Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Senin, 23 September 2013

Sumur Kembang

Senin, September 23, 2013 By Unknown No comments

[ArtikelKeren] TAJUK RENCANA - Ia kembali mendekatkan wajahnya menghadap bundaran tembok itu, selalu ia lakukan dengan ekspresi yang hampir sama. Beberapa kerutan menjadi berulang, kedua matanya mengarah pada kedalam sumur. Entah apa penyebab tiba-tiba ia menjadi begitu lama mematungkan wajahnya di tempat itu.

Pandangnya tak setitikpun beranjak, begitu fokus terhadap objek yang dilihat. Seperti menunjukkan sesuatu yang ia lukis secara samar, remang-remang, hingga tak satupun orang menaruh curiga terhadap apa yang ia perbuat.

Acapkali lorong itu di sesaki kendaraan atau pejalan kaki lainnya, namun, orang-orang tak pernah menggubris. Mereka menganggap perbuatan itu sebuah kewajaran yang banyak mendera mereka-mereka yang tak memiliki akal sempurna.

Ya, orang-orang menganggap keanehan itu ketidaksempurnaan yang di emban Rukmini, perempuan kampung yang konon memiliki ilmu santet. Isu itu santer menyebar semenjak Rukmini tak mau dipersunting laki-laki manapun.

Yang lebih menyita warga, ia juga tak tak mau bersosial. Hari-harinya banyak digunakan menyusuri lorong-lorong, lalu meracau keliling kampung dengan ungkapan-ungkapan yang tak semua orang mengerti maknanya.

Namun, tidak dengan Karso, lelaki tambun yang hampir setiap hari menenteng bungkusan ke tempat Rukmini, menjinjingnya penuh ikhlas dan kesabaran.

Gegunjingan dan rerasan selalu menghantui. Ada yang mengatakan, Karso telah diguna-guna hingga menaruh perhatian lebih padanya. Banyak pula yang berkata, Karso sengaja mendekati Rukmini untuk memuaskan batin semata. Rupanya ia berhasil mengelabuhi Rukmini dengan sebungkus makanan yang ditukar nafsu bejatnya semenjak istrinya menghembuskan napas terakhir dua warsa silam.

Begitulah isu-isu yang menghantam Karso. Entahlah, kebenaran mana yang harus kusimpan dalam-dalam. Sebab, sepengetahuanku, orang-orang (warga) kampung tempat Karso dan Rukmini tinggal, paling suka membual, menggosip yang menurut seleranya tak wajar.

Karso tak menggubris. Ia memilih menutup mulutnya rapat-rapat, lalu melempar jauh isu-isu yang berseberangan. Perhatiannya tak sedikitpun surut. Ia tetap menyisakan waktu menyambangi tempat itu setiap waktu.

Tuturan Karso pada suatu malam; Rukmini tak seperti yang orang-orang duga. Ia tidak mengalami keterbelakangan apapun. Ia hanya tak mau bergaul dengan orang-orang yang hanya memikirkan harta dunia semata. Pernyataan itu selalu ia lontar di pos ronda, warung-warung kopi, atau di musholla sehabis jumatan. Dan Karso begitu yakin, Rukmini punya kelebihan yang tak semua orang memilikinya; Ia akan (selalu) memberi petunjuk-petunjuk perihal kematian.

‘’Di ujung timur kampung kita, akan terdengar tangisan tujuh hari tujuh malam,’’ seru Rukmini sambil menunjuk tangannya ke arah yang dimaksud. Karso menghela napas. Lalu menelan ludahnya dalam-dalam.

Setelah itu, lekas-lekas Karso menyambangi teman-temannya. Sudah menjadi kebiasaan Karso menyampaikan hal-hal demikian setelah pulang dari kediaman Rukmini. Teman teman Karso tampak menggambarkan ekpresi ketakutan. Mereka melengas-lengoskan pandangnya, seperti timbul keganjilan setelah cerita Karso mereka simak panjang lebar.

Sebab, tak hanya malam itu saja Karso menyampaikan ucapan yang sama. Seperti bulan lalu, setelah Karso bercerita perihal apa yang disampaikan Rukmini padanya, selang beberapa hari corong mesjid benar-benar mengumumkan meninggalnya salah satu warga kampung. Hal itulah yang membuat mereka gelisah mendengar kejadian serupa.

‘’Yang benar So, Rukmini mengatakan demikian?! tanya Mamat dengan nada tak percaya.

‘’Iya Mat, baru kemarin Nyai mengatakan itu padaku,’’ jawab Karso seraya berbisik.

‘’Kamu gak nanyak, siapa yang akan meninggal?’’ sambung Joko, orang paling lugu di antara yang lain.

‘’Ya, enggaklah,’’ jawab Tarman sok tau, orang yang suka menggoda perempuan.

‘’Lebih baik, kita tunggu saja dalam minggu-minggu ini, siapa yang akan meninggal,’’ sanggah Rozek menatap serius teman-temannya.

‘’Tapi ingat, jangan sampai obrolan ini menyebar luas, takut dibilang fitnah,’’ lanjut Karso menguatkan ucapannya.

***

Hari itu, Karso sengaja menyambangi kediaman Rukmini sehabis hari beranjak tua. Sebab, di waktu itu, kecil kemungkinan orang-orang melihat saat menenteng bungkusan plastik hitam di tangannya.

Bola matanya bergerak-gerak ke segala arah, menyusuri lorong-lorong yang di kanan kirinya terdapat rerimbun dedaun. Dua ekor kelelawar berseliweran di atas kepala Karso, memutar-mutar, seraya mengikuti gelagatnya. Di saat bersamaan orang-orang sibuk dengan dunianya masing-masing; berangkat ke musholla, dan tak sedikit yang menyalakan channel kesukannya.

Udara serasa ringan, terik hanya menyisakan kemerah-merehan di permukaan. Karso tak menggubris kelelawar itu, pandangnya kembali fokus seberang jalan pada sebuah gubuk yang hampir reot, di situlah Rukmini menghabiskan hidupnya dengan alam sekitar, alam yang katanya Titipan Tuhan.

‘’Nyai,, nyai,,,,nyai,,,!!’’ panggil Karso dari balik pintu tertutup. Tak ada suara, atau sekedar jawaban seperti kemarin hari. Tampak lengang. Hanya decak cicak saling bersahutan. Ia melanjutkan langkahnya dengan panggilan serupa, namun tetap saja, usahanya hanya menyisakan kesia-siaan.

Karso mematung di belakang gubuk, pikirannya entah, tampak gusar. Hening. Matanya tertuju pada semak-semak yang di hias kemerlap kunang-kunang. Tak mau beranjak meski pekat merambat lekat-lekat.

Ia tak punya keberanian menerobos gubuk, membunyikan pintunyapun urung dilakukan. Seberkas kecamuk seketika menghantui Karso saat tak ditemukan gelagat Rukmini hingga larut. Entah, tak ada yang bisa diperbuat, ia masih saja mematung disebelah semak-semak yang makin berkemerlap.

Karso meremas-remas tangannya setelah bungkusan plastik itu ia letakkan di batu berlumut. Matanya tampak kosong. Senyap. Dua ekor kelelawar kembali berputar-putar. Melelahkannya pada sebuah keputusasaan.

***

Tetes bening pepohon jambu menancap-nancap, luruh begitu saja mengarah tepat muka Karso. Suara-suara kepodang berloncatan di reranting. Terik kembali bangkit. Karso mengkerutkan pelipisnya, membinarkan yang merekat, lalu melengoskan kepalanya ke sekitar.

Pelan-pelan ia lakukan sambil menggerak-gerakkan tubuhnya, dan, sempurnalah kesadaran Karso bahwa pekat dan kemerlap melelapkannya pada mimpi yang terpenggal.

Tangannya menjangkau bungkusan itu, mendekatkan ciumannya pada kedalaman plastik, lalu melempar warna hitam itu jauh-jauh. Ia kembali mematung, menjatuhkan ingatannya pada ucapan Rukmini tempo hari. Mengurai keganjilan-keganjilan yang menurutnya sebuah kebenaran.

‘’Dunia titipan Tuhan, maka bertobatlah engkau!’’

Sambil menunjuk-nunjuk tangannya ke langit, ia mengeluarkan ucapan-ucapan itu terus menerus. Menjinjing sarungnya yang sobek-sobek. ‘’Dunia titipan Tuhan, maka bertobatlah engkau!’’

Begitulah suara-suara yang nyerocos dari mulut perempuan paruh baya itu. Terus-menurus ia lakukan setiap sebelum dan sesudah kabar kematian menggema di corong-corong mesjid.

***

Seminggu setelah pertemuan Karso dengan teman-temannya, kampung itu menjadi geger. Seketika terusik dengan raibnya Karso yang misterius, kaitan Karso dengan Rukmini menjadi menu utama gegunjingan warga; di pos ronda, warung-warungs kopi, juga di musholla sehabis jum’atan.

Seberkas dugaan dan rasan-rasan dengan gesit mengarah pada kecurigaan yang tak didasari bukti nyata. Melalui perbincangan yang alot, warga kampung sepakat menyambangi kediaman Rukmini. Mereka berbondong-bondong ke tempat itu. Sebab, anggapan mereka, Rukminilah aktor utama dibalik hilangnya Karso.

‘’Kita bakar saja tempat itu!!’’ seru salah seorang dari mereka.

‘’Jangan,,,jangan,,, kita tidak punya bukti kuat untuk melakukannya.’’

‘’Ah,,banyak omong,,!! Rukmini pembawa malapetaka kampung kita, dia harus mati!!’’

Tak berselang lama, gubuk itu diselimuti bara beserta isinya. Sejejap tempat yang tersulam dari anyaman bambu itu rata dengan tanah. Suana mencekam. Orang-orang melongo dari jauh, menyaksikan kobaran yang melahap-lahap. Sebagian meluapkam hura-hura, dan tak sedikit menutup mulutnya dengan wajah tertekuk.

Sedang Rukmini menjerit-jerit seperti biasa, tunggang-langgang menyusuri lorong-lorong kampung. Tak peduli kediamannya dilululantahkan orang-orang. Terhuyun-huyun menandakan ia berada dalam tekanan mendalam. Gerimis dari mendung wajahnya meleleh satu-satu, menuruni lesung pipinya yang tampak keriput.

Langkahnya makin deras sebelum rebah pada bundaran sumur yang ditumbuhi kembang tujuh warna. Teman-teman Karso yang diam-diam membuntutinya terheran-heran, tak sanggup menerjemahkan apa yang Rukmini lakukan di tempat itu. Dengan kecamuk yang berkelebat, mereka beranikan mendekat, lalu menjatuhkan pandangnya pada kedalaman sumur tak beratap. Terus-menerus mereka lakukan, hingga warga kampung berduyun-duyun datang melihatnya.***

Beluk Raja-Madura, 2013




Homaedi
Lahir di Beluk Raja-Ambunten-Sumenep 1991. Penikmat musik tradisional Madura. Puisi, cerpen dan esainya dimuat di media massa, juga terkumpul dalam antologi bersama: Temu Komunitas Sastra 2 Kota/Lentera Sastra Jawa Timur (2011). Kidung Sunyi (2012). Anting Bulan Merah (2012).

Sumber : riaupos.co

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN