[ArtikelKeren] SPESIAL - Pepohonan bakau tampak bergoyang-goyang dalam pandangannya. Sampan berdendang oleng mengalun menurut ombak yang terus datang. Tidak salah lagi. Itu destinasinya. Ia genggam dayung sampan kolek itu erat. Ia kayuh kuat-kuat. Pulau makin mendekat. Gelombang turun setingkat, sampan mulai merapat.
Ini kali pertama Hasan ke Pulau Dedap*. Langit terang. Petang. Ia tambat sampannya pada salah satu bakau agak condong mau tumbang yang mirip haluan kapal tongkang.
Gemuruh di hatinya masih belum redup saat air laut belum bersua reda. Agak ragu ia melompat ke salah satu akar bakau, kembali menguatkan ikat tambat. Ah, setidaknya ia selamat sampai di tempat. Pulau ini. Ia pun mulai teringat. Pulau ini tampak luas. Tidak seperti saat ia melihatnya dari sampan tadi. Beberapa kali ia menatap pepohonan di sana. Ada perasaan lain. Tapi sulit diutarakan. Satu hal yang ia tahu, ia ke sini bukan dengan keinginan sehat. Sampai ke tempat yang dianggap tak patut dijamah ini pun ia rasa seperti mimpi. Begitu cepat. Tanpa takut, tanpa rasa berat.
Ia teringat, pergi ke pulau ini saat tubuh terikat marah. Ia kesal dengan emaknya yang tak mau diajak menjual tanah pusaka peninggalan ayah.
“Onda tu dah buruk betol. Aku nak ganti baru. Aku nak bayo utang aku dengan si Supri.”
Mak Cik Munah berhenti dari memilih antah beras di nyiru.
“Nantik Nak, kalau duet yang Mak kumpul dari motong getah tu cukup.”
“Ntah bilelah gak nye. Eloknye jual aje tanah kite yang dekat rumah Pak Cik Sudin tu Mak. Lebih dari cukup aku bisa beli onda tu. Bayo utang aku. Nanti kalau aku menang maen, aku kasi ke Emak lagi.”
Mata Mak Cik Munah memerah menahan marah.
“Kau nak maen judi lagi San ha? Kau nak maen bende yang dilaknat Allah tu lagi ye San. Mak tak kan mau makan dari bende-bende haram tu. Kau ingat tu!”
Sepi, hanya terdengar helaan napas berat dan sesekali suara batuk. Hasan turut memelihara sunyi sekejap dengan mata memerah amarah.
“Itu aku tahu Mak! Sudah berbelas-belas kali emak bilang. Tapi, Emak paham juga kan, aku ni anak Ayah juge?”
“Kau San, aku tak pernah terpikei nak jual tanah tu. Itu tanah Ayah engkau. Kalau engkau nak bercocok tanam, kau buatlah. Tapi jangan sekali-kali kau bilang jual tanah itu. Jangan..”
“Ah sudahlah Mak!”
Mak Cik Munah diam tak menyahut. Tak kuasa bersuara atau bersebut. Petatah petitih yang terlontar pagi petang seakan tak ada faedah buat anaknya.
Suatu kali Mak Cik dapat tahu Hasan menjual jam tangan milik almarhum ayahnya untuk bayar hutang main judi. Mak Cik pun makan hati. Saat nasihat dijalin beliau, muncul balas yang berbuah buas. Hasan pantas kualat. Kalau saja emaknya melaknat, maka tak perlu tunggu lama, napas lelaki tak tahu adat dan agama itu pun bisa serta-merta tercekat bagai hidung tersumbat penabur berkarat.
Hasan memang membeli padah. Ia bongkar surat-surat berharga sang ayah, saat emaknya tak ada di rumah. Saat hati Hasan penuh dengan sampah, atau seperti kudis yang bernanah-nanah. Ia temukan surat tanah, ia simpan di tempat yang emaknya tak bisa menjamah.
Malamnya, Mak Cik Munah resah tak sudah. Surat tanah hilang tak kunjung datang. Hasan berdiam sua merasa tak memendam dosa. Pikirannya telah sampai pada hasrat menjual pusaka. Ditanya sana-sini soal harga, Hasan kecewa tak kena kira. Bahkan tak genap meranap hutang yang tak kian lindap.
***
Berkali-kali Hasan menoleh ke sampan, memandangnya cukup lama. Lalu menguatkan ikatan talinya. Ia takut sampan itu hanyut. Sangat takut. Seperti rasa takutnya saat berhadapan dengan Supri, tokeh balak yang selalu menagih utang sebab Hasan kerap kalah main judi dengannya.
Mulut Hasan tak berhenti bergerak dari tadi. Ke sana-kemari, dari ujung ke ujung, dari celah bakau ke celah bakau lain. Hasan mulai tampak risau. Mulutnya komat-kamit belum berhenti-berhenti.
“Kursi emas.. kursi emas.. kursi emas..” katanya, kadang kadang pelan, di lain waktu begitu keras. Ia teringat seseorang.
Seseorang itu, Pak Cik Mail. Sudah cukup tua. Suka bercerita. Kalau sudah duduk di warung kopi, bergelas-gelas tandas, setalam cerita tak habis-habis. Suatu petang, saat Hasan tengah pening nak bayar utangnya dengan si Sapri. Warung kopi masih sepi, hanya Hasan dan Pak Cik Mail di sana, selain Pak Salam di dapur tengah menggoreng mi.
“Aku aja tak berani copel dekat pulau tu. Bukan soal aku takot, tapi aku hormat. Kau tahu? Aku sudah pernah ke sana. Di sana banyak peninggalan emas permata. Tapi yang paling mahal, kursi emas, San! Itulah peninggalan si Dedap.”
Telinga Hasan lantas berdiri mendengar ucapan itu. Kursi emas? Ulang Hasan dalam hati, seakan tak percaya. Hasan yang awalnya duduk di sudut, mendekat ke kursi Pak Mail.
“Kursi emas, Pak Cik?”
“Kursi yang semua terbuat dari emas.”
“Pak Cik pernah lihat?”
“Pak Cik pernah coba duduk di sana bahkan.”
“Kursinya mana sekarang?”
“Ha, begini San. Itu satu-satunya kursi yang ada di Pulau tu. Kita tak boleh membawanya ke luar pulau. Itu tak dibenarkan oleh yang punya.”
“Di pulau tu ada orang yang tinggal?”
“Bukan orang, tapi makhluk halus.”
Hasan tak berkutik, tak menjawab. Pak Mail melanjutkan.
“Cuma mengambil sekeping emas. Hanya sekeping yang aku ambil, dan setelah itu baru aku tahu, kalau aku ternyata boleh membawa lebih dari lima keping emas. Sampai aku akan pulang aku baru dikabarkan seperti itu.” Wajah Pak Mail mengerut, persis di jidatnya. “Kalau kau berani, pergilah kesana. Kau ambil tujuh keping emas, kau bawak balek, dan setelah itu kau jangan pernah berpikir untuk mengambil lagi emas-emas lain, kau tak boleh kesana mengambil emas-emas itu lagi untuk kedua kali. Sebab engkau memang tak kan menemukannya lagi. Itu pesan penunggu pulau.” Beliau menyeruput kopi hingga tandas. “Tapi sekeping emas sudah cukup bagi aku untuk bayar hutang. Bahkan masih berlebih-lebih, kau tahu.”
“Pak Cik tak bengak kan?”
Pak Cik Mail mengambil sebatang kretek, menyulutnya, mengisapnya, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
“Terserah engkau nak pecaye atau tidak.”
***
Seketika Hasan merasa pulau itu makin meluas saat ia melihat ada jalan setapak di antara rawa-rawa yang dimasuki air laut yang tampak menderas. Ia pun mengikuti jalan itu pelan-pelan. Tak henti berharap menemukan kursi emas yang melayang-layang dalam pikiran.
Di luar sangkaan, pulau ini tak ada ujungnya. Jalan setapak masih teramat panjang. Hasan lantas berhenti, teringat sampannya, menoleh ke belakang. Ia memang tak patut terkejut, sampan sudah jauh di ujung pulau.
Hasan ingat lagi kata-kata Pak Mail.
“Jika engkau jumpa jalan, lalu engkau sampai pada simpang empat, engkau beloklah ke kiri, dan engkau tidak akan tersesat, malah engkau akan menemukan kursi emas dan perhiasan-perhiasan lainnya. Jangan pula engkau belok ke kanan. Kalau itu yang kau buat, engkau tak akan menemukan diri engkau di pulau tu lagi, melainkan telah sampai di hutan Tanjung Padang seberang sana.”
***
Langit gelap. Malam. Bulan setengah. Hasan menemukan jalan setapak itu terputus oleh aliran air kehitaman. Namun matanya mendadak beralih pada sesuatu di depan sana, di seberang sana. Simpang itu. Tanpa banyak pikir, ia segera merandah air keruh yang tanpa ia duga sangat dalam dan terasa seakan menghisap, atau menarik-nariknya ke dasar ‘sungai’ itu hingga membuat ia hampir tenggelam. Beruntung ia menemukan cabang akar pohon, memegangnya erat, lalu berhasil ke daratan kembali. Lalu menyadari, benar-benar menyadari, ia telah sampai tepat di simpang yang membingungkan hati.
Ini apa maksudnya? Pikir Hasan. Ia melihat simpang ke kiri begitu gelapnya, seakan tak ada benda dalam gelap itu yang bisa bebas dari kegelapan. Sangat gelap. Sedangkan simpang ke kanan terang. Begitu terang hingga tak bisa ia lihat apa yang ada di dalam terang. Ia mendengar suara seseorang di terang sana, tapi ia menafikannya. Tak acuh, merasa tak begitu butuh dengan suara itu.
Kursi itu ada dalam gelap, dan aku akan ke sana. Bisik Hasan mantap. Ia mulai melangkah rendah, sambil menghidupkan lampu minyak yang tak bisa banyak membantu. Entah mengapa, tiba-tiba ia ingat mati. Setelah sejauh ini ia masuk ke hutan pulau ini, baru kini ia ingat mati, takut kalau kalau ada penunggu yang tidak senang keberadaannya di sini. Ia pun teringat Pak Cik Mail. Ia ingat kalau tak semua ceritanya bisa dipercaya. Beliau tak ada cerita soal sungai tadi, tak ada soal cahaya dan kegelapan ini. Hasan mulai sangsi. Tapi kakinya berjalan seakan tak punya ragu.
Gelap makin hitam. Cahaya lampu makin redup, tak mampu menandingi kesempurnaan kelam yang teramat dalam. Hasan belum menemukan titik penghabisan kegelapan itu. Ia merasakan matanya basah, ia merasa menyimpan sesal. Entah itu masih ada, entah itu sudah terlambat. Kakinya melangkah patah-patah, lelah. Jalan nun di depan seakan tak punya penyudah. Ia lihat ke belakang. Ia ingin pulang. Berbalik arah. Pergi ke cahaya itu. Kelelahan membuat ia tak bisa mempercepat jalan ke simpang awal. Ke cahaya, Ke suara yang ia anggap tak perlu itu. Ada sadar yang tercipta dalam pikir dan hatinya. Entah itu masih ada, entah itu sudah terlambat.
Seketika ia tersandung akar pohon, terjatuh rebah, tak tentu arah, wajahnya redup menjemput ratap,
“Maak ampunkan Hasan..”
Suaranya serak nyaris hilang bersama isak.
“Ampunkan Hasan.. Hasan ingin bersama Mak dalam cahaya itu Mak.. tolong Hasan.. tolong Hasaan...”
Suara Hasan makin lirih, samar, makin tak terdengar, lalu tertutup sunyi, ia hanya melihat kabur lampu minyak tergeletak hampir padam, namun, sepertinya, nyala lampu masih bertahan saat penglihatannya telah dulu menggenapkan kegelapan yang telah menyungkup gelap. Lengkap. Tamat.***(RP)
Pekanbaru, akhir 2012
*) Pulau Dedap : Pulau kecil yang terletak di selat Bengkalis, pulau yang menurut legenda, dulunya adalah bahtera kapal si Dedap yang durhaka pada ibunya, hingga dikatakan, ia dan istrinya yang juga berperangai sama dengan Dedap, disumpah menjadi Kera putih, dan Bahteranya menjadi Pulau Dedap.
Fathromi R
penulis asal Bengkalis. Karya-karyanya hadir di beberapa media. Aktif di Forum Lingkar Pena Riau
Ini kali pertama Hasan ke Pulau Dedap*. Langit terang. Petang. Ia tambat sampannya pada salah satu bakau agak condong mau tumbang yang mirip haluan kapal tongkang.
Gemuruh di hatinya masih belum redup saat air laut belum bersua reda. Agak ragu ia melompat ke salah satu akar bakau, kembali menguatkan ikat tambat. Ah, setidaknya ia selamat sampai di tempat. Pulau ini. Ia pun mulai teringat. Pulau ini tampak luas. Tidak seperti saat ia melihatnya dari sampan tadi. Beberapa kali ia menatap pepohonan di sana. Ada perasaan lain. Tapi sulit diutarakan. Satu hal yang ia tahu, ia ke sini bukan dengan keinginan sehat. Sampai ke tempat yang dianggap tak patut dijamah ini pun ia rasa seperti mimpi. Begitu cepat. Tanpa takut, tanpa rasa berat.
Ia teringat, pergi ke pulau ini saat tubuh terikat marah. Ia kesal dengan emaknya yang tak mau diajak menjual tanah pusaka peninggalan ayah.
“Onda tu dah buruk betol. Aku nak ganti baru. Aku nak bayo utang aku dengan si Supri.”
Mak Cik Munah berhenti dari memilih antah beras di nyiru.
“Nantik Nak, kalau duet yang Mak kumpul dari motong getah tu cukup.”
“Ntah bilelah gak nye. Eloknye jual aje tanah kite yang dekat rumah Pak Cik Sudin tu Mak. Lebih dari cukup aku bisa beli onda tu. Bayo utang aku. Nanti kalau aku menang maen, aku kasi ke Emak lagi.”
Mata Mak Cik Munah memerah menahan marah.
“Kau nak maen judi lagi San ha? Kau nak maen bende yang dilaknat Allah tu lagi ye San. Mak tak kan mau makan dari bende-bende haram tu. Kau ingat tu!”
Sepi, hanya terdengar helaan napas berat dan sesekali suara batuk. Hasan turut memelihara sunyi sekejap dengan mata memerah amarah.
“Itu aku tahu Mak! Sudah berbelas-belas kali emak bilang. Tapi, Emak paham juga kan, aku ni anak Ayah juge?”
“Kau San, aku tak pernah terpikei nak jual tanah tu. Itu tanah Ayah engkau. Kalau engkau nak bercocok tanam, kau buatlah. Tapi jangan sekali-kali kau bilang jual tanah itu. Jangan..”
“Ah sudahlah Mak!”
Mak Cik Munah diam tak menyahut. Tak kuasa bersuara atau bersebut. Petatah petitih yang terlontar pagi petang seakan tak ada faedah buat anaknya.
Suatu kali Mak Cik dapat tahu Hasan menjual jam tangan milik almarhum ayahnya untuk bayar hutang main judi. Mak Cik pun makan hati. Saat nasihat dijalin beliau, muncul balas yang berbuah buas. Hasan pantas kualat. Kalau saja emaknya melaknat, maka tak perlu tunggu lama, napas lelaki tak tahu adat dan agama itu pun bisa serta-merta tercekat bagai hidung tersumbat penabur berkarat.
Hasan memang membeli padah. Ia bongkar surat-surat berharga sang ayah, saat emaknya tak ada di rumah. Saat hati Hasan penuh dengan sampah, atau seperti kudis yang bernanah-nanah. Ia temukan surat tanah, ia simpan di tempat yang emaknya tak bisa menjamah.
Malamnya, Mak Cik Munah resah tak sudah. Surat tanah hilang tak kunjung datang. Hasan berdiam sua merasa tak memendam dosa. Pikirannya telah sampai pada hasrat menjual pusaka. Ditanya sana-sini soal harga, Hasan kecewa tak kena kira. Bahkan tak genap meranap hutang yang tak kian lindap.
***
Berkali-kali Hasan menoleh ke sampan, memandangnya cukup lama. Lalu menguatkan ikatan talinya. Ia takut sampan itu hanyut. Sangat takut. Seperti rasa takutnya saat berhadapan dengan Supri, tokeh balak yang selalu menagih utang sebab Hasan kerap kalah main judi dengannya.
Mulut Hasan tak berhenti bergerak dari tadi. Ke sana-kemari, dari ujung ke ujung, dari celah bakau ke celah bakau lain. Hasan mulai tampak risau. Mulutnya komat-kamit belum berhenti-berhenti.
“Kursi emas.. kursi emas.. kursi emas..” katanya, kadang kadang pelan, di lain waktu begitu keras. Ia teringat seseorang.
Seseorang itu, Pak Cik Mail. Sudah cukup tua. Suka bercerita. Kalau sudah duduk di warung kopi, bergelas-gelas tandas, setalam cerita tak habis-habis. Suatu petang, saat Hasan tengah pening nak bayar utangnya dengan si Sapri. Warung kopi masih sepi, hanya Hasan dan Pak Cik Mail di sana, selain Pak Salam di dapur tengah menggoreng mi.
“Aku aja tak berani copel dekat pulau tu. Bukan soal aku takot, tapi aku hormat. Kau tahu? Aku sudah pernah ke sana. Di sana banyak peninggalan emas permata. Tapi yang paling mahal, kursi emas, San! Itulah peninggalan si Dedap.”
Telinga Hasan lantas berdiri mendengar ucapan itu. Kursi emas? Ulang Hasan dalam hati, seakan tak percaya. Hasan yang awalnya duduk di sudut, mendekat ke kursi Pak Mail.
“Kursi emas, Pak Cik?”
“Kursi yang semua terbuat dari emas.”
“Pak Cik pernah lihat?”
“Pak Cik pernah coba duduk di sana bahkan.”
“Kursinya mana sekarang?”
“Ha, begini San. Itu satu-satunya kursi yang ada di Pulau tu. Kita tak boleh membawanya ke luar pulau. Itu tak dibenarkan oleh yang punya.”
“Di pulau tu ada orang yang tinggal?”
“Bukan orang, tapi makhluk halus.”
Hasan tak berkutik, tak menjawab. Pak Mail melanjutkan.
“Cuma mengambil sekeping emas. Hanya sekeping yang aku ambil, dan setelah itu baru aku tahu, kalau aku ternyata boleh membawa lebih dari lima keping emas. Sampai aku akan pulang aku baru dikabarkan seperti itu.” Wajah Pak Mail mengerut, persis di jidatnya. “Kalau kau berani, pergilah kesana. Kau ambil tujuh keping emas, kau bawak balek, dan setelah itu kau jangan pernah berpikir untuk mengambil lagi emas-emas lain, kau tak boleh kesana mengambil emas-emas itu lagi untuk kedua kali. Sebab engkau memang tak kan menemukannya lagi. Itu pesan penunggu pulau.” Beliau menyeruput kopi hingga tandas. “Tapi sekeping emas sudah cukup bagi aku untuk bayar hutang. Bahkan masih berlebih-lebih, kau tahu.”
“Pak Cik tak bengak kan?”
Pak Cik Mail mengambil sebatang kretek, menyulutnya, mengisapnya, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
“Terserah engkau nak pecaye atau tidak.”
***
Seketika Hasan merasa pulau itu makin meluas saat ia melihat ada jalan setapak di antara rawa-rawa yang dimasuki air laut yang tampak menderas. Ia pun mengikuti jalan itu pelan-pelan. Tak henti berharap menemukan kursi emas yang melayang-layang dalam pikiran.
Di luar sangkaan, pulau ini tak ada ujungnya. Jalan setapak masih teramat panjang. Hasan lantas berhenti, teringat sampannya, menoleh ke belakang. Ia memang tak patut terkejut, sampan sudah jauh di ujung pulau.
Hasan ingat lagi kata-kata Pak Mail.
“Jika engkau jumpa jalan, lalu engkau sampai pada simpang empat, engkau beloklah ke kiri, dan engkau tidak akan tersesat, malah engkau akan menemukan kursi emas dan perhiasan-perhiasan lainnya. Jangan pula engkau belok ke kanan. Kalau itu yang kau buat, engkau tak akan menemukan diri engkau di pulau tu lagi, melainkan telah sampai di hutan Tanjung Padang seberang sana.”
