Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 22 Desember 2013

Daulat!

Minggu, Desember 22, 2013 By Unknown No comments

CERPEN | Musa Ismail


[ArtikelKeren] CERPEN - Tahun ini, mata kita pedih. Hati kita pedih. Mulut pun pedih. Tekak, pikiran, telinga, hidung, sumsum, nadi, darah, saraf, kukukuku, jantung, paruparu, semua pedih. Sebab, kita berasal dari pedih yang sama. Segalanya menangis. Ayo tumpahkan airmata. Ayo kita teguk. Mari kita kunyah juga. Biarpun tidak lumat, ayo kita telan juga bersama-sama. Lalu, para petani penyet ditindih impor dan harga pupuk. Pelaut dan nelayan hangus dibakar minyak. Pedagang dipukul dolar. Buruh-kuli makan demo di depan istana. Bayi dan anak-anak berperut buncit, bukan sejahtera, tapi seperti korupsi. Ah, anak-anak sudah jadi koruptor. Aku nampak kebuluran merayap di dalam lumbung padi. Lalu, aku ngakak terbahak.

"Mari kita menelan pedih," aku memekik lantang di puncak tiang merah-putih, "sebab kepedihan adalah produk negeri ini. Bukankah kita adalah orang-orang yang cinta produksi dalam negeri?" Nadaku setengah kelakar. Daguku yang tidak begitu runcing kududukkan pada celah besi terali istana junjungan itu. Dari jauh, aku laksana tergantung. Leherku ibarat ditujah oleh tempuling. Ketika kupandang lama-lama, dalam-dalam, tempuling itu bagai tulisanòýAllah. Tapi, ternyata aku tidak sendirian. Petani, pelaut, nelayan, pedagang, buruh-kuli, anak-anak, tki, dan bayi juga menjerit parau. Dagu mereka juga seumpama ditombaki dengan tempuling.

Kami terus berteriak. Setiap suara kami adalah laung kesedihan, kemiskinan, kebuluran, kesengsaraan, dan kesusahan hidup di tengah lumbung padi. Pagar istana yang ditanami tempuling di atasnya itu kami goyang-goyang. Aku yang mengajak mereka menggoyangnya sehingga pagar itu berayun-ayun membentuk gelombang. Para satpam istana pun tak lengah menghalang aksi yang kupimpin. Dorong-mendorong pun tak terelakkan. Sejurus kemudian, polisi tiba sekompi membantu mengamankan keadaan yang kami buat.

Kami memekau dari sekutah pedih. Dari tanah, dari rumah, dari sawah, dari tenda-tenda tsunami, dari poso, dari papua, dari Jakarta, dari Kalimantan, juga dari pedalaman Riau. Aku nampak dan dengar malaikat juga berteriak keras. Setan-setan pun tak mau ketinggalan zaman. Kami bergulung dalam satu kepedihan ini. Pekau kami meraung, tapi bunyinya ditelan, Dikalahkan Sang Sapurba. Senyap!

Kami terus dihambat pedih. Kaki berlari seumpama hantu yang tak jejak tanah. Aku mengajak siapa saja untuk mencapai ketinggian; bukit-bukit yang berbaris ramah di sekeliling perumahan kami. Tetapi, di negeri kami, tak lagi ada perbukitan. Aku mengecuh siapa saja warga kami agar berselindung ke hutan bakau, tapi hutan itu sudah berubah tak ramah. Aku dan warga tak lagi dapat menangkap ketam, siput, atau lokan di sana.

"Haram jadah. Semuanya sudah punah!" Rustam menyumpah sambil menghempaskan parang panjang yang digenggamnya. Hempasannya itu tentu saja membuat lumpur bakau berserakan sehingga merecik ke muka dan pakaianku.

"Sialan!" sumpahku pula. ’’Hus. Jangan cabul. Tidak baik menyumpah di hutan bakau begini!’’ aku membalas serapah nakalnya itu sambil tertawa.

"Hah. Hutan katamu. Hutan apa. Semuanya berantakan. Kalau hutan, tentu masih ada hasilnya. Sudah tiga jam kita di sini, tapi apa yang kita dapatkan?" sesal tak berkesudahan sepertinya menjentik hati temanku itu. Dari mukanya, dia benar-benar geram dengan keadaan yang sedang kami hadapi sekarang ini.

Sebagai mahasiswa, aku menggerakkan massa kampus. Pagi itu, kuajak teman-teman kampus—mereka adalah mahasiswa-mahasiswa yang terpilih—untuk menggoyangkan kantor bupati. Ketika sampai di depan kantor bupati, alam yang memberikan matahari cahaya mulai menggigit badan kami seumpama memberi cambuk api agar semangat kami membara. Pintu pagar kantor sudah terkunci rapi. Berpuluh polisi pamong praja dan polisi sudah berjaga di situ. Sepertinya, mereka sudah mencium gerakan kami ini. Namun, kami tak gentar. Aku ke depan membawa api di hati. Lalu, membakar semangat teman-teman dan warga.

"Saudaraku. Kita adalah rakyat yang berdaulat. Kekuatan yang sebenarnya ada pada diri kita. Kalau kita bersatu, semua ketidakbenaran dan kekuasaan akan rubuh. Dinding-dinding pagar kantor ini hanyalah kekuatan semu. Tapi, jika makar kita lakukan, maka kita tak ubahnya ibarat pejabat yang sudah bertukar baju penjahat itu. Lihatlah matahari. Hari ini, esok, lusa, tulat, atau tubin, matahari akan terus menggigit dan menyengat. Kita akan menjadi matahari. Bakar semua kepongahan, ketidakadilan, ketidakbenaran. Lalu, berikan cahaya," aku terus nyerocos bagai pipa di pompa bensin yang sedang menyemprotkan bbm di tengah gejolak api. Semangat yang kutumpahkan itu bersambut penuh. Massa sudah berjibun mengelilingi kantor yang berpagar tempuling.

Massa mulai menggoyang pagar. Aksi dorong-mendorong pagar pun berlanjut seperti bermain tarik tambang. Massa menolak, polisi menahan dan melawan. Aku yang memegang pengeras suara terus membakar massa dalam terik yang kian ganas.

"Tuan Penguasa, kami ingin bertatap muka dengan Tuan. Ini soal kebenaran dan ketidakbenaran. Ini masalah kesejahteraan rakyat, kesejahteraan kami, bukan kesejahteraan Tuan-Tuan. Kami menggaji Tuan-Tuan bukan untuk berpoya-poya di atas pentas permainan. Bukan pula menyuruh agar Tuan-Tuan menumpuk kekayaan. Kembalikan kesejahteraan kepada kami sebab ekonomi rakyat hanya sebatas ucapan di tekak."
***

Di ruang rapat.

"Pak, massa demo sudah hampir merobohkan pagar. Mereka minta bertemu dengan Bapak," ajudan tergopoh-gopoh melaporkan kepada bupati. Muka bupati tak tentu pasal. Dia tak konsentrasi lagi memimpin jalannya rapat. Diam tercekat. Atur siasat.***(ak27)


Musa Ismail
Sastrawan riau asal Bengkalis. Karyanya banyak dimuat diberbagai media. Selain menulis sajak, Musa juga menulis cerpen, esai dan novel. Bermastautin di Bengkalis.


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN