[ArtikelKeren] CERPEN - Becek. Busuk dan berlendir. Tak ada nafas yang segar. Tanpa pepohonan yang menjaga. Taman penuh dan tak terlihat. Sesekali matahari tersenyum di balik samudera. Namun peluk semakin jauh dari bocah kecil. Pasti akan hadir sebuah harapan dengan dongeng yang menenangkan di kala malam diterpa badai. Lalu hujan turun semelankolis mungkin dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Tataplah bintang dan esok kau akan menjumpainya lagi. Jika tidak, kau harus bermimpi lagi. Kemudian hidupmu untuk bermimpi dari hari ini, esok dan seterusnya. Beruntung jika kau menemukan sebuah emas di perantauan. Simpanlah ia, bungkus dengan kesederhanaan agar tak lekas luka. Di atas kegelisahan terukir sebuah rajaman tatap mesra.
Perawan atau pun tidak, bagi mereka itu tidak penting. Seorang perempuan hidup bukan untuk menjaga mahkota keperawanannya, tapi bagaimana untuk masih dapat bernafas sedikit saja untuk menikmati mentari esok hari. Setidaknya itu yang harus dikerjakan oleh setiap perempuan yang ada di belahan bumi ini. Jika perempuan masih sama hakikatnya untuk menjaga keperawanannya, disini itu bukan sebuah prioritas. Belahan bumi ini ialah benua hitam. Tak ada perempuan yang berani beranjak dari benua ini. Mereka paham betul inilah Afrika. Dengan segala keunikan dan ketersediaannya.
Empat puluh lima menit yang lalu aku mendarat di bandara Cape Town. Aku tak menyangka bisa mendarat di di negara ini. Sebuah pekerjaan jurnalislah yang mengantarkanku ke hadapan mereka. Mengeja kata untuk tetap hidup dalam garis perjuangan. Tak ingin hanyut terbawa aliran sungai kemunafikan yang makin intens mendekapku. Aku harus merajut tetesan tangis dan darah yang menjual tertutup dunia. Tepatnya kedatanganku pagi ini tak lebih dan bukan meliput kejadian yang hampir hilang dan lenyap dari dunia. Orang-orang mungkin mengenal Afrika dengan kemiskinannya namun ada yang lebih mengenaskan dari itu.
Di tanah hitam dan penuh dengan keganasannya. Ya, disini di tanah yang kupijak ini akan diguratkan berita-berita yang simpang siur ditelan angin. Mata seorang tua menyambutku di peron bandara. Dengan kabut yang menyongsong di pelipis, ia tak segan mengangkat koperku ke dalam taksi biru itu. Gemulai garis tua disiksa dengan tugas yang dipaksa. Taksi mereka menyebutnya, meski kulihat tak lebih dari sebuah rongsokan jika di negaraku. Bukan itu sebenarnya yang harus kupikirkan, membandingkan sebuah kemiskinan. Afrika tetaplah Afrika. Tujuanku kesini hanya satu. Aku harus meliput kejadian paling aneh di dunia. Afrika selatan menyimpan sebuah misteri dari kehitamannya. Pollsmoor Maximum Security Prison, siapa yang tak kenal tempat itu. Tempat yang paling ditakuti oleh semua masyarakat disini. Itu seperti kegelapan yang hadir ketika pagi. Tak ada yang berani melangkahkan kakinya kesana. Jejak-jejak hanya tinggal sebuah kenangan ketika memasukinya. Hal itulah yang santer membuatku harus memacu adrenalin. Melewati samudera mengikis bentangan pulau.
Keheranan itu bukan apa-apa. Sebuah kebingungan khususnya bagi media seperti kami, yang hanya tahu Afrika tanpa menjamahnya. Pollsmoor Maximum Security Prison adalah sebuah penjara yang sangat ketat. Berisi narapidana paling brengsek di negeri ini. Tak perlu dikaji lagi seberapa bajingannya penghuni-penghuni disini. Lalu apa yang harus kuliput dari sini?. Mungkin pertanyaan itu klise jika kita mengartikan penjara adalah tempat-tempat seorang bejat. Ini bukan liputan biasa. Aku harus meliput dan memasuki penjara ini. Cerita yang kudapat dari beberapa media dan teman jurnalis di Washington, bahwa penjara ini menyimpan rahasia penting. Bagaimana tidak, kabar berhembus dan menulikan telingaku itu ialah penghuni penjara ini dikabarkan memakan jantung temannya. Betapa henyaknya nadiku.
Jantungku berdegup memasuki zona paling maut. Seribu peluru seperti memburu menembus dada. Huruf-huruf dalam tulisku buntu seketika. Inilah yang mengantarkan secarik kertasku kesini, Afrika Selatan. Pastinya bau-bau kehitaman akan melekat di tubuhku. Pigmen tak lagi menjadi batasan ketika Apartheid telah dilaksanakan. Aku semakin terpacu dan kaku.
Mereka tak segan memakan setiap jantung penghuni lain yang telah dihabisi nyawanya. Kadang mereka mati bukan tanpa sebab, perkelahian antar geng yang berbuah kesedihan. Tak ada jejak hanya desas-desus dari jeruji. Semua terkunci dari dalam ruang kedap udara sipir-sipir. Ransum setiap hari menjadi pengobat luka jika dunia kecil mereka telah dijajah oleh sentilan kekuasaan. Jantung-jantung itu pun dijadikan panganan bagi mereka yang menang. Itulah desa yang tersiar hingga keluar. Belum ada yang mampu meluruskan kabar itu. Lalu terlalu hebatkan aku jika sampai kesini untuk itu?. Sebait senyum kutamparkan pada awan. Jurnalisme adalah surgaku. Disini aku mendapatkan kelayakan sebagai manusia. Menentu kadar dan intensitas dari ciptaan tuhan. Menulisnya lalu menyiarkan. Namun aku tak ingin lama-lama menyombong dan menarik urat senyum dengan kesibukanku yang membanggakan itu.
Sesekali kubuka jendela melihat batasan-batasan yang akan membawaku kesana. Terlihat di perjalanan perempuan-perempuan dengan tulang dibalut kulit. Persis seperti dedaunan tanpa warna. Hanya mampu menghirup tanpa perlu mengenal violet. Nyaris aku haru dalam kegundahan pandangan tadi. Sekerlip saja lepas, aku pasti terhanyut dalam ke dalam lelah Afrika. Kesabaran yang ditempah oleh aungan angin. Mencibir kehadiranku dari metropolis yang tersohor. Tak ada artinya bungkusan tubuhku jika terus menggurat sombong di tanah ini. Mereka tak ingin lebih atau pinta barang sedikit untuk mengenyam nikmatnya dunia.
Bunyi-bunyi Vuvuzela mendesis di bibir jendela taksi. Mereka hadir dalam sejumput upacara. Riuh dan damai serta iringan pilu. Seorang perempuan terlihat dikuburkan dalam pasir-pasir tandus tanpa humus. Mereka berkeliling rapat, menutupi kulit-kulit. Bocah kurus termangu di bawah gubuk-gubuk. Ada yang berlari sekitar lima atau enam orang. Disudut jalan anjing-anjing terlunta namun agak sedikit berotot tapi juga dalam keadaan mati. Lalu pria-pria tersebut bersorak-sorai namun masih terdengar pilu. Mereka menghentak kaki ke bumi, menangkap isi langit. Tangannya penuh dengan harap pada dewa-dewa. Sekiranya mereka sedih inilah sebuah bentuk kasih sayangnya pada orang terkasih. Salah seorang pria meloncat dan berbicara di tengah-tengahnya. Mereka terus menatap ke bawah. Menunduk tanpa ada sedikit penyesalan. Hanya doa-doa yang dibentuk pada dewa. Inilah mungkin yang kudapat dari penggalan tatap di kaca ini. Dalam perjalanan menuju sebuah tempat menulisku. Belum lagi kurehat di sebuah tempat. Namun aku mengigau akan flat yang nyaman. Dimana aku bisa menemukan sebuah keharmonisan nada dan suara air. Tapi mustahil, aku harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Sedikit saja karena ini adalah kesakitan. Mereka sudah dari dahulu menginjak tanah ini. Sakit bukan pula sebuah cerita.
‘’Siapa yang tewas tadi pak?’’
‘’Mereka adalah satu anggota keluarga dari suku Khoi, Bushmen, Xhosa atau mungkin Zulu.’’
‘’Lalu mengapa mereka sangat bersedih ditinggalkan oleh perempuan itu?’’
‘’Itu adalah sebuah penghormatan terakhir bagi mereka yang mati setelah diperkosa.’’
Aku diam. Bagi jurnalis perempuan sepertiku, ini seperti menelanjangi kaum kami. Penindasan yang semena tanpa belas kasihan cerita dari Adam. Aku tegang, kutatap wajah supir itu. Ia pun ragu melihat tatapanku. Aku menatapnya bukan takut, namun sedikit kebencian yang langsung menyeruak setelah mendengar ucapannya. Ia pria, maka mungkin dahulu ketika bulu dan usianya belum menua seperti sekarang ini pasti juga berbuat hina seperti tadi. Membuat sebuah peradaban baru, dimana perempuan hanya menjadi bantalan nafsu. Menggerogoti ratusan harapan dari perempuan-perempuan tak berdosa.
Dari mata perempuan-perempuan yang kupandangi itu mereka renyuh seperti ingin cepat ke surga. Bukan ingin mandi di sungai Orange yang keruh tapi dibasahi terjun surgawi. Berapa sudah yang meneteskan dari matanya. Meski tak terlihat jejaraknya antara darah dan air mata, tapi sudah jelas. Kehidupan ini harus diukur dan dipublikasikan ke dunia. Afrika dengan jantungnya lalu pemerkosaan yang meremehkan kaum perempuan. Belum lama pandanganku habis. Aku telah sampai di Pollsmoor Maximum Security Prison. Aku kecut dengan laki-laki bertubuh tambun di depan yang menghadang.
Kartu pers ini bukan jaminan jika memang ia ingin dan bernafsu denganku. Entah jika aku lari dari sini sekarang dan membuat berita asal-asalan. Semua berjalan dengan hitungan detik. Ia menyalamiku tepat di depan gerbang penjara. Tak ada sesosok perempuan pagi itu. Meski pagi, kemana perempuan-perempuan disini?. Matanya hanyut menuju kornea beningku.
‘’Selamat datang di Afrika.’’
Kuambil secarik kertas dan beberapa pena. Sembari itu melirik ke sepanjang lorong gelap yang diterangi neon-neon kecil. Tinta menari-nari dengan kecupan hangat.
‘’Ke mana perempuan, jantung dan vuvuzuela?’’***
Rian Harahap
Penulis adalah Guru Sastra Indonesia SMP/SMA Darmayudha. Tulisannya dimuat di media lokal maupun nasional.
Sumber : riaupos.co
Perawan atau pun tidak, bagi mereka itu tidak penting. Seorang perempuan hidup bukan untuk menjaga mahkota keperawanannya, tapi bagaimana untuk masih dapat bernafas sedikit saja untuk menikmati mentari esok hari. Setidaknya itu yang harus dikerjakan oleh setiap perempuan yang ada di belahan bumi ini. Jika perempuan masih sama hakikatnya untuk menjaga keperawanannya, disini itu bukan sebuah prioritas. Belahan bumi ini ialah benua hitam. Tak ada perempuan yang berani beranjak dari benua ini. Mereka paham betul inilah Afrika. Dengan segala keunikan dan ketersediaannya.
Empat puluh lima menit yang lalu aku mendarat di bandara Cape Town. Aku tak menyangka bisa mendarat di di negara ini. Sebuah pekerjaan jurnalislah yang mengantarkanku ke hadapan mereka. Mengeja kata untuk tetap hidup dalam garis perjuangan. Tak ingin hanyut terbawa aliran sungai kemunafikan yang makin intens mendekapku. Aku harus merajut tetesan tangis dan darah yang menjual tertutup dunia. Tepatnya kedatanganku pagi ini tak lebih dan bukan meliput kejadian yang hampir hilang dan lenyap dari dunia. Orang-orang mungkin mengenal Afrika dengan kemiskinannya namun ada yang lebih mengenaskan dari itu.
Di tanah hitam dan penuh dengan keganasannya. Ya, disini di tanah yang kupijak ini akan diguratkan berita-berita yang simpang siur ditelan angin. Mata seorang tua menyambutku di peron bandara. Dengan kabut yang menyongsong di pelipis, ia tak segan mengangkat koperku ke dalam taksi biru itu. Gemulai garis tua disiksa dengan tugas yang dipaksa. Taksi mereka menyebutnya, meski kulihat tak lebih dari sebuah rongsokan jika di negaraku. Bukan itu sebenarnya yang harus kupikirkan, membandingkan sebuah kemiskinan. Afrika tetaplah Afrika. Tujuanku kesini hanya satu. Aku harus meliput kejadian paling aneh di dunia. Afrika selatan menyimpan sebuah misteri dari kehitamannya. Pollsmoor Maximum Security Prison, siapa yang tak kenal tempat itu. Tempat yang paling ditakuti oleh semua masyarakat disini. Itu seperti kegelapan yang hadir ketika pagi. Tak ada yang berani melangkahkan kakinya kesana. Jejak-jejak hanya tinggal sebuah kenangan ketika memasukinya. Hal itulah yang santer membuatku harus memacu adrenalin. Melewati samudera mengikis bentangan pulau.
Keheranan itu bukan apa-apa. Sebuah kebingungan khususnya bagi media seperti kami, yang hanya tahu Afrika tanpa menjamahnya. Pollsmoor Maximum Security Prison adalah sebuah penjara yang sangat ketat. Berisi narapidana paling brengsek di negeri ini. Tak perlu dikaji lagi seberapa bajingannya penghuni-penghuni disini. Lalu apa yang harus kuliput dari sini?. Mungkin pertanyaan itu klise jika kita mengartikan penjara adalah tempat-tempat seorang bejat. Ini bukan liputan biasa. Aku harus meliput dan memasuki penjara ini. Cerita yang kudapat dari beberapa media dan teman jurnalis di Washington, bahwa penjara ini menyimpan rahasia penting. Bagaimana tidak, kabar berhembus dan menulikan telingaku itu ialah penghuni penjara ini dikabarkan memakan jantung temannya. Betapa henyaknya nadiku.
Jantungku berdegup memasuki zona paling maut. Seribu peluru seperti memburu menembus dada. Huruf-huruf dalam tulisku buntu seketika. Inilah yang mengantarkan secarik kertasku kesini, Afrika Selatan. Pastinya bau-bau kehitaman akan melekat di tubuhku. Pigmen tak lagi menjadi batasan ketika Apartheid telah dilaksanakan. Aku semakin terpacu dan kaku.
Mereka tak segan memakan setiap jantung penghuni lain yang telah dihabisi nyawanya. Kadang mereka mati bukan tanpa sebab, perkelahian antar geng yang berbuah kesedihan. Tak ada jejak hanya desas-desus dari jeruji. Semua terkunci dari dalam ruang kedap udara sipir-sipir. Ransum setiap hari menjadi pengobat luka jika dunia kecil mereka telah dijajah oleh sentilan kekuasaan. Jantung-jantung itu pun dijadikan panganan bagi mereka yang menang. Itulah desa yang tersiar hingga keluar. Belum ada yang mampu meluruskan kabar itu. Lalu terlalu hebatkan aku jika sampai kesini untuk itu?. Sebait senyum kutamparkan pada awan. Jurnalisme adalah surgaku. Disini aku mendapatkan kelayakan sebagai manusia. Menentu kadar dan intensitas dari ciptaan tuhan. Menulisnya lalu menyiarkan. Namun aku tak ingin lama-lama menyombong dan menarik urat senyum dengan kesibukanku yang membanggakan itu.
Sesekali kubuka jendela melihat batasan-batasan yang akan membawaku kesana. Terlihat di perjalanan perempuan-perempuan dengan tulang dibalut kulit. Persis seperti dedaunan tanpa warna. Hanya mampu menghirup tanpa perlu mengenal violet. Nyaris aku haru dalam kegundahan pandangan tadi. Sekerlip saja lepas, aku pasti terhanyut dalam ke dalam lelah Afrika. Kesabaran yang ditempah oleh aungan angin. Mencibir kehadiranku dari metropolis yang tersohor. Tak ada artinya bungkusan tubuhku jika terus menggurat sombong di tanah ini. Mereka tak ingin lebih atau pinta barang sedikit untuk mengenyam nikmatnya dunia.
Bunyi-bunyi Vuvuzela mendesis di bibir jendela taksi. Mereka hadir dalam sejumput upacara. Riuh dan damai serta iringan pilu. Seorang perempuan terlihat dikuburkan dalam pasir-pasir tandus tanpa humus. Mereka berkeliling rapat, menutupi kulit-kulit. Bocah kurus termangu di bawah gubuk-gubuk. Ada yang berlari sekitar lima atau enam orang. Disudut jalan anjing-anjing terlunta namun agak sedikit berotot tapi juga dalam keadaan mati. Lalu pria-pria tersebut bersorak-sorai namun masih terdengar pilu. Mereka menghentak kaki ke bumi, menangkap isi langit. Tangannya penuh dengan harap pada dewa-dewa. Sekiranya mereka sedih inilah sebuah bentuk kasih sayangnya pada orang terkasih. Salah seorang pria meloncat dan berbicara di tengah-tengahnya. Mereka terus menatap ke bawah. Menunduk tanpa ada sedikit penyesalan. Hanya doa-doa yang dibentuk pada dewa. Inilah mungkin yang kudapat dari penggalan tatap di kaca ini. Dalam perjalanan menuju sebuah tempat menulisku. Belum lagi kurehat di sebuah tempat. Namun aku mengigau akan flat yang nyaman. Dimana aku bisa menemukan sebuah keharmonisan nada dan suara air. Tapi mustahil, aku harus membuang jauh-jauh pikiran itu. Sedikit saja karena ini adalah kesakitan. Mereka sudah dari dahulu menginjak tanah ini. Sakit bukan pula sebuah cerita.
‘’Siapa yang tewas tadi pak?’’
‘’Mereka adalah satu anggota keluarga dari suku Khoi, Bushmen, Xhosa atau mungkin Zulu.’’
‘’Lalu mengapa mereka sangat bersedih ditinggalkan oleh perempuan itu?’’
‘’Itu adalah sebuah penghormatan terakhir bagi mereka yang mati setelah diperkosa.’’
Aku diam. Bagi jurnalis perempuan sepertiku, ini seperti menelanjangi kaum kami. Penindasan yang semena tanpa belas kasihan cerita dari Adam. Aku tegang, kutatap wajah supir itu. Ia pun ragu melihat tatapanku. Aku menatapnya bukan takut, namun sedikit kebencian yang langsung menyeruak setelah mendengar ucapannya. Ia pria, maka mungkin dahulu ketika bulu dan usianya belum menua seperti sekarang ini pasti juga berbuat hina seperti tadi. Membuat sebuah peradaban baru, dimana perempuan hanya menjadi bantalan nafsu. Menggerogoti ratusan harapan dari perempuan-perempuan tak berdosa.
Dari mata perempuan-perempuan yang kupandangi itu mereka renyuh seperti ingin cepat ke surga. Bukan ingin mandi di sungai Orange yang keruh tapi dibasahi terjun surgawi. Berapa sudah yang meneteskan dari matanya. Meski tak terlihat jejaraknya antara darah dan air mata, tapi sudah jelas. Kehidupan ini harus diukur dan dipublikasikan ke dunia. Afrika dengan jantungnya lalu pemerkosaan yang meremehkan kaum perempuan. Belum lama pandanganku habis. Aku telah sampai di Pollsmoor Maximum Security Prison. Aku kecut dengan laki-laki bertubuh tambun di depan yang menghadang.
Kartu pers ini bukan jaminan jika memang ia ingin dan bernafsu denganku. Entah jika aku lari dari sini sekarang dan membuat berita asal-asalan. Semua berjalan dengan hitungan detik. Ia menyalamiku tepat di depan gerbang penjara. Tak ada sesosok perempuan pagi itu. Meski pagi, kemana perempuan-perempuan disini?. Matanya hanyut menuju kornea beningku.
‘’Selamat datang di Afrika.’’
Kuambil secarik kertas dan beberapa pena. Sembari itu melirik ke sepanjang lorong gelap yang diterangi neon-neon kecil. Tinta menari-nari dengan kecupan hangat.
‘’Ke mana perempuan, jantung dan vuvuzuela?’’***
Rian Harahap
Penulis adalah Guru Sastra Indonesia SMP/SMA Darmayudha. Tulisannya dimuat di media lokal maupun nasional.
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.