[ArtikelKeren] NEWS - Budaya disiplin dan santun dalam berlalu lintas menjadi kunci sukses Jepang mengurangi angka kecelakaan. Meski jumlah kendaraan terus meningkat, korban justru terus berkurang. Apa rahasianya?
Jalan raya di kota-kota besar Jepang tidak lebih lebar daripada yang ada di Surabaya atau Jakarta. Dengan volume kendaraan yang besar, kondisi jalan di jantung Kota Tokyo atau Nagoya, misalnya, terasa semakin ’’sempit’’.
Meski begitu, berkendara di Negeri Matahari Terbit tetap terasa nyaman. Hal itu karena kesantunan para pengguna jalan. Nyaris tidak ada bunyi klakson yang bersahutan meski saat macet sekalipun. Kalaupun tersendat kendaraan di depannya, pengemudi di belakang bersabar mengikuti arus. Jarang sekali ada perang klakson.
Kesantunan pengguna jalan di Jepang juga terlihat di area traffic light. Begitu lampu merah menyala, kendaraan berhenti dengan tertib. Jarak antarkendaraan pun sangat aman. Rata-rata 1,5 meter. Bahkan, ada yang sampai 2 meter.
Bandingkan dengan yang terjadi di jalanan Indonesia. Jarak antarkendaraan saat berhenti di traffic light sangat mepet. Tidak jarang ada yang sampai ’’mencium’’ kendaraan di depannya. Belum lagi kehadiran sepeda motor yang nekat ndusel (menyusup) di antara mobil. Huh….
Tidak hanya pengendara mobil atau motor yang santun. Para pejalan kaki di Jepang juga tahu diri dan disiplin. Mereka tidak sembarangan menyeberang. Meski hanya perlu melangkah tidak lebih dari tiga meter, mereka sangat tertib. Tidak tergoda untuk melanggar rambu-rambu. Mereka baru menyeberang ketika lampu hijau menyala. Jangan lupa, para pejalan kaki di Negeri Sakura juga selalu menyeberang di zebra cross. Tidak sembarangan.
Attitude pengguna jalan di Jepang diyakini menjadi kunci terus menurunnya angka kecelakaan. Pada 1998, lebih dari 16 ribu nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas di Negeri Samurai tersebut. Namun, angka itu terus menurun. Tahun lalu korban tewas berada pada kisaran empat ribu.
Artinya, dalam kurun 12 tahun, korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas menurun drastis hingga tinggal seperempat. Dua tahun lagi, pada 2015, angka itu diharapkan terus menurun hingga hanya sekitar tiga ribu.
’’Semua orang punya hak untuk berkendara. Tapi, semua juga berhak mendapatkan keamanan,’’ kata General Manager Honda Driving Safety Promotion Center Hiroki Yoshida.
Sebagai produsen kendaraan, Honda tidak sekadar berkomitmen menyediakan sarana transportasi yang ekselen, tapi juga menciptakan budaya berkendara yang tertib dan disiplin. Raksasa otomotif dunia itu pun giat mengampanyekan berkendara aman atau safety riding.
’’Kami melakukannya sejak 43 tahun lalu,’’ ungkap Yoshida kepada rombongan wartawan Indonesia di Sirkuit Suzuka, Jepang, pekan lalu.
Yang tidak kalah penting adalah ketersediaan infrastruktur di jalan raya. Pemerintah Jepang benar-benar serius menyediakan sarana pendukung untuk menciptakan disiplin berlalu lintas. Keberadaan traffic light seolah menjadi kewajiban di setiap perempatan. Bahkan, di perempatan kecil yang pejalan kakinya hanya butuh beberapa langkah untuk menyeberang. Traffic light adalah salah satu senjata untuk mencegah kecelakaan.
Pejalan kaki mendapat tempat yang ’’terhormat’’. Dalam kondisi apa pun, selama tidak melanggar rambu, pejalan kaki selalu diutamakan. Pengendara selalu mendahulukan pejalan kaki yang hendak menyeberang.
Rambu-rambu seperti zebra cross dan markah adalah ’’senjata’’ lain untuk memaksa para pengguna jalan bertindak disiplin. Tidak ugal-ugalan. Pejalan kaki hanya bisa dan boleh menyeberang di zebra cross. Kalau melanggar, risikonya fatal.
Mereka bisa saja ditabrak kendaraan. Pengendara yang melanggar rambu juga harus siap-siap mendapat sanksi. Untuk pelanggaran ringan seperti melewati markah, dendanya bisa mencapai 9 ribu yen atau sekitar Rp 900 ribu.
Meski budaya berlalu lintas sudah terbentuk, kampanye safety riding di Jepang terus dilakukan. Honda, misalnya, mendirikan sekolah khusus untuk mendidik dan menyosialisasikan keselamatan berkendara. Salah satunya Suzuka Traffic Education Center (STEC) yang ada di kawasan Sirkuit Suzuka. Lembaga tersebut berdiri pada 1964, dua tahun setelah Sirkuit Suzuka dibuka untuk publik.
STEC berada di dalam area Sirkuit Suzuka. Selain materi tes praktik, peserta pelatihan mendapatkan teori di dalam kelas. Layaknya lembaga pendidikan, STEC mempunyai kurikulum khusus terkait safety riding. Tujuannya, peserta yang menimba ilmu di sana mendapatkan teknik berkendara yang baik. Program pelatihan diberikan secara kontinu dan menyasar banyak kalangan. Mulai profesional sampai masarakat umum.
’’Kami mengundang banyak orang dari luar Jepang untuk belajar di STEC. Kami berharap semakin banyak orang yang datang dan berlatih di sini,’’ kata Yoshida.
Dengan melahap materi pelatihan di STEC, peserta diharapkan mendapatkan ilmu tentang berkendara yang aman. Meski begitu, Yoshida mengingatkan bahwa kunci penting dalam safety riding tidak sekadar ada pada teknik berkendara yang baik. Yang jauh lebih penting adalah perilaku sang pengendara.
’’Safety riding tidak hanya teknik, tapi juga perilaku pengendara. Level berkendara setiap orang berbeda-beda. Namun, semua wajib memiliki perilaku yang baik saat di jalan,’’ ujar pria yang juga presiden The 14th Safety Japan Instructors Competition 2013 tersebut.
Meski seseorang memiliki teknik berkendara yang baik, hal itu tidak berguna jika perilaku di jalan buruk. Yoshida mengungkapkan, saling menghormati pengguna jalan adalah poin penting yang harus ditekankan kepada para masyarakat. Dengan saling menghormati para pengguna jalan akan terbentuk dalam budaya berlalu lintas yang santun.
Ketatnya kurikulum safety riding di STEC dirasakan para peserta The 14th Safety Japan Instructors Competition 2013 yang digelar 14-15 November lalu. Di antara para peserta, tiga orang berasal dari Indonesia. Yakni, Maryanto, Ahmad Anugra, dan Aldea Henry. Mereka adalah tiga instruktur terbaik tanah air yang dikirim oleh PT Astra Honda Motor (AHM).
Para peserta menjalani tiga rangkaian tes. Dimulai dengan pengereman atau braking. Setiap peserta wajib memacu motor atau mobil dengan kecepatan yang ditentukan. Nah, pada titik yang ditetapkan, mereka harus mengerem. Juri menilai kestabilan para peserta dalam mengendalikan kendaraan.
Materi lain adalah narrow plank. Yakni, keterampilan melewati papan sepanjang 15 meter dengan lebar hanya 30 sentimeter. Alhasil, pengendara dipaksa ekstrahati-hati. Mereka harus selambat mungkin melewati papan tersebut. Jika jatuh, mereka dinyatakan gugur. Peserta juga wajib mempertahankan posisi sempurna di atas kendaraan. Kedua kaki harus terus merapat pada tangki motor.
Standar penilaian narrow plank di STEC sangat ketat. Tiga juri mengawasi langsung para peserta saat membawa motor meniti papan besi. Sedikit saja peserta melanggar regulasi, meski berhasil melewati papan, juri akan mengurangi poinnya. Di Jepang, standar waktu melewati narrow plank adalah 2 menit. Karena itu, para instruktur STEC sangat piawai. Mereka bahkan bisa sampai ’’diam’’ untuk beberapa saat di atas papan besi. Adapun di Indonesia standarnya hanya 30 detik.
’’Standar di sini (Jepang) lebih tinggi. Peraturan juga lebih detail,’’ kata Aldea, peserta asal Bandung, yang akhirnya menjadi runner-up katagori motor kelas 100 cc.
Para peserta mengaku mendapatkan pengalaman berharga dan ilmu baru setelah menjalani kompetisi di STEC. ’’Banyak teknik baru yang saya dapatkan. Kami memang harus terus belajar untuk menambah ilmu,’’ ungkap Anugra. Pemuda 22 tahun asal Pelembang, Sumatera Selatan, itu menjadi juara di katagori motor kelas 100 cc.
Membentuk budaya santun berlalu lintas tentu tidak mudah. Perilaku masyarakat sangat menentukan. Seketat apa pun peraturan, tidak akan efektif jika manusianya memang tidak memiliki kemauan untuk berdisiplin.
Nah, di Jepang, kedisiplinan dibentuk sejak kecil dan menyangkut semua lini kehidupan. Disiplin adalah bagian dari budaya. Anak-anak kecil diperkenalkan pada budaya disiplin dengan mengajari mereka antre saat membeli tiket kereta api, naik lift, atau memesan makanan. Sangat sederhana. Namun, hasilnya cespleng. Ketika besar, mereka menjelma menjadi orang-orang yang disiplin dan menjunjung tinggi peraturan.
’’Belajar dari orang Jepang itu gampang. Lihat saja ketika mereka menggunakan jalan. Saat mau menyeberang pun mereka antre,’’ kata Mahmudi Fukumoto, pria asal Tulungagung, Jawa Timur, yang tinggal di Tokyo sejak 12 tahun lalu. Kesantunan warga Jepang tidak hanya saat berada di jalan. Perilaku itu terjaga di semua aspek kehidupan. Pertanyaannya: kalau orang Jepang bisa, mengapa masyarakat Indonesia tidak? (jpnn)
Meski begitu, berkendara di Negeri Matahari Terbit tetap terasa nyaman. Hal itu karena kesantunan para pengguna jalan. Nyaris tidak ada bunyi klakson yang bersahutan meski saat macet sekalipun. Kalaupun tersendat kendaraan di depannya, pengemudi di belakang bersabar mengikuti arus. Jarang sekali ada perang klakson.
Kesantunan pengguna jalan di Jepang juga terlihat di area traffic light. Begitu lampu merah menyala, kendaraan berhenti dengan tertib. Jarak antarkendaraan pun sangat aman. Rata-rata 1,5 meter. Bahkan, ada yang sampai 2 meter.
Bandingkan dengan yang terjadi di jalanan Indonesia. Jarak antarkendaraan saat berhenti di traffic light sangat mepet. Tidak jarang ada yang sampai ’’mencium’’ kendaraan di depannya. Belum lagi kehadiran sepeda motor yang nekat ndusel (menyusup) di antara mobil. Huh….
Tidak hanya pengendara mobil atau motor yang santun. Para pejalan kaki di Jepang juga tahu diri dan disiplin. Mereka tidak sembarangan menyeberang. Meski hanya perlu melangkah tidak lebih dari tiga meter, mereka sangat tertib. Tidak tergoda untuk melanggar rambu-rambu. Mereka baru menyeberang ketika lampu hijau menyala. Jangan lupa, para pejalan kaki di Negeri Sakura juga selalu menyeberang di zebra cross. Tidak sembarangan.
Attitude pengguna jalan di Jepang diyakini menjadi kunci terus menurunnya angka kecelakaan. Pada 1998, lebih dari 16 ribu nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas di Negeri Samurai tersebut. Namun, angka itu terus menurun. Tahun lalu korban tewas berada pada kisaran empat ribu.
Artinya, dalam kurun 12 tahun, korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas menurun drastis hingga tinggal seperempat. Dua tahun lagi, pada 2015, angka itu diharapkan terus menurun hingga hanya sekitar tiga ribu.
’’Semua orang punya hak untuk berkendara. Tapi, semua juga berhak mendapatkan keamanan,’’ kata General Manager Honda Driving Safety Promotion Center Hiroki Yoshida.
Sebagai produsen kendaraan, Honda tidak sekadar berkomitmen menyediakan sarana transportasi yang ekselen, tapi juga menciptakan budaya berkendara yang tertib dan disiplin. Raksasa otomotif dunia itu pun giat mengampanyekan berkendara aman atau safety riding.
’’Kami melakukannya sejak 43 tahun lalu,’’ ungkap Yoshida kepada rombongan wartawan Indonesia di Sirkuit Suzuka, Jepang, pekan lalu.
Yang tidak kalah penting adalah ketersediaan infrastruktur di jalan raya. Pemerintah Jepang benar-benar serius menyediakan sarana pendukung untuk menciptakan disiplin berlalu lintas. Keberadaan traffic light seolah menjadi kewajiban di setiap perempatan. Bahkan, di perempatan kecil yang pejalan kakinya hanya butuh beberapa langkah untuk menyeberang. Traffic light adalah salah satu senjata untuk mencegah kecelakaan.
Pejalan kaki mendapat tempat yang ’’terhormat’’. Dalam kondisi apa pun, selama tidak melanggar rambu, pejalan kaki selalu diutamakan. Pengendara selalu mendahulukan pejalan kaki yang hendak menyeberang.
Rambu-rambu seperti zebra cross dan markah adalah ’’senjata’’ lain untuk memaksa para pengguna jalan bertindak disiplin. Tidak ugal-ugalan. Pejalan kaki hanya bisa dan boleh menyeberang di zebra cross. Kalau melanggar, risikonya fatal.
Mereka bisa saja ditabrak kendaraan. Pengendara yang melanggar rambu juga harus siap-siap mendapat sanksi. Untuk pelanggaran ringan seperti melewati markah, dendanya bisa mencapai 9 ribu yen atau sekitar Rp 900 ribu.
Meski budaya berlalu lintas sudah terbentuk, kampanye safety riding di Jepang terus dilakukan. Honda, misalnya, mendirikan sekolah khusus untuk mendidik dan menyosialisasikan keselamatan berkendara. Salah satunya Suzuka Traffic Education Center (STEC) yang ada di kawasan Sirkuit Suzuka. Lembaga tersebut berdiri pada 1964, dua tahun setelah Sirkuit Suzuka dibuka untuk publik.
STEC berada di dalam area Sirkuit Suzuka. Selain materi tes praktik, peserta pelatihan mendapatkan teori di dalam kelas. Layaknya lembaga pendidikan, STEC mempunyai kurikulum khusus terkait safety riding. Tujuannya, peserta yang menimba ilmu di sana mendapatkan teknik berkendara yang baik. Program pelatihan diberikan secara kontinu dan menyasar banyak kalangan. Mulai profesional sampai masarakat umum.
’’Kami mengundang banyak orang dari luar Jepang untuk belajar di STEC. Kami berharap semakin banyak orang yang datang dan berlatih di sini,’’ kata Yoshida.
Dengan melahap materi pelatihan di STEC, peserta diharapkan mendapatkan ilmu tentang berkendara yang aman. Meski begitu, Yoshida mengingatkan bahwa kunci penting dalam safety riding tidak sekadar ada pada teknik berkendara yang baik. Yang jauh lebih penting adalah perilaku sang pengendara.
’’Safety riding tidak hanya teknik, tapi juga perilaku pengendara. Level berkendara setiap orang berbeda-beda. Namun, semua wajib memiliki perilaku yang baik saat di jalan,’’ ujar pria yang juga presiden The 14th Safety Japan Instructors Competition 2013 tersebut.
Meski seseorang memiliki teknik berkendara yang baik, hal itu tidak berguna jika perilaku di jalan buruk. Yoshida mengungkapkan, saling menghormati pengguna jalan adalah poin penting yang harus ditekankan kepada para masyarakat. Dengan saling menghormati para pengguna jalan akan terbentuk dalam budaya berlalu lintas yang santun.
Ketatnya kurikulum safety riding di STEC dirasakan para peserta The 14th Safety Japan Instructors Competition 2013 yang digelar 14-15 November lalu. Di antara para peserta, tiga orang berasal dari Indonesia. Yakni, Maryanto, Ahmad Anugra, dan Aldea Henry. Mereka adalah tiga instruktur terbaik tanah air yang dikirim oleh PT Astra Honda Motor (AHM).
Para peserta menjalani tiga rangkaian tes. Dimulai dengan pengereman atau braking. Setiap peserta wajib memacu motor atau mobil dengan kecepatan yang ditentukan. Nah, pada titik yang ditetapkan, mereka harus mengerem. Juri menilai kestabilan para peserta dalam mengendalikan kendaraan.
Materi lain adalah narrow plank. Yakni, keterampilan melewati papan sepanjang 15 meter dengan lebar hanya 30 sentimeter. Alhasil, pengendara dipaksa ekstrahati-hati. Mereka harus selambat mungkin melewati papan tersebut. Jika jatuh, mereka dinyatakan gugur. Peserta juga wajib mempertahankan posisi sempurna di atas kendaraan. Kedua kaki harus terus merapat pada tangki motor.
Standar penilaian narrow plank di STEC sangat ketat. Tiga juri mengawasi langsung para peserta saat membawa motor meniti papan besi. Sedikit saja peserta melanggar regulasi, meski berhasil melewati papan, juri akan mengurangi poinnya. Di Jepang, standar waktu melewati narrow plank adalah 2 menit. Karena itu, para instruktur STEC sangat piawai. Mereka bahkan bisa sampai ’’diam’’ untuk beberapa saat di atas papan besi. Adapun di Indonesia standarnya hanya 30 detik.
’’Standar di sini (Jepang) lebih tinggi. Peraturan juga lebih detail,’’ kata Aldea, peserta asal Bandung, yang akhirnya menjadi runner-up katagori motor kelas 100 cc.
Para peserta mengaku mendapatkan pengalaman berharga dan ilmu baru setelah menjalani kompetisi di STEC. ’’Banyak teknik baru yang saya dapatkan. Kami memang harus terus belajar untuk menambah ilmu,’’ ungkap Anugra. Pemuda 22 tahun asal Pelembang, Sumatera Selatan, itu menjadi juara di katagori motor kelas 100 cc.
Membentuk budaya santun berlalu lintas tentu tidak mudah. Perilaku masyarakat sangat menentukan. Seketat apa pun peraturan, tidak akan efektif jika manusianya memang tidak memiliki kemauan untuk berdisiplin.
Nah, di Jepang, kedisiplinan dibentuk sejak kecil dan menyangkut semua lini kehidupan. Disiplin adalah bagian dari budaya. Anak-anak kecil diperkenalkan pada budaya disiplin dengan mengajari mereka antre saat membeli tiket kereta api, naik lift, atau memesan makanan. Sangat sederhana. Namun, hasilnya cespleng. Ketika besar, mereka menjelma menjadi orang-orang yang disiplin dan menjunjung tinggi peraturan.
’’Belajar dari orang Jepang itu gampang. Lihat saja ketika mereka menggunakan jalan. Saat mau menyeberang pun mereka antre,’’ kata Mahmudi Fukumoto, pria asal Tulungagung, Jawa Timur, yang tinggal di Tokyo sejak 12 tahun lalu. Kesantunan warga Jepang tidak hanya saat berada di jalan. Perilaku itu terjaga di semua aspek kehidupan. Pertanyaannya: kalau orang Jepang bisa, mengapa masyarakat Indonesia tidak? (jpnn)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.