Oleh : Syahril
[ArtikelKeren] OPINI - Sebagian besar masyarakat kita sampai saat ini masih asing dengan istilah pendidikan vokasi.
Hal tersebut wajar karena kata vokasi belum dikenal secara luas di masyarakat, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang saat ini digunakan sebagai referensi perbendaharaan kata dan istilah oleh sebagian besar masyarakat, kata vokasi juga tidak ditemukan.
Kata vokasi dewasa ini sering dikaitkan dengan kata pendidikan, sehingga muncul istilah pendidikan vokasi. Apakah pendidikan vokasi itu?
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
Bentuk penyelenggaraan pendidikan vokasi terdiri dari Program Diploma 1 (D-1), Diploma 2 (D-ll), Diploma 3 (D-lll), dan Diploma 4 (D-lV).
Bahkan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, pendidikan vokasi dapat melaksanakan program ke strata yang lebih tinggi lagi, yakni Magister Terapan (S-2) dan Doktor Terapan (S-3).
Ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi tidak ada lagi perbedaan dengan perguruan tinggi lainnya.
Bedanya, pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta selaras dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja.
Sedangkan, pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi dengan program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
Menarik untuk disimak, apa yang dikatakan oleh Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Djoko Santoso beberapa bulan yang lalu di Jakarta.
“Pendidikan tinggi difokuskan kepada pendidikan akademik. Saya selalu mendapatkan komplain, lulusan kita banyak yang menganggur. Setelah kami pelajari, hal itu disebabkan karena pendidikan tinggi kita lebih menitikberatkan kepada pendidikan akademik”.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa filosofi dari pendidikan akademik adalah untuk pengembangan ilmu, bukan untuk bekerja. Pendidikan yang lulusannya dipersiapkan untuk bekerja terutama pada dunia industri, itu namanya pendidikan vokasi.
Oleh karena itu pendidikan vokasi akan diperkuat, karena akan bisa mengisi lapangan kerja secara langsung.
Pendidikan vokasi harus berkaitan langsung dengan proses industrialisasi, terutama bila dikaitkan dengan fungsinya memenuhi tenaga kerja terampil dan dapat dihandalkan serta punya visi perhatian yang sungguh-sungguh kepada pembangunan teknologi dan rekayasa.
Pendidikan vokasi sebagai suatu jenis pendidikan tinggi yang didirikan dengan maksud mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu.
Untuk mencapai maksud dan tujuan pendidikan tersebut, kegiatan belajar-mengajar pada pendidikan vokasi lebih didominasi oleh kegiatan praktik, baik praktikum yang dilakukan di laboratorium, bengkel, kebun percobaan, maupun studio.
Secara umum perbandingan antara kegiatan praktik dan teori dalam pendidikan vokasi adalah 60 persen berbanding 40 persen, walaupun dalam beberapa kasus angka perbandingan itu dapat menjadi 50 persen berbanding 50 persen.
Mahasiswa dan dosen akan menghabiskan sebagian besar waktu efektifnya untuk belajar dan bekerja di tempat-tempat praktikum atau laboratorium.
Proses pembelajaran seperti ini terdapat pada proses pembelajaran di politeknik. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pendidikan politeknik adalah model pendidikan vokasi di Indonesia.
Kareteristik khusus pendidikan vokasi ( baca: politeknik) dapat dicermati dari aspek kurikulumnya. Kurikulum pendidikan vokasi lazimnya berbasis kompetensi, populer dengan istilah KBK, singkatan dari kurikulum berbasis kompetensi.
KBK selaras dan berkaitan dengan program studi yang lebih memberatkan kepada aspek keterampilan (skill) dan penguasaan teknologi.
KBK menekankan aspek penguasaan secara komprehensif pada sebuah program studi sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Titik berat KBK adalah memunculkan sosok profesionalisme pada bidangnya masing-masing. Pada kaitan inilah KBK memberi penekanan yang dominan pada berbagai kompetensi yang harus dikuasai seseorang dalam setiap program studi pada setiap jenjang pendidikan.
Dengan demikian akan terjadi pergeseran penguasaan kognisi (pengetahuan) atau dominasi kognitif menuju kepada penguasaan kompetensi tertentu sesuai dengan program studi masing-masing.
Inti KBK ini sebenarnya adalah output pendidikan yang benar-benar profesional di bidangnya karena KBK menggunakan pendekatan penguasaan kompetensi tertentu, materinya sedikit tetapi lebih mendalam.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pangsa pasar dan keterlibatan dunia usaha dan dunia industri yang memberikan masukan (feed back) terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan seorang lulusan pendidikan vokasi yang dibutuhkannya.
Dalam prakteknya, banyak industri melakukan rekrutmen di kampus pendidikan vokasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan mereka.
Salah satu alasannya adalah rekrutmen yang dilaksanakan di kampus pendidikan vokasi tingkat keberhasilanya cukup tinggi karena tepat sasaran dan cost effective.
Oleh karena itu, tercipta kondisi yang harmonis antara penyelenggara pendidikan vokasi dan dunia industri serta masyarakat luas suatu kolaborasi yang saling menguntungkan untuk menetapkan suatu sertifikasi profesi lulusan pendidikan vokasi yang diakui bersama.
Dengan demikian, tuntutan masyarakat agar perguruan tinggi , khususnya pendidikan vokasi dapat memenuhi harapan masyarakat dan dunia industri akan kebutuhan tenaga kerja yang “siap pakai” dapat terwujud, dan sehingga perguruan tinggi tidak lagi dipandang sebagai suatu menara gading.
Standar nasional pendidikan vokasi dikembangkan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau internasional yang dalam proses pengembangnnya mengikutsertakan masyarakat industri sebagai pengguna lulusan vokasi.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara kempetensi lulusan pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia industri.
Sehingga komplain mengenai rendahnya mutu lulusan pendidikan dan ketidaksesuaian (mismatch) kebutuhan stakeholder atau pengguna lulusan dengan lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan sebagai isu utama yang telah lama menjadi polemik antara kedua pihak tersebut dapat dieliminasi.
Walaupun kebutuhan akan lulusan pendidikan vokasi laris manis bagi dunia industri. Tetapi keingingan atau animo lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) plus Madrasah Aliyah (MA) kurang tertarik untuk melanjutkan pendidikannya ke pendidikan vokasi tersebut.
Persepsi mereka, pendidikan vokasi sebagai pendidikan tinggi kelas dua. Bilamana mereka tidak diterima pada perguruan tinggi akademik, baru mereka melirik kepada pendidikan vokasi.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang tidak ada lagi pengkotakkan antara pendidikan vokasi khususnya Politeknik dengan pendidikan tinggi akademik yang berbentuk universitas, institut, atau pun sekolah tinggi.
Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa perguruan tingi vokasi dapat melaksanakan program master terapan dan doktor terapan.
Politeknik akan dapat juga mempromosikan dosennya menjadi guru besar atau professor. Kita berharap, diberlakukannya undang-undang ini akan dapat merubah mindset lulusan SLTA terhadap pendidikan vokasi.
Arah menuju ke sana sudah nampak, penerimaan mahasiswa baru dari beberapa perguruan tinggi politeknik di republik ini meningkat tajam untuk beberapa tahun terakhir ini.
Oleh karena itu, tidak berlebihan dikatakan bahwa pendidikan vokasi khususnya pendidikan politeknik sekarang berada di atas angin.***
Syahril, Praktisi Pendidikan Vokasi bertempat tinggal di Pekanbaru.
[ArtikelKeren] OPINI - Sebagian besar masyarakat kita sampai saat ini masih asing dengan istilah pendidikan vokasi.
Hal tersebut wajar karena kata vokasi belum dikenal secara luas di masyarakat, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang saat ini digunakan sebagai referensi perbendaharaan kata dan istilah oleh sebagian besar masyarakat, kata vokasi juga tidak ditemukan.
Kata vokasi dewasa ini sering dikaitkan dengan kata pendidikan, sehingga muncul istilah pendidikan vokasi. Apakah pendidikan vokasi itu?
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana.
Bentuk penyelenggaraan pendidikan vokasi terdiri dari Program Diploma 1 (D-1), Diploma 2 (D-ll), Diploma 3 (D-lll), dan Diploma 4 (D-lV).
Bahkan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, pendidikan vokasi dapat melaksanakan program ke strata yang lebih tinggi lagi, yakni Magister Terapan (S-2) dan Doktor Terapan (S-3).
Ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi tidak ada lagi perbedaan dengan perguruan tinggi lainnya.
Bedanya, pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta selaras dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja.
Sedangkan, pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi dengan program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
Menarik untuk disimak, apa yang dikatakan oleh Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Djoko Santoso beberapa bulan yang lalu di Jakarta.
“Pendidikan tinggi difokuskan kepada pendidikan akademik. Saya selalu mendapatkan komplain, lulusan kita banyak yang menganggur. Setelah kami pelajari, hal itu disebabkan karena pendidikan tinggi kita lebih menitikberatkan kepada pendidikan akademik”.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa filosofi dari pendidikan akademik adalah untuk pengembangan ilmu, bukan untuk bekerja. Pendidikan yang lulusannya dipersiapkan untuk bekerja terutama pada dunia industri, itu namanya pendidikan vokasi.
Oleh karena itu pendidikan vokasi akan diperkuat, karena akan bisa mengisi lapangan kerja secara langsung.
Pendidikan vokasi harus berkaitan langsung dengan proses industrialisasi, terutama bila dikaitkan dengan fungsinya memenuhi tenaga kerja terampil dan dapat dihandalkan serta punya visi perhatian yang sungguh-sungguh kepada pembangunan teknologi dan rekayasa.
Pendidikan vokasi sebagai suatu jenis pendidikan tinggi yang didirikan dengan maksud mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu.
Untuk mencapai maksud dan tujuan pendidikan tersebut, kegiatan belajar-mengajar pada pendidikan vokasi lebih didominasi oleh kegiatan praktik, baik praktikum yang dilakukan di laboratorium, bengkel, kebun percobaan, maupun studio.
Secara umum perbandingan antara kegiatan praktik dan teori dalam pendidikan vokasi adalah 60 persen berbanding 40 persen, walaupun dalam beberapa kasus angka perbandingan itu dapat menjadi 50 persen berbanding 50 persen.
Mahasiswa dan dosen akan menghabiskan sebagian besar waktu efektifnya untuk belajar dan bekerja di tempat-tempat praktikum atau laboratorium.
Proses pembelajaran seperti ini terdapat pada proses pembelajaran di politeknik. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pendidikan politeknik adalah model pendidikan vokasi di Indonesia.
Kareteristik khusus pendidikan vokasi ( baca: politeknik) dapat dicermati dari aspek kurikulumnya. Kurikulum pendidikan vokasi lazimnya berbasis kompetensi, populer dengan istilah KBK, singkatan dari kurikulum berbasis kompetensi.
KBK selaras dan berkaitan dengan program studi yang lebih memberatkan kepada aspek keterampilan (skill) dan penguasaan teknologi.
KBK menekankan aspek penguasaan secara komprehensif pada sebuah program studi sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Titik berat KBK adalah memunculkan sosok profesionalisme pada bidangnya masing-masing. Pada kaitan inilah KBK memberi penekanan yang dominan pada berbagai kompetensi yang harus dikuasai seseorang dalam setiap program studi pada setiap jenjang pendidikan.
Dengan demikian akan terjadi pergeseran penguasaan kognisi (pengetahuan) atau dominasi kognitif menuju kepada penguasaan kompetensi tertentu sesuai dengan program studi masing-masing.
Inti KBK ini sebenarnya adalah output pendidikan yang benar-benar profesional di bidangnya karena KBK menggunakan pendekatan penguasaan kompetensi tertentu, materinya sedikit tetapi lebih mendalam.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah pangsa pasar dan keterlibatan dunia usaha dan dunia industri yang memberikan masukan (feed back) terhadap kompetensi dan standardisasi kemampuan seorang lulusan pendidikan vokasi yang dibutuhkannya.
Dalam prakteknya, banyak industri melakukan rekrutmen di kampus pendidikan vokasi untuk mengisi lowongan pekerjaan di perusahaan mereka.
Salah satu alasannya adalah rekrutmen yang dilaksanakan di kampus pendidikan vokasi tingkat keberhasilanya cukup tinggi karena tepat sasaran dan cost effective.
Oleh karena itu, tercipta kondisi yang harmonis antara penyelenggara pendidikan vokasi dan dunia industri serta masyarakat luas suatu kolaborasi yang saling menguntungkan untuk menetapkan suatu sertifikasi profesi lulusan pendidikan vokasi yang diakui bersama.
Dengan demikian, tuntutan masyarakat agar perguruan tinggi , khususnya pendidikan vokasi dapat memenuhi harapan masyarakat dan dunia industri akan kebutuhan tenaga kerja yang “siap pakai” dapat terwujud, dan sehingga perguruan tinggi tidak lagi dipandang sebagai suatu menara gading.
Standar nasional pendidikan vokasi dikembangkan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau internasional yang dalam proses pengembangnnya mengikutsertakan masyarakat industri sebagai pengguna lulusan vokasi.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara kempetensi lulusan pendidikan vokasi dengan kebutuhan dunia industri.
Sehingga komplain mengenai rendahnya mutu lulusan pendidikan dan ketidaksesuaian (mismatch) kebutuhan stakeholder atau pengguna lulusan dengan lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan sebagai isu utama yang telah lama menjadi polemik antara kedua pihak tersebut dapat dieliminasi.
Walaupun kebutuhan akan lulusan pendidikan vokasi laris manis bagi dunia industri. Tetapi keingingan atau animo lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) plus Madrasah Aliyah (MA) kurang tertarik untuk melanjutkan pendidikannya ke pendidikan vokasi tersebut.
Persepsi mereka, pendidikan vokasi sebagai pendidikan tinggi kelas dua. Bilamana mereka tidak diterima pada perguruan tinggi akademik, baru mereka melirik kepada pendidikan vokasi.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, yang tidak ada lagi pengkotakkan antara pendidikan vokasi khususnya Politeknik dengan pendidikan tinggi akademik yang berbentuk universitas, institut, atau pun sekolah tinggi.
Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa perguruan tingi vokasi dapat melaksanakan program master terapan dan doktor terapan.
Politeknik akan dapat juga mempromosikan dosennya menjadi guru besar atau professor. Kita berharap, diberlakukannya undang-undang ini akan dapat merubah mindset lulusan SLTA terhadap pendidikan vokasi.
Arah menuju ke sana sudah nampak, penerimaan mahasiswa baru dari beberapa perguruan tinggi politeknik di republik ini meningkat tajam untuk beberapa tahun terakhir ini.
Oleh karena itu, tidak berlebihan dikatakan bahwa pendidikan vokasi khususnya pendidikan politeknik sekarang berada di atas angin.***
Syahril, Praktisi Pendidikan Vokasi bertempat tinggal di Pekanbaru.
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.