Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Sabtu, 25 Januari 2014

Plus-Minus Pemilu Serentak

Sabtu, Januari 25, 2014 By Unknown No comments

Oleh : 


[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengetuk amar putusannya atas permohohan judicial review yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) yang dimotori akademisi dan praktisi komunikasi, Effendy Ghazali.

Alasan yang disampaikan AMS untuk menguji UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres adalah karena UU itu melanggar konstitusi dan pemilu yang tidak serentak dianggap pemborosan anggaran negara.

MK juga masih menangani masalah yang sama yang dimintaujikan oleh Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Mantan Ketua MK, Mahfud MD berpendapat, semestinya, nanti, keputusan yang diambil MK atas perkara yang dimintaujikan AMS dan Yusril, sama. Sebab, materi yang diuji juga sama.

Dalam keputusan yang diambil dalam sidang MK, Kamis (23/1/2014) lalu, Ketua MK Hamdan Zoelva menjelaskan, pemilu serentak seperti yang diinginkan AMS, akan dilaksanakan pada tahun 2019 dan pemilu selanjutnya.

Artinya, tahun 2014 ini, Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) tetap terpisah waktunya. Salah satu alasan yang disampaikan oleh MK tentang keputusan pemilu bersama adalah menghindari tawar-menawar politik.

Istilah pemilu serentak, sudah jamak dipahami sebagai penggabungan waktu dua jenis pemilu dalam satu hari H, yakni legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten) dengan eksekutif (presiden).

Jika ada pemilihan gubernur yang digabungkan waktunya dengan pemilihan beberapa bupati di sebuah provinsi dalam satu hari H, misalnya, itu tak bisa disebut sebagai pemilu serentak. Konsep pemilu serentak juga hanya dikenal di negara-negara dengan sistem presidensial.

Dalam sistem ini, anggota legislatif dan pejabat eksekutif sama-sama dipilih melalui pemilu. Ini berbeda dengan sistem parlementer, karena pejabat eksekutif tak dipilih langsung, melainkan otomatis dipegang oleh pimpinan partai pemenang pemilu legislatif yang menguasai parlemen.

Di Indonesia, pemisahan Pileg dan Pilpres dilakukan setelah 5 tahun reformasi yang ditandai dengan jatuhnya penguasa Orde Baru, Soeharto, pada Mei 1998.

Selama Orba, hanya sekali pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, yakni Pileg. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kemudian dipilih melalui Sidang Umum MPR yang juga dilakukan 5 tahun sekali. Setelah Soeharto jatuh, ada reformasi menyeluruh dalam sistem ketatanegaraan kita.

Salah satu yang dilakukan adalah melakukan Pilpres secara langsung, termasuk juga pemilihan gubernur dan bupati.

Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua periode, adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pilpres 2004 dan 2009 setelah sebelumnya Gus Dur (kemudian dilanjutkan Megawati Soekarno Putri setelah Gus Dur dijatuhkan oleh MPR/DPR) terpilih menjadi presiden pertama pasca Orde Baru yang masih dipilih dalam Sidang Umum MPR tahun 2009.

Dalam dua periode tersebut, dan juga periode 2014-2019 ini, Pileg dan Pilpres dilakukan terpisah. Maka, keputusan MK untuk menyerentakkan Pileg dan Pilpres pada 2019 dan seterusnya, tetap menuai pro dan kontra.

Yang pertama, banyak orang beranggapan, penyatuan ini akan kembali menggairahkan minat masyarakat untuk ikut mencoblos.

Sudah menjadi rahasia umum, tingkat pemilih untuk Pileg terus menurun dengan semakin banyaknya kasus anggota legislatif yang terkena pidana korupsi dan pidana lainnya, termasuk tingkah mereka yang banyak tak mencerminkan sebagai wakil rakyat.

Nah, hingga sekarang, tingkat pemilih untuk Pilpres sangat tinggi. Karena langsung menyangkut pada jabatan pemimpin negara, membuat masyarakat tetap antusias.

Penyatuan hari H pemilihan ini, sedikit-banyak, akan membuat Pilpres yang selama ini menggairahkan masyarakat tentang arti pesta demokrasi, mau tak mau harus sejajar lagi dengan Pileg yang telah menurun tingkat kepercayaan publiknya.

Artinya, dua pesta demokrasi yang selama ini dibuat sebagai salah satu bentuk dan wujud Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia, kini harus disatukan.

Tetapi, di sisi lain, penyatuan ini juga diharapkan bisa menimbulkan efektivitas pemerintahan, bukan semata efektivitas anggaran negara.

Karena, seperti sistem palementer, begitu Pileg selesai, langsung ketahuan siapa perdana menteri.

Dan sekarang, dengan penyatuan hari H pemilihan, begitu selesai penghitungan suara, langsung diketahui siapa sang presiden, sehingga Pilpres tak lagi menjadi alat bargaining partai bagi orang-orang yang ingin mencalonkan diri jadi presiden tapi tak punya perahu. Atau dalam bahasa MK: tawar-menawar politik.***(ak27)

http://ak27protect.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN