Oleh : Erdianto Effendi
[ArtikelKeren] OPINI - Membiarkan atau bahkan mengajarkan anak mengemudi baik kendaraan roda dua maupun roda empat, dalam masyarakat tidak jarang diangggap sebagai kebanggaan atau setidaknya sebagai sebuah keniscayaan sehingga jika anak-anak telah mampu mengendara dianggap sebagai prestasi.
Banyak yang melupakan bahwa mengemudikan kendaraan bermotor tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Hanya orang dengan kapasitas tertentulah yang diizinkan untuk mengendara, beberapa syarat tersebut antara lain kemampuan psikologis, kemampuan teknis dan pemahaman berlalu lintas, serta usia pengendara.
Kursus-kursus mengemudi tidak hanya mengajarkan kemampuan mengemudi tetapi juga pemahaman yang dituntut oleh undang-undang seperti di atas, termasuk pengetahuan teknis tentang kerusakan kendaraan bermotor, tetapi sayangnya, banyak di antara kita menyepelekan lembaga kursus mengemudi.
Akibatnya adalah banyak anak yang sebenarnya belum cukup umur, mengemudikan kendaraan dengan ugal-ugalan, tanpa paham peraturan lalu lintas, dan cenderung mengabaikan keselamatan pengguna jalan yang lain, sementara hukum kita teramat lemahnya dalam menerapkan sanksi.
Kalaupun mereka para remaja yang hanya bisa mengemudikan kendaraan itu tidak berani ke jalan raya, ketidaktahuan mereka akan peraturan lalu lintas seringkali menjadi ancaman yang serius bagi anak-anak balita di gang-gang kecil atau jalan-jalan dalam lingkungan kompleks perumahan.
Mereka umumnya tidak mengerti bahwa di setiap persimpangan harus melambatkan laju kendaraan, setiap persimpangan menghidupkan lampu sein, dilarang membunyikan klakson pada malam hari, serta berapa kecepatan maksimal yang boleh ditempuh.
Itu lah yang juga mungkin terjadi dalam kasus kecelakaan maut yang dialami putra seorang musisi ternama papan atas Indonesia yang hari-hari terakhir ini menyita perhatian publik.
Ada sebagian yang bersifat skeptis bahwa kasus ini akan berakhir dengan damai dan kalaupun sampai ke pengadilan, pengadilan hanya akan menjatuhkan hukuman percobaan seperti yang dialami putra salah seorang pembesar negeri ini, ada juga yang mengidentikkan dengan kasus Apriyani yang juga memakan korban dalam jumlah banyak.
Tetapi umumnya sorotan publik mengarah kepada ayah si pelaku yang dianggap lalai mengawasi dan bahkan membiarkan anaknya yang masih di bawah umur dan belum memiliki izin mengemudi untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Tidak tanggung-tanggung, banyak terdengar suara yang meminta si ayah lah yang bertangggungjawab atas semua kejadian tersebut.
Pertanggungjawaban Anak
Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea.
Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.
Doktrin mem rea itu dilandaskan pada maxim actus non facit reum nisi mens sit rea, yang berarrti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam “tanggung jawab” terkandung pengertian “penyebab”.
Orang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggung jawab juga.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka si pelaku adalah orang yang bebas untuk menentukan dan menyadari tindakannya atau menyadari kemungkinan atau akibat dari perbuatan yang ia lakukan.
Pasal 45 KUHP menentukan dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Bila hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidana anak itu dikurangi sepertiga sebagaimana diatur dalam Pasal 47.
Bila perbuatan itu adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak itu dijatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam UU No 11 Tahun 2012 batas usia anak untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum pidana adalah 12- 18 tahun.
Dengan demikian, jika si putra musisi benar telah berusia 13 tahun sebagaimana yang muncul dalam pemberitaan, maka hukum pidana sudah berlaku baginya, walaupun tentu saja terdapat kekhususan berupa peringanan dibandingkan dengan terhadap orang dewasa.
Dengan adanya kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku, maka ia sendiri lah yang bertanggungjawab, bukan ayahnya karena dalam hukum pidana berlaku prinsip pertangggungjawaban individu.
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dialihkan, ditanggung secara tanggung renteng dan diwariskan. Tangan mencincang bahu memikul.
Pembiaran
Hukum pidana hanya mengenal penyertaan dan perbantuan dalam melakukan tindak pidana. Hanya mereka yang secara nyata terlibat dan ikut serta atas terjadinya suatu tindak pidana saja lah yang dapat diminta pertanggungjawaban sebagai penanggungjawab sebagian (tidak penuh) sesuai porsi tindakan yang dilakukan.
Sampai sejauh ini tindakan membiarkan anaknya mengemudi dalam keadaan tanpa SIM dan dalam usia yang belum boleh mengemudi, belum dianggap sebagai perbuatan pidana.
Kasus ini tidak dapat dianalogikan dengan doen pleger, yaitu menyuruh orang lain melakukan tindak pidana sementara orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum pidana.
Dalam doen pleger, yang disuruh adalah misalnya orang gila atau bawahan yang tidak bisa tidak harus melaksanakan perintah dari yang menyuruh.
Menyuruh bersifat aktif tidak sama dengan membiarkan yang bersifat pasif. Membiarkan dalam ajaran penyertaan dikelompokkan sebagai turut serta atau membantu.
Walaupun demikian adanya, perbuatan membiarkan atau tidak mengawasi anak dalam mengemudikan kendaraan bukan lah membuat kita lalu lalai dan abai mengawasi anak yang belum cukup usianya untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Walaupun orang tua tidak diangggap turut serta apalagi sampai dianggap sebagai yang paling bertanggungjawab, apa yang terjadi dalam kasus tersebut harus lah menjadi pelajaran bagi kita para orang tua.***
Erdianto Effendi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unri, Kandidat Doktor Hukum Pidana di Universitas Padjadjaran
[ArtikelKeren] OPINI - Membiarkan atau bahkan mengajarkan anak mengemudi baik kendaraan roda dua maupun roda empat, dalam masyarakat tidak jarang diangggap sebagai kebanggaan atau setidaknya sebagai sebuah keniscayaan sehingga jika anak-anak telah mampu mengendara dianggap sebagai prestasi.
Banyak yang melupakan bahwa mengemudikan kendaraan bermotor tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Hanya orang dengan kapasitas tertentulah yang diizinkan untuk mengendara, beberapa syarat tersebut antara lain kemampuan psikologis, kemampuan teknis dan pemahaman berlalu lintas, serta usia pengendara.
Kursus-kursus mengemudi tidak hanya mengajarkan kemampuan mengemudi tetapi juga pemahaman yang dituntut oleh undang-undang seperti di atas, termasuk pengetahuan teknis tentang kerusakan kendaraan bermotor, tetapi sayangnya, banyak di antara kita menyepelekan lembaga kursus mengemudi.
Akibatnya adalah banyak anak yang sebenarnya belum cukup umur, mengemudikan kendaraan dengan ugal-ugalan, tanpa paham peraturan lalu lintas, dan cenderung mengabaikan keselamatan pengguna jalan yang lain, sementara hukum kita teramat lemahnya dalam menerapkan sanksi.
Kalaupun mereka para remaja yang hanya bisa mengemudikan kendaraan itu tidak berani ke jalan raya, ketidaktahuan mereka akan peraturan lalu lintas seringkali menjadi ancaman yang serius bagi anak-anak balita di gang-gang kecil atau jalan-jalan dalam lingkungan kompleks perumahan.
Mereka umumnya tidak mengerti bahwa di setiap persimpangan harus melambatkan laju kendaraan, setiap persimpangan menghidupkan lampu sein, dilarang membunyikan klakson pada malam hari, serta berapa kecepatan maksimal yang boleh ditempuh.
Itu lah yang juga mungkin terjadi dalam kasus kecelakaan maut yang dialami putra seorang musisi ternama papan atas Indonesia yang hari-hari terakhir ini menyita perhatian publik.
Ada sebagian yang bersifat skeptis bahwa kasus ini akan berakhir dengan damai dan kalaupun sampai ke pengadilan, pengadilan hanya akan menjatuhkan hukuman percobaan seperti yang dialami putra salah seorang pembesar negeri ini, ada juga yang mengidentikkan dengan kasus Apriyani yang juga memakan korban dalam jumlah banyak.
Tetapi umumnya sorotan publik mengarah kepada ayah si pelaku yang dianggap lalai mengawasi dan bahkan membiarkan anaknya yang masih di bawah umur dan belum memiliki izin mengemudi untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Tidak tanggung-tanggung, banyak terdengar suara yang meminta si ayah lah yang bertangggungjawab atas semua kejadian tersebut.
Pertanggungjawaban Anak
Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea.
Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.
Doktrin mem rea itu dilandaskan pada maxim actus non facit reum nisi mens sit rea, yang berarrti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam “tanggung jawab” terkandung pengertian “penyebab”.
Orang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggung jawab juga.
Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka si pelaku adalah orang yang bebas untuk menentukan dan menyadari tindakannya atau menyadari kemungkinan atau akibat dari perbuatan yang ia lakukan.
Pasal 45 KUHP menentukan dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Bila hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidana anak itu dikurangi sepertiga sebagaimana diatur dalam Pasal 47.
Bila perbuatan itu adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak itu dijatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam UU No 11 Tahun 2012 batas usia anak untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum pidana adalah 12- 18 tahun.
Dengan demikian, jika si putra musisi benar telah berusia 13 tahun sebagaimana yang muncul dalam pemberitaan, maka hukum pidana sudah berlaku baginya, walaupun tentu saja terdapat kekhususan berupa peringanan dibandingkan dengan terhadap orang dewasa.
Dengan adanya kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku, maka ia sendiri lah yang bertanggungjawab, bukan ayahnya karena dalam hukum pidana berlaku prinsip pertangggungjawaban individu.
Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dialihkan, ditanggung secara tanggung renteng dan diwariskan. Tangan mencincang bahu memikul.
Pembiaran
Hukum pidana hanya mengenal penyertaan dan perbantuan dalam melakukan tindak pidana. Hanya mereka yang secara nyata terlibat dan ikut serta atas terjadinya suatu tindak pidana saja lah yang dapat diminta pertanggungjawaban sebagai penanggungjawab sebagian (tidak penuh) sesuai porsi tindakan yang dilakukan.
Sampai sejauh ini tindakan membiarkan anaknya mengemudi dalam keadaan tanpa SIM dan dalam usia yang belum boleh mengemudi, belum dianggap sebagai perbuatan pidana.
Kasus ini tidak dapat dianalogikan dengan doen pleger, yaitu menyuruh orang lain melakukan tindak pidana sementara orang yang disuruh tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum pidana.
Dalam doen pleger, yang disuruh adalah misalnya orang gila atau bawahan yang tidak bisa tidak harus melaksanakan perintah dari yang menyuruh.
Menyuruh bersifat aktif tidak sama dengan membiarkan yang bersifat pasif. Membiarkan dalam ajaran penyertaan dikelompokkan sebagai turut serta atau membantu.
Walaupun demikian adanya, perbuatan membiarkan atau tidak mengawasi anak dalam mengemudikan kendaraan bukan lah membuat kita lalu lalai dan abai mengawasi anak yang belum cukup usianya untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Walaupun orang tua tidak diangggap turut serta apalagi sampai dianggap sebagai yang paling bertanggungjawab, apa yang terjadi dalam kasus tersebut harus lah menjadi pelajaran bagi kita para orang tua.***
Erdianto Effendi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unri, Kandidat Doktor Hukum Pidana di Universitas Padjadjaran
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.