***
Langit gelap. Malam. Bulan setengah. Hasan menemukan jalan setapak itu terputus oleh aliran air kehitaman. Namun matanya mendadak beralih pada sesuatu di depan sana, di seberang sana. Simpang itu. Tanpa banyak pikir, ia segera merandah air keruh yang tanpa ia duga sangat dalam dan terasa seakan menghisap, atau menarik-nariknya ke dasar ‘sungai’ itu hingga membuat ia hampir tenggelam. Beruntung ia menemukan cabang akar pohon, memegangnya erat, lalu berhasil ke daratan kembali. Lalu menyadari, benar-benar menyadari, ia telah sampai tepat di simpang yang membingungkan hati.
Ini apa maksudnya? Pikir Hasan. Ia melihat simpang ke kiri begitu gelapnya, seakan tak ada benda dalam gelap itu yang bisa bebas dari kegelapan. Sangat gelap. Sedangkan simpang ke kanan terang. Begitu terang hingga tak bisa ia lihat apa yang ada di dalam terang. Ia mendengar suara seseorang di terang sana, tapi ia menafikannya. Tak acuh, merasa tak begitu butuh dengan suara itu.
Kursi itu ada dalam gelap, dan aku akan ke sana. Bisik Hasan mantap. Ia mulai melangkah rendah, sambil menghidupkan lampu minyak yang tak bisa banyak membantu. Entah mengapa, tiba-tiba ia ingat mati. Setelah sejauh ini ia masuk ke hutan pulau ini, baru kini ia ingat mati, takut kalau kalau ada penunggu yang tidak senang keberadaannya di sini. Ia pun teringat Pak Cik Mail. Ia ingat kalau tak semua ceritanya bisa dipercaya. Beliau tak ada cerita soal sungai tadi, tak ada soal cahaya dan kegelapan ini. Hasan mulai sangsi. Tapi kakinya berjalan seakan tak punya ragu.
Gelap makin hitam. Cahaya lampu makin redup, tak mampu menandingi kesempurnaan kelam yang teramat dalam. Hasan belum menemukan titik penghabisan kegelapan itu. Ia merasakan matanya basah, ia merasa menyimpan sesal. Entah itu masih ada, entah itu sudah terlambat. Kakinya melangkah patah-patah, lelah. Jalan nun di depan seakan tak punya penyudah. Ia lihat ke belakang. Ia ingin pulang. Berbalik arah. Pergi ke cahaya itu. Kelelahan membuat ia tak bisa mempercepat jalan ke simpang awal. Ke cahaya, Ke suara yang ia anggap tak perlu itu. Ada sadar yang tercipta dalam pikir dan hatinya. Entah itu masih ada, entah itu sudah terlambat.
Seketika ia tersandung akar pohon, terjatuh rebah, tak tentu arah, wajahnya redup menjemput ratap,
“Maak ampunkan Hasan..”
Suaranya serak nyaris hilang bersama isak.
“Ampunkan Hasan.. Hasan ingin bersama Mak dalam cahaya itu Mak.. tolong Hasan.. tolong Hasaan...”
Suara Hasan makin lirih, samar, makin tak terdengar, lalu tertutup sunyi, ia hanya melihat kabur lampu minyak tergeletak hampir padam, namun, sepertinya, nyala lampu masih bertahan saat penglihatannya telah dulu menggenapkan kegelapan yang telah menyungkup gelap. Lengkap. Tamat.***(RP)
Pekanbaru, akhir 2012
*) Pulau Dedap : Pulau kecil yang terletak di selat Bengkalis, pulau yang menurut legenda, dulunya adalah bahtera kapal si Dedap yang durhaka pada ibunya, hingga dikatakan, ia dan istrinya yang juga berperangai sama dengan Dedap, disumpah menjadi Kera putih, dan Bahteranya menjadi Pulau Dedap.
Fathromi R
penulis asal Bengkalis. Karya-karyanya hadir di beberapa media. Aktif di Forum Lingkar Pena Riau
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.