Oleh :
Salah satu yang ikut “hilang” dengan dibatalkannya UU itu adalah semangat agar MK tak diobok-obok partai politik dengan mudahnya orang-orang hukum yang masih berstatus politikus, atau mereka yang berhubungan erat dengan politik, terpilih sebagai hakim MK. Dalam salah satu pasal UU itu mengatur bahwa calon hakim berlatar belakang politisi harus sekurang-kurangnya sudah tujuh tahun tak bergabung dengan partai politik.
Dengan dibatalkannya UU tersebut, otomatis tak ada aturan hukum apapun yang mengikat pelarangan politisi untuk ikut seleksi —atau suatu saat terpilih— hakim konstitusi. Artinya, ada ruang bahwa seorang politisi yang masih aktif atau masih punya hubungan erat dengan partai tertentu, bisa menjadi hakim konstitusi. Lebih jauh lagi, jika itu terjadi, MK akan menjadi bulan-bulanan politisi, dan MK sebagai benteng terakhir peradilan konstitusi akan ambruk.
Hal ini akan terjadi, misalnya, seperti dijelaskan pakar hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, jika suatu saat ada partai yang menang dengan suara mayoritas dalam pemilu, misalnya di atas 50 persen (yang pasti akan menguasai parlemen), dan presiden yang terpilih juga berasal dari partai yang sama dengan pemenang pemilu legislatif, akan sangat mungkin 6 dari 9 hakim di MK akan berasal dari partai politik pemenang pemilu itu, atau minimal orang-orang yang dikendalikan oleh partai tersebut. Jika itu terjadi, maka lumpuhlah MK.
Maka, ketika seluruh hakim di MK dengan suara bulat meneken Putusan No 1-2/PUU-XII/2014 tentang pembatalan UU No 4 itu, banyak orang yang menepuk kening. Tak ada satupun hakim yang melakukan disenting opinion (pendapat berbeda). Mereka seolah-olah tidak berpikir jauh ke depan saat mereka tak lagi menjadi hakim di MK.
Atau, kasarnya, mereka seolah tak peduli dengan masa depan MK. Mereka tak pernah berpikir dan membayangkan, apa jadinya jika politikus menguasai MK. MK yang sehari-hari banyak menangani kasus perselisihan politik antar-politisi, salah satunya, mestinya diisi oleh orang-orang yang bebas dari politik.
Apa jadinya, misalnya, ada sengketa pemilihan gubernur antara calon dari Partai Golkar dan Partai Demokrat, 6 hakim MK dari partai mayoritas pemenang pemilu, misalnya Golkar. Apakah dijamin independensi 6 hakim yang punya hubungan politik dengan Golkar ini tak berpihak ke calon dari Golkar? Sekali lagi, ini hanya salah satu contoh.
Menurut Tom Ginsburg dan Nuno Garoupa, bahwa tak ada keraguan lagi bahwa politisi sangat berkepentingan dengan MK. Bahwa keputusan-keputusan MK memiliki konsekuensi politik.
Hal ini dikuatkan oleh Richard A Posner, bahwa secara empiris terbukti banyak putusan yudisial sangat dipengaruhi preferensi politik sang hakim. Kalau para politisi masuk menjadi hakim MK, apakah ada keadilan hukum di sana selain keadilan politis? Yang menarik lagi, penolakan para hakim MK atas UU No 4 Tahun 2014 bertentangan dengan semangat mereka yang dengan suara bulat memutuskan jarak waktu lima tahun berhenti dari partai bagi calon anggota KPU maupun Bawaslu.
Kini, setelah kasus suap Akil Mochtar yang melemahkan posisi MK, para hakim MK juga seperti melakukan pelemahan diri sendiri ketika pemerintah (pengusul RUU) dan parlemen (yang mengesahkan RUU) sudah bersikap layaknya negarawan dengan sepakat mempersempit ruang mereka untuk ikut campur terlalu dalam ke MK, malah MK sendiri yang seolah-olah memanggil politisi untuk masuk. Sebuah ironi.***(ak27)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.