Oleh :
[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Dalam hidup, siapa di antara kita yang tak pernah berhubungan dengan dokter? Mungkin kata “dokter” bisa diperluas sebagai tenaga medis termasuk bidan, mantri, dan beberapa nama lainnya yang tugasnya mengobati orang sakit.
Sebab, di kampung-kampung pedalaman, tugas dokter dirangkap oleh bidan atau mantri yang diharapkan masyarakat sebagai “tukang sembuh” penyakit apa saja.
Mungkin hanya di beberapa daerah yang memang tak terjamah oleh tenaga medis ini, ada orang yang tak berhubungan dengan mereka.
Mereka masih mempercayakannya kepada tabib, dukun, atau yang lainnya yang masih berhubungan dengan animisme untuk menyembuhkan penyakit.
Bagi masyarakat modern, dokter dan tenaga medis lainnya, amatlah penting. Jangankan mendapatkan penyakit menakutkan seperti kelainan jantung, hati, ginjal, paru-paru, kanker otak dan segala yang menakutkan lainnya, orang yang “hanya” sakit flu, batuk, demam dan lainnya yang dianggap remeh-temeh, akan datang ke dokter dan meminta obat atau sugesti.
Ketika pulang, obat apapun yang diberi dokter kemudian ditelan, dan mungkin karena sugesti, bisa langsung sembuh. Padahal, mungkin, obat yang diberikan itu hampir sama dengan obat demam, flu atau batuk yang dijual di toko-toko obat.
Tetapi, dalam “pergaulan” kita dengan dokter atau tenaga medis lainnya, berapa banyak dari kita yang pernah kecewa? Bahkan mungkin pernah berulang-ulang.
Ada seorang ibu yang pergi ke dokter anak di sebuah rumah sakit pemerintah karena anaknya sakit, sangat marah dengan cara penanganan sang dokter.
Setelah menunggu sekian lama, ketika mendapat giliran, ternyata si anak disentuh pun tidak oleh sang dokter. Hanya ditanya beberapa hal, dan kemudian dituliskan resep obatnya. Tak sampai tiga menit sudah keluar dari ruangan praktik.
Karena kita menganggap dokter dan tenaga medis lainnya begitu berperan dalam kesembuhan penyakit kita, maka segala keluhan yang didapat saat berobat ke dokter, tak dihiraukan.
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Ali Baziad, tidak menutup mata bahwa banyak masyarakat yang kecewa dengan pelayanan dokter di Indonesia.
Menurut dia, kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat ke lembaganya kebanyakan berakar pada buruknya komunikasi si dokter dengan pasiennya.
Banyak dokter yang kurang empati dan kurang komunikatif. Tentu, banyak juga dokter yang karena dari awalnya bercita-cita mengabdi untuk menyembuhkan masyarakat, mereka benar-benar berusaha agar pasiennya sembuh dengan berbagai cara. Jumlah dokter yang seperti ini sangat banyak.
Rabu (27/11) lalu, sejumlah dokter di berbagai daerah di seluruh Indonesia melakukan aksi protes dengan melakukan “mogok” tak melayani pasien, kecuali di Unit Gawat Darurat (UGD).
Pemicunya adalah hukuman yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada tiga dokter kandungan, yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian. Mereka dinyatakan bersalah karena menyebabkan Julia Franciska Makatey meninggal saat melahirkan di RSU Prof dr Kandou, Manado, April 2010 lalu.
Banyak orang yang simpati dengan apa yang dialami oleh tiga dokter tersebut. Sebab, di mata masyarakat, dokter tetap dipandang “sang penyelamat”, tetapi mengapa dikriminalkan dan dihukum ketika dianggap gagal dalam tugasnya.
Yang membuat banyak orang kecewa adalah aksi mogok tersebut. Banyak orang menganggap, tidak sepantasnya profesi seperti dokter —juga guru— mogok menjalankan tugasnya (juga pengabdiannya), padahal profesi dokter bukan hanya persoalan pekerjaan tetapi di sana ada pengabdian dan kemanusiaan.
Ketika dokter mogok melayani pasien, ada sisi pengabdian dan kemanusiaan yang terabaikan. Begitu juga misalnya ketika guru mogok mengajar, maka sisi pengabdian dan kemanusiaannya dipertanyakan.
Harus dicari solusi terbaik ketika ada dokter yang tak bisa menyelamatkan pasien agar tidak dikriminalkan dan dihukum dengan KUHP.
Sebab, walau bagaimanapun, dokter tetap diperlukan masyarakat, dan mereka sudah bekerja keras untuk menyelamatkan pasiennya seperti yang diucapkannya sebagai sumpah sebelum diangkat sebagai dokter.
Kita semua memerlukan dokter, tetapi kita semua juga ingin ada perbaikan pelayanan dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat. Dan, satu lagi, tidak mogok. Percayalah, kita semua sayang dokter.***(ak27/rp)
[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Dalam hidup, siapa di antara kita yang tak pernah berhubungan dengan dokter? Mungkin kata “dokter” bisa diperluas sebagai tenaga medis termasuk bidan, mantri, dan beberapa nama lainnya yang tugasnya mengobati orang sakit.
Sebab, di kampung-kampung pedalaman, tugas dokter dirangkap oleh bidan atau mantri yang diharapkan masyarakat sebagai “tukang sembuh” penyakit apa saja.
Mungkin hanya di beberapa daerah yang memang tak terjamah oleh tenaga medis ini, ada orang yang tak berhubungan dengan mereka.
Mereka masih mempercayakannya kepada tabib, dukun, atau yang lainnya yang masih berhubungan dengan animisme untuk menyembuhkan penyakit.
Bagi masyarakat modern, dokter dan tenaga medis lainnya, amatlah penting. Jangankan mendapatkan penyakit menakutkan seperti kelainan jantung, hati, ginjal, paru-paru, kanker otak dan segala yang menakutkan lainnya, orang yang “hanya” sakit flu, batuk, demam dan lainnya yang dianggap remeh-temeh, akan datang ke dokter dan meminta obat atau sugesti.
Ketika pulang, obat apapun yang diberi dokter kemudian ditelan, dan mungkin karena sugesti, bisa langsung sembuh. Padahal, mungkin, obat yang diberikan itu hampir sama dengan obat demam, flu atau batuk yang dijual di toko-toko obat.
Tetapi, dalam “pergaulan” kita dengan dokter atau tenaga medis lainnya, berapa banyak dari kita yang pernah kecewa? Bahkan mungkin pernah berulang-ulang.
Ada seorang ibu yang pergi ke dokter anak di sebuah rumah sakit pemerintah karena anaknya sakit, sangat marah dengan cara penanganan sang dokter.
Setelah menunggu sekian lama, ketika mendapat giliran, ternyata si anak disentuh pun tidak oleh sang dokter. Hanya ditanya beberapa hal, dan kemudian dituliskan resep obatnya. Tak sampai tiga menit sudah keluar dari ruangan praktik.
Karena kita menganggap dokter dan tenaga medis lainnya begitu berperan dalam kesembuhan penyakit kita, maka segala keluhan yang didapat saat berobat ke dokter, tak dihiraukan.
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Ali Baziad, tidak menutup mata bahwa banyak masyarakat yang kecewa dengan pelayanan dokter di Indonesia.
Menurut dia, kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat ke lembaganya kebanyakan berakar pada buruknya komunikasi si dokter dengan pasiennya.
Banyak dokter yang kurang empati dan kurang komunikatif. Tentu, banyak juga dokter yang karena dari awalnya bercita-cita mengabdi untuk menyembuhkan masyarakat, mereka benar-benar berusaha agar pasiennya sembuh dengan berbagai cara. Jumlah dokter yang seperti ini sangat banyak.
Rabu (27/11) lalu, sejumlah dokter di berbagai daerah di seluruh Indonesia melakukan aksi protes dengan melakukan “mogok” tak melayani pasien, kecuali di Unit Gawat Darurat (UGD).
Pemicunya adalah hukuman yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA) kepada tiga dokter kandungan, yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian. Mereka dinyatakan bersalah karena menyebabkan Julia Franciska Makatey meninggal saat melahirkan di RSU Prof dr Kandou, Manado, April 2010 lalu.
Banyak orang yang simpati dengan apa yang dialami oleh tiga dokter tersebut. Sebab, di mata masyarakat, dokter tetap dipandang “sang penyelamat”, tetapi mengapa dikriminalkan dan dihukum ketika dianggap gagal dalam tugasnya.
Yang membuat banyak orang kecewa adalah aksi mogok tersebut. Banyak orang menganggap, tidak sepantasnya profesi seperti dokter —juga guru— mogok menjalankan tugasnya (juga pengabdiannya), padahal profesi dokter bukan hanya persoalan pekerjaan tetapi di sana ada pengabdian dan kemanusiaan.
Ketika dokter mogok melayani pasien, ada sisi pengabdian dan kemanusiaan yang terabaikan. Begitu juga misalnya ketika guru mogok mengajar, maka sisi pengabdian dan kemanusiaannya dipertanyakan.
Harus dicari solusi terbaik ketika ada dokter yang tak bisa menyelamatkan pasien agar tidak dikriminalkan dan dihukum dengan KUHP.
Sebab, walau bagaimanapun, dokter tetap diperlukan masyarakat, dan mereka sudah bekerja keras untuk menyelamatkan pasiennya seperti yang diucapkannya sebagai sumpah sebelum diangkat sebagai dokter.
Kita semua memerlukan dokter, tetapi kita semua juga ingin ada perbaikan pelayanan dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat. Dan, satu lagi, tidak mogok. Percayalah, kita semua sayang dokter.***(ak27/rp)
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.