Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Jumat, 29 November 2013

Alquran dan Hikmah Hijrah

Jumat, November 29, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Ibrahim Muhammad


[ArtikelKeren] OPINI - Pada tahun 1995, kami hijrah dari kota Medan ke Padang. Artinya, ketiga putri kami otomatis harus pindah sekolah. Waktu itu, masih lima bulan lagi ujuan akhir digelar.

Saya bergegas menuju SMA Negeri 1 karena itulah sekolah yang terdekat dengan rumah kami. Meski mengerti, tak mudah masuk pindahan ke SMA Negeri 1, tapi saya bertekad mencoba dan menemui kepala sekolah.

Saya dapat jawaban ringkas “Coba datang besok. Kemarin memang ada yang pindah juga ke kota lain. Kalau bangku itu belum terisi, anak bapak boleh sekolah di sini” dan jawaban demikian itu membikin kami anak beranak tak nyenyak tidur. Keesokan hari, saya datang lagi, dan jawaban yang saya terima sangat membuat perasaan lega.

“Alhamdulillah. Putri bapak bisa kami terima, syukurlah bangku itu belum terisi, silahkan bapak ke bagian administrasi saja.” Tuntas menyelesaikan kewajiban administrasi, maka dua hari kemudian, saya datang kembali dengan sepucuk amplop putih berisi uang lumayan jumlahnya.

Siapapun tentu faham, SMA Negeri 1 memiliki gengsi dan prestise istimewa. sayapun menyodorkan amplop putih berisi yang saya bawa kepada Pak Kasek. Tapi, apa sambutan Kasek?

“Maaf, Pak. Bapak kenapa harus bersusah-payah seperti ini. Saya tak bisa menerima pemberian bapak ini. Terimakasih.” Saya bingung, gugup dan galau. Pelan saya bertanya “Menolak, itu hak bapak. Tapi mengapa menolak? Bukankah ini cuma tanda terimakasih dari saya?”

Sang Kasek menatap saya dalam-dalam berkata tegas. “Saya punya guru, Pak. Guru saya itu Alquran. Salah satu ayatnya mengatakan, jangan campurkan yang haq dengan yang bathil. Saya tolong putri bapak lantaran saya punya tugas dan wewenang. Lantas, apa saya juga ditugaskan menerima pemberian? Maaf, bapak.”

Peristiwa itu terjadi 18 tahun silam, dan memori saya sekonyong terguncang sewaktu membaca opini seorang guru Lidus Yardi (Riau Pos, 30/10) yang mengkonstatasikan, “aneka guru di Indonesia tersedia dengan berbagai cita-rasa, guru PNS, guru PNS diperbantukan, guru-bantu pusat atau provinsi, guru honor daerah, guru honor komite, guru yayasan, guru madrasah, bahkan guru minim upah.”

Terus terang, yang diungkapkan Lidus Yardi semata-mata “kulit” tak menyentuh “isi”, hanya memandang “profesi” bukan “hakiki”, melihat “fisik” belaka dan bukan “nonfisik”, mengkaji “fenomena” belum “substansial”, meneropong “yang tersurat” tidak “yang tersirat”.

Lebih mencengangkan opini pak guru di Bengkalis, Musa Ismail (Riau Pos, 25/11) dalam kalimat memprihatinkan “Masih banyak guru yang mau mengupah penulis tertentu untuk pembuatan karya tulis guna naik pangkat.”

Sebagai profesi sangat-sangat wajar sekali orang tak bisa disalahkan jika mereka berjuang merebut posisi “guru” demi sesuap nasi. Anak didik itu kelak cerdas atau tidak, no problem.

Kalau kebetulan anak didik itu jadi “orang” dengan tangkas sang guru menepuk dada atau membesar-besarkan lubang hidung. Kalau anak didik itu ternyata jadi “sampah masyarakat” sang guru enak saja lepas tangan malah tak merasa berdosa seujung kukupun.

Jawabannya enteng belaka “tak semua putik jadi buah, tak semua buah jadi ranum, banyak buah yang akhirnya busuk berulat” seakan-akan anak didik yang “tak jadi orang” itu samasekali bukan tanggung jawab guru! Lantas, mana guru yang bukan profesi?

Bacalah buku AA.Navis Alam Terkembang jadi Guru yang mengisyaratkan, dalam kebudayaan Minangkabau alam itulah guru yang sejati, guru yang hakiki. Baca juga buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy.

Setiap orang perlu berguru pada alam, walaupun alam itu terkadang bisu, namun itulah guru yang terbaik. Bait lagu Ebiet G.Ade mungkin telah dihafal banyak orang “Tanyalah pada rumput yang bergoyang” mengisyaratkan dan menjentik kalbu, bahwa rumput juga bisa menjadi guru, jadi tempat bertanya insan. Habis? O, belum.

Masih ada guru berikutnya, yakni “pengalaman” dan semua guru SD, SMP, SMA, SMK bahkan setiap mahaguru pasti tahu itu, dan pasti telah mengajarkannya pada anak didik dan mahasiswa mereka.

Bahwa, pengalaman merupakan guru yang terhebat sekaligus terbaik. Makin kaya pengalaman seseorang makin kukuh dan tangguh ia menghadapi kehidupan.

Sebuah perusahaan bonafid takkan bertanya apa ijazah si pelamar kerja, apa hobinya, apa misi dan visinya, tapi mereka akan bertanya, apa pengalamannya. Kemudian guru ketiga, yakni Kitab Suci Alquran.

Sebait kalimat Kepala SMA Negeri 1 Padang, penulis coba merenungkannya, menganalisanya, mengkajinya selama bertahun-tahun.

Hingga, seorang mahaguru memberi petuah. “Betul sekali. Alquran itu adalah guru. Sebanyak 114 surat dan 6.236 ayatnya adalah guru terdahsyat. Tapi sayang, kebanyakan orang justru lebih hafal ayat-ayat KUHP serta KUHAP bahkan ayat-ayat cinta daripada ayat-ayat Alquran.

Kitab Suci Alquran dijabarkan oleh Hadist serta fatwa-fatwa ulama, dan itulah rujukan kehidupan manusia bumi ini sejatinya. Jangan cari pola bagaimana yang jitu dalam bermain sepakbola, apakah 4-2-4 atau 5-3-2 jelas takkan ditemukan dalam Alquran, Alhadist maupun fatwa ulama.

Sebab, sepakbola murni urusan duniawi, bagi agama Islam sifatnya mubah belaka. Alquran justru pedoman kemanusiaan yang mengatur hal-hal prinsip, sekaligus menjadi induk dari segala peraturan yang dibuat manusia.

Ironinya, mayoritas manusia acapkali lebih takut pada peraturan yang dibuatnya, terkesan sangat gemetar dan menggigil bila mendengarkan ayat-ayat KUHP atau KUHAP tapi tak peduli, tak acuh dan tak respon mendengarkan ayat-ayat Alquran. Padahal, Alquran itulah guru terbesar”. Demikian lah petuah yang penulis dengar.

Amboi, kalimat petuah Sang Mahaguru yang mengalir tersebut lembut merasuki relung-relung jiwa penulis. Kesadaran pun timbul menggumul batin.

Benarkah Alquran tempat berguru dan belajar? Cukup lama penulis mencari jawaban pertanyaan tersebut. Sampai akhirnya dibaca buku Thariqah Ibda’iyyah Lihifzil Quranulkarim karya Abdud Daim Al-Kahil, seorang hafiz asal Suriah dan dialihbahsakan Ibnu Bathal.

Ditegaskannya, orang takkan bisa berguru pada Alquran jika tidak mencintainya. Bila seseorang lebih mementingkan dan menyintai urusan duniawi yang sangat beragam daripada merindukan dan memprioritaskan ayat Alquran, berarti ia tak cinta dengan Alquran. Kalau tak cinta, mustahil berguru.

Insya Allah dengan masuknya tahun baru Islam 1435 Hijriyah, kita bisa istighfar introspeksi dan melakukan perubahan.

Tahun baru Hijriyah Muharam perlu direfleksikan dan diberi apresiasi karena Muharam merupakan momentum buat berubah dan berhijrah (maksudnya berpindah dari perilaku yang kurang elok, akhlak tak terpuji, perangai buruk dan jahat menjadi akhlaqul karimah) dengan mendaulat Alquran sebagai guru terbesar.

Secara substansial kalender Islam memang dimulai saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, dari komunitas umat jahilliyah ke lingkungan masyarakat madani. Amboi, apakah saya dan Anda sudah jatuh cinta pada Alquran? ***(ak27/rp)



Ibrahim Muhammad
Penulis buku 1001 Masjid di Bumi Melayu


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN