Oleh : Ismiarni Moesa
[ArtikelKeren] OPINI - Indonesia untuk kali pertama didaulat menjadi tuan rumah Miss World 2013. Sebanyak 130 kontestan akan berkompetisi untuk meraih mahkota wanita tercantik sejagad.
Karantina peserta sudah dimulai pada 4 September 2013 nanti, sementara puncak acara atau malam finalnya dijadwalkan 28 September 2013 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor.
Meskipun telah mendapatkan izin penyelengaaran dari Mabes Polri, namun sampai saat ini gelombang penolakan terhadap kontes Miss World dari berbagai elemen masyarakat dan ormas Islam masih kuat dan akan terus dilakukan hingga puncak penyelenggaraan acara.
Demi terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, penyelenggarapun sibuk mengangkat sosok Miss Indonesia dan kontestan lainnya.
Mereka dikenalkan sebagai pribadi yang cerdas, peduli pada pendidikan, aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan atribut lainnya.
Tak sekadar mengangkat citra positif kontestan, mereka pun melakukan kunjungan sillaturrahmi ke berbagai pihak yang memiliki nilai dukung cukup besar, seperti pesantren dan pejabat daerah.
Para pejabat pun memaparkan beberapa manfaat yang akan diperoleh Indonesia selepas ajang internasional ini, seperti meningkatnya nilai devisa negara dari sektor pariwisata dan bisnis ekonomi kreatif, serta diprediksi akan mendongkrak ketenaran Indonesia dalam pergaulan dunia.
Benarkah pernyataan tersebut? Atau hanya iming-iming menggiurkan di balik bahaya yang siap menghadang?
Dusta Konsep 3B
Sejarah kemunculan Miss World pada awalnya adalah ajang kontes bikini. Pada sekitar tahun 1951 di Inggris, Eric Morley menggelar kontes kecantikan internasional untuk pertama kali.
Kontes ini berawal dari festival lomba yang bernama Festival Bikini Contest, kemudian berganti nama menjadi Miss World. Setelah Eric Morley meninggal pagelaran tersebut diteruskan istrinya hingga muncul konsep 3B yakni Brain (kecerdasan), Beauty (kecantikan) dan Behavior (Kepribadian).
Konsep 3B ini sebenarnya hanya untuk memoles kontes kecantikan agar diterima banyak kalangan, karena saat itu masih banyak pihak menolak kontes tersebut, bahkan hingga sekarang.
Slogan 3B memang sekadar polesan dan hanya stempel bagi legalisasi eksploitasi tubuh perempuan agar tampak elegan. Faktanya yang dominan sebagai penentu kemenangan adalah unsur kecantikan dan kemolekan tubuh.
Banyak perempuan yang cerdas, mempunyai prestasi yang tinggi di bidang sosial, namun tidak mungkin menjadi peserta kontes kecantikan semata-mata karena tidak memenuhi kriteria fisik. Bahkan kriteria fisik ini sangat ketat sekali dan berlebihan.
Hampir semua bagian tubuh kontenstan akan diukur oleh dewan juri mulai dari besar payudara, lingkar panggul, betis dan lainnya, dalam hal ini terjadi eksploitasi tubuh perempuan yang vulgar layaknya “seleksi hewan sembelihan” dan ini merupakan globalisasi kemaksiatan yang nyata.
Percayalah tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu Miss World betapun dia cerdas, terpuji sikapnya dan mempunyai prestasi yang mengagumkan di bidang sosial.
Karena mereka tidak memiliki nial jual baik dia atas catwalk, majalah, koran dan televisi serta tidak mampu mendongkrak penjualan berbagai produk.
Tidak ada sanggahan lagi, bahwa para peserta kontes akan dijadikan sebagai alat promosi berbagai produk seperti perusahaan kosmetik, pakaian renang, rumah mode, dan industri fashion.
Inilah cara pandang kapitalis terhadap perempuan, mereka dihargai hanya dari fisiknya saja dan dianggap sebagai barang dagangan.
Ketika perempuan disamakan dengan barang dagangan di sinilah hakikat penghinaan terhadap perempuan. Barang yang bagus akan disanjung dan dinilai mahal, sebaliknya barang yang buruk akan disingkirkan dan dibuang karena tidak memiliki nilai jual.
Kampanye Liberalisasi Budaya
Penerimaan dan penyelenggaraan Indonesia - negeri muslim terbesar di dunia- atas kontes Miss World akan meneguhkan opini bahwa Islam tidak mempermasalahkan eksistensi perempuan melalui kontes kecantikan.
Hal ini akan menjadi model bagi negeri-negeri muslim lainnya agar lebih toleran dan lebih terbuka terhadap kemajuan kaum perempuan.
Selanjutnya, ketika kontes Miss World sukses diadakan di Indonesia, maka kran liberalisasi semakin terbuka lebar dan berpeluang besar akan tumbuh dan berkembang kontes-kontes lainnya yang lebih mengerikan seperti yang terjadi di negara Barat dan akan berimbas kepada kerusakan generasi. Inilah kemenangan politis bagi pengusung proyek liberalisasi budaya di dunia Islam.
Kesimpulan
Kontes Miss World dikemas dengan jargon-jargon sosial dan pendidikan, seolah-olah kontes ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Padahal justru penghancuran dan perendahan terhadap perempuan. Kontes Miss World dan yang sejenisnya adalah event kemaksiatan dan merupakan simbol kapitalisasi tubuh perempuan dan perendahan martabat perempuan.
Beberapa alasan yang digunakan pihak penyelenggara dan pemerintah bahwa Indonesia akan mendapatkan manfaat seperti meningkatnya devisa melalui sektor pariwisata, meningkatnya citra bangsa dan mendongkrak ketenaran Indonesia dalam pergaualan dunia.
Hal ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola negara dengan kaidah yang bersendikan moralitas bangsa yang mulia dan cerdas.***
Ismiarni Moesa, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Wilayah Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Indonesia untuk kali pertama didaulat menjadi tuan rumah Miss World 2013. Sebanyak 130 kontestan akan berkompetisi untuk meraih mahkota wanita tercantik sejagad.
Karantina peserta sudah dimulai pada 4 September 2013 nanti, sementara puncak acara atau malam finalnya dijadwalkan 28 September 2013 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor.
Meskipun telah mendapatkan izin penyelengaaran dari Mabes Polri, namun sampai saat ini gelombang penolakan terhadap kontes Miss World dari berbagai elemen masyarakat dan ormas Islam masih kuat dan akan terus dilakukan hingga puncak penyelenggaraan acara.
Demi terus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, penyelenggarapun sibuk mengangkat sosok Miss Indonesia dan kontestan lainnya.
Mereka dikenalkan sebagai pribadi yang cerdas, peduli pada pendidikan, aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan atribut lainnya.
Tak sekadar mengangkat citra positif kontestan, mereka pun melakukan kunjungan sillaturrahmi ke berbagai pihak yang memiliki nilai dukung cukup besar, seperti pesantren dan pejabat daerah.
Para pejabat pun memaparkan beberapa manfaat yang akan diperoleh Indonesia selepas ajang internasional ini, seperti meningkatnya nilai devisa negara dari sektor pariwisata dan bisnis ekonomi kreatif, serta diprediksi akan mendongkrak ketenaran Indonesia dalam pergaulan dunia.
Benarkah pernyataan tersebut? Atau hanya iming-iming menggiurkan di balik bahaya yang siap menghadang?
Dusta Konsep 3B
Sejarah kemunculan Miss World pada awalnya adalah ajang kontes bikini. Pada sekitar tahun 1951 di Inggris, Eric Morley menggelar kontes kecantikan internasional untuk pertama kali.
Kontes ini berawal dari festival lomba yang bernama Festival Bikini Contest, kemudian berganti nama menjadi Miss World. Setelah Eric Morley meninggal pagelaran tersebut diteruskan istrinya hingga muncul konsep 3B yakni Brain (kecerdasan), Beauty (kecantikan) dan Behavior (Kepribadian).
Konsep 3B ini sebenarnya hanya untuk memoles kontes kecantikan agar diterima banyak kalangan, karena saat itu masih banyak pihak menolak kontes tersebut, bahkan hingga sekarang.
Slogan 3B memang sekadar polesan dan hanya stempel bagi legalisasi eksploitasi tubuh perempuan agar tampak elegan. Faktanya yang dominan sebagai penentu kemenangan adalah unsur kecantikan dan kemolekan tubuh.
Banyak perempuan yang cerdas, mempunyai prestasi yang tinggi di bidang sosial, namun tidak mungkin menjadi peserta kontes kecantikan semata-mata karena tidak memenuhi kriteria fisik. Bahkan kriteria fisik ini sangat ketat sekali dan berlebihan.
Hampir semua bagian tubuh kontenstan akan diukur oleh dewan juri mulai dari besar payudara, lingkar panggul, betis dan lainnya, dalam hal ini terjadi eksploitasi tubuh perempuan yang vulgar layaknya “seleksi hewan sembelihan” dan ini merupakan globalisasi kemaksiatan yang nyata.
Percayalah tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu Miss World betapun dia cerdas, terpuji sikapnya dan mempunyai prestasi yang mengagumkan di bidang sosial.
Karena mereka tidak memiliki nial jual baik dia atas catwalk, majalah, koran dan televisi serta tidak mampu mendongkrak penjualan berbagai produk.
Tidak ada sanggahan lagi, bahwa para peserta kontes akan dijadikan sebagai alat promosi berbagai produk seperti perusahaan kosmetik, pakaian renang, rumah mode, dan industri fashion.
Inilah cara pandang kapitalis terhadap perempuan, mereka dihargai hanya dari fisiknya saja dan dianggap sebagai barang dagangan.
Ketika perempuan disamakan dengan barang dagangan di sinilah hakikat penghinaan terhadap perempuan. Barang yang bagus akan disanjung dan dinilai mahal, sebaliknya barang yang buruk akan disingkirkan dan dibuang karena tidak memiliki nilai jual.
Kampanye Liberalisasi Budaya
Penerimaan dan penyelenggaraan Indonesia - negeri muslim terbesar di dunia- atas kontes Miss World akan meneguhkan opini bahwa Islam tidak mempermasalahkan eksistensi perempuan melalui kontes kecantikan.
Hal ini akan menjadi model bagi negeri-negeri muslim lainnya agar lebih toleran dan lebih terbuka terhadap kemajuan kaum perempuan.
Selanjutnya, ketika kontes Miss World sukses diadakan di Indonesia, maka kran liberalisasi semakin terbuka lebar dan berpeluang besar akan tumbuh dan berkembang kontes-kontes lainnya yang lebih mengerikan seperti yang terjadi di negara Barat dan akan berimbas kepada kerusakan generasi. Inilah kemenangan politis bagi pengusung proyek liberalisasi budaya di dunia Islam.
Kesimpulan
Kontes Miss World dikemas dengan jargon-jargon sosial dan pendidikan, seolah-olah kontes ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Padahal justru penghancuran dan perendahan terhadap perempuan. Kontes Miss World dan yang sejenisnya adalah event kemaksiatan dan merupakan simbol kapitalisasi tubuh perempuan dan perendahan martabat perempuan.
Beberapa alasan yang digunakan pihak penyelenggara dan pemerintah bahwa Indonesia akan mendapatkan manfaat seperti meningkatnya devisa melalui sektor pariwisata, meningkatnya citra bangsa dan mendongkrak ketenaran Indonesia dalam pergaualan dunia.
Hal ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola negara dengan kaidah yang bersendikan moralitas bangsa yang mulia dan cerdas.***
Ismiarni Moesa, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Wilayah Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.