasiswa Program Doktor UIN SUSKA Riau
Penulis berpikir, agar kita terbiasa belajar dari sejarah. Karena sejarah bukan hanya “sebuah kisah” semata, tapi kumpulan dari berbagai nilai-nilai kebaikan yang menjadi perilaku masyarakat sehari-hari.
Nilai-nilai tersebut lahir dan tetap berkembang dari seorang pemimpin yang arif dan bijaksana.
Selalu saja setiap perjalanan sejarah melahirkan pemimpin yang baik. Ia lahir pada saat manusia terperangkap oleh nafsu syayi’ah (jiwa angkara murka).
Ketidakberdayaan ini menyebabkan manusia saling menindas, saling membunuh dan saling menjajah. Kondisi ini melahirkan para pemimpin seperti Nabi Musa yang membebaskan Mesir dari dari Ramses atau Firaun (1200 SM), Raja Daud (1004-971 SM) mampu membebaskan bangsa Israel dari cengkraman Filistin, dan Nabi Muhammad SAW membebaskan masyarakat Arab dari Abu Jahal dan Abu Lahab yang terkenal dengan zaman Jahiliyah (zaman kejumudan).
Lahirnya para pemimpin dan menjadi panutan sebagai bukti bahwa “sejarah” telah mewariskan nilai-nilai kebaikan agar generasi selanjutnya melestarikannya.
Beberapa nilai kebaikan antara lain sebagaimana perkataan Muhammad SAW sebagai berikut : “Sesungguhnya seseorang bertanya kepada Rasul: “Perbuatan apakah yang paling mulia dalam Islam?” Rasul menjawab : “Engkau sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak.” (Ahmad Bin Hambal, jilid IV, h.256).
Sementara generasi selanjutnya, Abu Bakar pernah berkata: “Saya telah terpilih menjadi pemimpin kalian, padahal saya bukanlah orang terbaik di antara kalian.
Jika saya berbuat baik, maka dukunglah saya. Sebaliknya jika saya berbuat salah luruskanlah. Taatlah kepada saya selama saya taat kepada Allah, tetapi janganlah kalian taat bila saya durhaka kepada-Nya.”.
Sedangkan Umar bin Khatab ketika dilantik menjadi seorang pemimpin, ia berpidato sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kalian melihat dalam diri saya suatu penyimpangan, luruskanlah.”
Seketika itu juga tampil seorang kulit hitam yang membawa pedang sambil berkata: “Wahai Umar, jika kami melihat ada penyimpangan dalam diri Anda, pasti akan kami luruskan dengan pedang ini.”.
Dari tiga pemimpin di atas, penulis bisa merasakan semangat seorang pemimpin sejati, yaitu mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Karenanya, ketika pengabdian kepada mereka bisa dilaksanakan secara totalitas berarti telah menjalankan amanah. Ketika amanah telah dijalankan, berarti menjadi orang muttaqin.
Jadi puncak ketakwaan seorang pemimpin pada kemampuan menjadi seorang pemimpin yang amanah, yaitu mengabdi kepada kepentingan rakyat.
Pemimpin yang amanah apabila merujuk perkataan ketiga pemimpin di atas bisa ditemukan sebagai berikut: Pertama, orientasi utama menjadi pemimpin yaitu mensejahterakan rakyatnya.
Pemimpin adalah bayangan Tuhan di dunia. Artinya sikap adil mensejahterakan masyarakat dengan memperlakukan mereka sama, dan tidak diskriminasi.
Dengan demikian, pembahasan anggaran Negara dan program pemerintah semata-mata bukan kepentingan penguasa atau kroni-kroni “tim sukses”, tapi demi kemaslahatan masyarakat.
Kedua, penegakan hukum. Tidak bisa dipungkiri bahwa supremasi hukum selalu menjadi simbol keberhasilan seorang pemimpin.
Hal ini wajar, pada saat hukum menjadi panglima tertinggi, semua tunduk terhadapnya. Tidak ada manusia istimewa. Semua sama di hadapan hukum. Ketiga, perlindungan HAM.
Seorang pemimpin yang amanah juga ada kesanggupan melindungi Hak-hak Asasi (HAM) rakyatnya dari ketidakadilan. Hak-hak dasar seperti hak beragama, hak hidup, hak kebebasan intelektual, hak mendapatkan keturunan, merupakan hak mendapatkan penghidupan yang normal merupakan kebutuhan mendasar masyarakat yang dipasrahkan kepada seorang pemimpin.
Bentuk penyerahan nasib mereka ditandai dengan pengangkatan seorang pemimpin. Keempat, terbuka kontrol masyarakat. sikap tersebut merupakan bentuk kearifan dari pemimpin sejati.
Kesadaran bahwa jabatan adalah amanah telah melahirkan sikap terbuka terhadap kritik, dan masukan dari masyarakat.
Sikap tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial. Sebab pemimpin adalah manusia biasa yang juga mempunyai kelemahan.
Sikap keterbukaan untuk bisa menerapkan transparansi dalam pengelolaan pemerintahan, sebenarnya memberi peran kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi membangun pemerintah bersih (clean government).
Dari pemaparan di atas menunjukan bahwa kearifan pemimpin masa lampau bukan sebatas retorika semata. Ucapan mereka adalah cermin perilaku keseharian.
Maka hal yang wajar apabila ucapanya tidak hilang di telan masa. Para pengikut dan orang-orang yang mencintainya menjadikan setiap ucapan para pemimpin tersebut sebagai pegangan hidup dalam rangka mencapai puncak kesempurnaan hidup.
Seharusnya saat ini kita merenungi hal tersebut, bisakah negeri kita wabil khusus Provinsi Riau yang hari ini menggelar hajatan pesta demokrasi memilih para Cagub untuk menjadi ulil amri di negeri Melayu? Penulis tentu optimis hal tersebut bisa terwujud, apabila mereka semua kembali kepada khittah yang dibangun oleh para leluhur negeri ini.
Kalimat, ”adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah” tentu bukan bualan kosong. Para pendahulu telah membuktikan kebenaran tersebut dalam sejarah hidupnya, dan saat sekarang ini para calon pemimpin untuk meneruskan pesan tersebut.
Sebagai penutup, apa yang dikampanyekan oleh para kandidat pasti bukan “racun bermerek madu”. Mereka sedang menyosialisasikan makna kepemimpinan yang arif. Keinginan mereka tampil karena terpanggil untuk mengabdi kepada negeri ini agar lebih baik di masa mendatang.
Dan kita sebagai masyarakat biasa hanya bisa berikhtiar memilih pemimpin yang terbaik di antara mereka. Mari kita berijtihad sama-sama untuk pergi ke TPS dan pilih yang terbaik untuk Riau mendatang. Selamat berdemokrasi, semoga pemimpin baru melahirkan perubahan baru menuju Riau bertamaddun. Wassalam.
Imam Ghozali, Mahasiswa Program Doktor UIN SUSKA Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.