Oleh : Ekmal Rusdy
[ArtikelKeren] OPINI - Tak dapat dibantah, bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik, namun ukuran-ukuran fisik yang terlihat sebagai simbol, akan sirna jika tidak berakar pada ketakwaan.
Semua jerih payah juga akan buyar begitu saja jika tidak melahirkan ketakwaan kepada Allah.
Lihat saja, rangkaian ibadah haji yang dimulai dari ihram, kemudian tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melempar jumrah sampai menyembelih hewan kurban, semuanya adalah ekspresi ketakwaan hamba-Nya.
Rangkaian ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah ritual Islam.
Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian salat, lalu zakat dan shaum (puasa) adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.
Kenyataan yang masih sedikit disadari banyak umat Islam adalah bahwa setiap ibadah dalam Islam ada maqashid-nya, ada tujuan yang mesti direalisasi, ada hikmah besar yang seharusnya terwujud melalui ibadah-ibadah ritual.
Seringkali umat Islam melakukan ibadah tanpa berusaha menghidupkan ruh yang terdapat dalam ibadah tersebut. Apakah ini pertanda mati-nya keislaman pada diri umat Islam.
Inilah pertanyaan besar, sekalian tantangan yang harus kita jawab sebagai bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia.
Dan, perlu dicatat, bahwa untuk menjadi pejabat publik, seolah gelar haji itu adalah adalah jaminan untuk diandalkan sebagai pimpinan yang pantas diteladani.
Mana ada gubernur/bupati/wali kota di Riau ini yang tak haji. Akhirnya agama hanya berupa rutinitas dan gerakan-gerakan mati tanpa jiwa, artinya amat jauh dari amar makruf nahi mungkar.
Sebuah ironisme yang sering terulang dalam ajaran agama adalah hilangnya makna ajaran agama itu sendiri dari kesadaran umat.
Ibadah salat misalnya, yang disyariatkan untuk menjadi momen ruhani dan pensucian hati, justru dirumuskan dalam kitab fikih hanya sebagai gerakan dan ucapan tertentu mulai dari takbir sampai kepada salam.
Bahkan niat yang hakikatnya murni “aktivfitas batin” malah diartikan sebagai ucapan dan lafal-lafal tertentu. Hal seperti itu terjadi pada hampir semua ibadah, umat Islam banyak yang menjalankan ibadah tanpa mengerti apa makna di balik semua gerakan dan ucapan yang mereka lakukan.
Akhirnya Islam menjelma menjadi jasad tanpa ruh, agama menjadi bangunan besar sepi tanpa kehidupan dinamis di dalamnya.
Apa yang menjadi sebab, tak lain karena keterputusan umat Islam dari Alquran. Kita akan menemukan titik terang jika kita membaca ayat-ayat tentang ibadah dalam Alquran.
Makanya untuk dapat merasakan makna daripada ibadah haji tersebut, kita kembali kepada Alquran,yang dapat kita simak dalam pembahasan tentang ibadah haji dalam Alquran terdapat dalam Surat al-Baqarah (ayat 158, 189, 196-203), Ali Imran (ayat 97), al-Ma’idah (1-2, 97) dan Al-Hajj.
Kita akan dapatkan bahwa Alquran lebih menekankan pada makna dan maqashid (maksud) ibadah dari pada hukum-hukum fikih yang biasa kita temukan dalam kitab-kitab fikih.
Bukan hal yang aneh apabila pembahasan tentang haji dalam Alquran jauh lebih “hidup” dari pada gaya pembahasan para ahli fikih.
Beberapa kegiatan haji dalam ukuran fisik jangan hanya sebagai simbol tanpa ruh di dalamnya. Jika kita mau menggali rahasia di balik ibadah haji, maka kita akan memperoleh banyak pelajaran penting, baik yang berkaitan dengan keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia.
Di antara pelajaran tersebut adalah: perwujudan tauhid ketika para jamaah haji ber-talbiyah, pendidikan hati untuk senantiasa khusyuk, tawadhu’ dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan tawaf, wukuf di Arafah, dan amalan haji lainnya.
Demikian halnya, pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, ketika menyembelih hewan kurban di hari-hari haji.
Ketulusan dalam menerima bimbingan Rasulullah SAW tanpa diiring rasa berat hati, ketika mencium hajar aswad dan mengusap rukun yamani.
Dan tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pula.
Gelar Haji dan Pilgubri
Kata haji sering digunakan untuk suatu maksud yang mulia dan ditujukan kepada zat/ sesuatu yang mulia pula.
Karena itu, wajar bila haji mabrur menjadi dambaan dan cita-cita setiap kaum muslim yang pergi ke Tanah Suci Makkah, sementara penggunaan gelar haji sebagai legitimasi formal dari tingkat spiritual seseorang di depan nama, tidak pernah dikenal saat zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi'in.
Namun, hal itu tidak dapat dicapai jika haji yang dilakukan sama tidak membekas dalam hati yang teraktualisasikan dalam perilaku sehari-hari pascahaji.
Jelas kiranya makna substantif ibadah haji tidak terletak pada pencantuman gelar haji di depan nama kita, tetapi lebih kepada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatan, termasuk di dalamnya sebagai panutan yang teruji bagi kita, termasuk bagi pasangan calon gubernur dan wakil guberniur Riau yang bakal bertarung pada putaran kedua.
Pesan Buat Petugas Haji
Berangkat dari pengalaman memberikan bimbingan kesehatan haji buat JCH, mohonlah berikan pengetahuan tentang kesehatan haji yang betul-betul jelas dan praktis, mengingat strata pendidikan JCH tak sama, sehingga banyak yang kecewa dan malah ada yang mengulangi lagi hajinya, terutama kaum ibu yang masih usia reproduktif, akibat tak dapat melaksanakan rukun haji secara sempurna.
Perlu ditunjuk pembimbing yang betul-betul paham dan pernah sebagai petugas haji. Dan perlu diingat, bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik.
Dengan kondisi yang prima, JCH dapat beribadah secara sempurna, dan kembali sebagai haji yang mabrur.***
Ekmal Rusdy, Mantan petugas haji tahun 1990
[ArtikelKeren] OPINI - Tak dapat dibantah, bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik, namun ukuran-ukuran fisik yang terlihat sebagai simbol, akan sirna jika tidak berakar pada ketakwaan.
Semua jerih payah juga akan buyar begitu saja jika tidak melahirkan ketakwaan kepada Allah.
Lihat saja, rangkaian ibadah haji yang dimulai dari ihram, kemudian tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, melempar jumrah sampai menyembelih hewan kurban, semuanya adalah ekspresi ketakwaan hamba-Nya.
Rangkaian ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang paling lengkap dari semua ibadah ritual Islam.
Rukun-rukun Islam mulai dari mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian salat, lalu zakat dan shaum (puasa) adalah tangga-tangga yang mengantarkan pada kesempurnaan ekspresi ketaatan yang dikandung oleh ibadah haji.
Kenyataan yang masih sedikit disadari banyak umat Islam adalah bahwa setiap ibadah dalam Islam ada maqashid-nya, ada tujuan yang mesti direalisasi, ada hikmah besar yang seharusnya terwujud melalui ibadah-ibadah ritual.
Seringkali umat Islam melakukan ibadah tanpa berusaha menghidupkan ruh yang terdapat dalam ibadah tersebut. Apakah ini pertanda mati-nya keislaman pada diri umat Islam.
Inilah pertanyaan besar, sekalian tantangan yang harus kita jawab sebagai bangsa dengan umat Islam terbesar di dunia.
Dan, perlu dicatat, bahwa untuk menjadi pejabat publik, seolah gelar haji itu adalah adalah jaminan untuk diandalkan sebagai pimpinan yang pantas diteladani.
Mana ada gubernur/bupati/wali kota di Riau ini yang tak haji. Akhirnya agama hanya berupa rutinitas dan gerakan-gerakan mati tanpa jiwa, artinya amat jauh dari amar makruf nahi mungkar.
Sebuah ironisme yang sering terulang dalam ajaran agama adalah hilangnya makna ajaran agama itu sendiri dari kesadaran umat.
Ibadah salat misalnya, yang disyariatkan untuk menjadi momen ruhani dan pensucian hati, justru dirumuskan dalam kitab fikih hanya sebagai gerakan dan ucapan tertentu mulai dari takbir sampai kepada salam.
Bahkan niat yang hakikatnya murni “aktivfitas batin” malah diartikan sebagai ucapan dan lafal-lafal tertentu. Hal seperti itu terjadi pada hampir semua ibadah, umat Islam banyak yang menjalankan ibadah tanpa mengerti apa makna di balik semua gerakan dan ucapan yang mereka lakukan.
Akhirnya Islam menjelma menjadi jasad tanpa ruh, agama menjadi bangunan besar sepi tanpa kehidupan dinamis di dalamnya.
Apa yang menjadi sebab, tak lain karena keterputusan umat Islam dari Alquran. Kita akan menemukan titik terang jika kita membaca ayat-ayat tentang ibadah dalam Alquran.
Makanya untuk dapat merasakan makna daripada ibadah haji tersebut, kita kembali kepada Alquran,yang dapat kita simak dalam pembahasan tentang ibadah haji dalam Alquran terdapat dalam Surat al-Baqarah (ayat 158, 189, 196-203), Ali Imran (ayat 97), al-Ma’idah (1-2, 97) dan Al-Hajj.
Kita akan dapatkan bahwa Alquran lebih menekankan pada makna dan maqashid (maksud) ibadah dari pada hukum-hukum fikih yang biasa kita temukan dalam kitab-kitab fikih.
Bukan hal yang aneh apabila pembahasan tentang haji dalam Alquran jauh lebih “hidup” dari pada gaya pembahasan para ahli fikih.
Beberapa kegiatan haji dalam ukuran fisik jangan hanya sebagai simbol tanpa ruh di dalamnya. Jika kita mau menggali rahasia di balik ibadah haji, maka kita akan memperoleh banyak pelajaran penting, baik yang berkaitan dengan keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia.
Di antara pelajaran tersebut adalah: perwujudan tauhid ketika para jamaah haji ber-talbiyah, pendidikan hati untuk senantiasa khusyuk, tawadhu’ dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan tawaf, wukuf di Arafah, dan amalan haji lainnya.
Demikian halnya, pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, ketika menyembelih hewan kurban di hari-hari haji.
Ketulusan dalam menerima bimbingan Rasulullah SAW tanpa diiring rasa berat hati, ketika mencium hajar aswad dan mengusap rukun yamani.
Dan tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pula.
Gelar Haji dan Pilgubri
Kata haji sering digunakan untuk suatu maksud yang mulia dan ditujukan kepada zat/ sesuatu yang mulia pula.
Karena itu, wajar bila haji mabrur menjadi dambaan dan cita-cita setiap kaum muslim yang pergi ke Tanah Suci Makkah, sementara penggunaan gelar haji sebagai legitimasi formal dari tingkat spiritual seseorang di depan nama, tidak pernah dikenal saat zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi'in.
Namun, hal itu tidak dapat dicapai jika haji yang dilakukan sama tidak membekas dalam hati yang teraktualisasikan dalam perilaku sehari-hari pascahaji.
Jelas kiranya makna substantif ibadah haji tidak terletak pada pencantuman gelar haji di depan nama kita, tetapi lebih kepada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatan, termasuk di dalamnya sebagai panutan yang teruji bagi kita, termasuk bagi pasangan calon gubernur dan wakil guberniur Riau yang bakal bertarung pada putaran kedua.
Pesan Buat Petugas Haji
Berangkat dari pengalaman memberikan bimbingan kesehatan haji buat JCH, mohonlah berikan pengetahuan tentang kesehatan haji yang betul-betul jelas dan praktis, mengingat strata pendidikan JCH tak sama, sehingga banyak yang kecewa dan malah ada yang mengulangi lagi hajinya, terutama kaum ibu yang masih usia reproduktif, akibat tak dapat melaksanakan rukun haji secara sempurna.
Perlu ditunjuk pembimbing yang betul-betul paham dan pernah sebagai petugas haji. Dan perlu diingat, bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik.
Dengan kondisi yang prima, JCH dapat beribadah secara sempurna, dan kembali sebagai haji yang mabrur.***
Ekmal Rusdy, Mantan petugas haji tahun 1990
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.