Oleh : Isbedy Stiawan ZS
[ArtikelKeren] CERPEN - Ucapan itu berulangkali meluncur dari bibir Parman, tentu dengan intonasi yang berubah-ubah menyesuaikan situasi ataupun emosi sesaat yang dirasakannya.
Jadi, terkadang bernada tanya yang cenderung ragu. Pada kesempatan lain, seperti penegasan atau optimistis; malaikat turun di bulan Ramadhan seperti sering didengarnya sewaktu pengajian di masa kecil maupun dari ceramah para ustad.
Parman yakin janji Tuhan tak pernah ingkar. Setiap ayat yang terangkum dalam kitab suci adalah kata-kata Tuhan, kebenaran yang tak terbantahkan. Tapi apa pula tanda bahwa malaikat turun di bulan Ramadhan? Sewaktu Musa ingin melihat wajah Tuhan, maka Tuhan memperlihatkan dengan cahaya yang dapat merobek Tursina.
Tetap, kini bukan zaman Musa lagi. Tak ada tanda. Tidak mungkin menerima tanda bahwa malaikat benar-benar turun di malam Ramadhan lalu menghampirinya, seperti ketika malaikat menghampiri Muhammad dalam rupa manusia.
Apalagi sudah 60 tahun Parman bertemu Ramadhan, meskipun baru 50 tahun ia benar-benar menjalani seluruh ibadah dalam bulan yang disucikan itu. Ya, setelah usia 10 tahun ia berpuasa penuh sehari. Juga pada saat usia itu, dia tak lagi meninggalkan puasa, tarawih, dan amalan sunnah lainnya.
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Parman selalu bermalam di surau atau masjid untuk melaksanakan iktikaf. Bahkan, ia hampir-hampir menghentikan aktivitas duniawinya.
‘’Saya ingin khusyuk beribadah. Bagaimana bisa saya ibadah dengan baik kalau urusan dunia masih terpikir,’’ kata Parman ketika seorang tetangga seperti heran padanya yang lebih mementingkan ibadah daripada duniawinya.
Padahal kebanyakan orang, saat menjelang Lebaran sudah sibuk bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, demi membeli baju baru, kue, daging, dan sebagainya. Lebaran ibarat pesta setelah berpuasa.
Pesta? Membayangkang kata itu, karena itu mereka berlomba memamerkan kekayaannya di hari Idul Fitri. Para perantau berbondong pulang ke kampung halaman, membawa seluruh tabungan selama setahun. Membawa kesombongan dan harta kekayaan, yang entah dari mana diperolehnya.
Parman justru berharap malaikat turun di malam Ramadhan, bahkan sejak 60 tahun silam. Ia tak begitu riang kedatangan putra satu-satunya yang merantau di Medan dan telah berkeluarga pada Idul Fitri. Walaupun anak, menantu, dan satu cucunya itu tak perna alpa membawa buah tangan seperti kain sarung, kopiah, dan baju koko.
Menurut Parman, para perantau seperti menjadi keharusan pulang sebagai bentuk rindu pada tanah kelahiran. Atau kepada ibu yang telah mengenalkan dunia pada anak-anak.
***
MALAIKAT turun di malam Ramadhan.
Tetapi, sudah hari ke empat memasuki bulan Ramadhan pada hari ini. Parman tetap tak absen menjalankan puasa di siang hari dan ibadah-ibadah lain pada malamnya.
Dia begitu khusyuk. Agar tak malas, Parman hanya berbuka secukupnya, lalu solat maghrib, melanjutkan takjil dan minum teh manis. Eejurus kemudian, ia mengambil sarung dan kopiah, mengenakan koko, dan menuju surau. Solat tarawih berjamaah.
Sesampai surau, sekadar menyapa jamaah lain yang juga tetangganya, dilanjutkan solat sunnah, dzikir atau membuka al-Quran. Sebentar kemudian adzan berkumandang untuk solat isya. Tarawih 11 rakaat.
Seperti tahun-tahun silam, Parman tak pernah bolong. Baginya Ramadhan mesti syukuri dan kehadirannya disambut penuh riang. Begutulah sikap yang ditunjukkan kanjeng Muhammad SAW dan para sahabat. Bahkan ada sahabat yang selama Ramadhan, bisa berkali-kali mengkhatamkan al-Quran.
Sementara bagi Parman cukuplah sekali khatam al-Quran, tetapi tarawih tak absen, iktikaf selalu dilakukan menjelang tamat Ramadhan.
Parman ingin sekali di bulan Ramadhan mendapatkan malaikat turun, seperti dijanjikan Tuhan. Ia sering mendengar ceramah dari mubaligh, malaikat akan turun pada malam Ramadhan dan akan mendatangi umat Islam yang beribadah pada malam dan siang. Itu sebabnya, kata sang ustad, zaman dulu muslim akan cuti mencari nafkah saat masuk Ramadhan demi khusyuk beribadah.
Parman akhirnya mengikuti para ulama terdahulu. Dia istirahat bekerja, apalagi ia hidup sendiri setelah isterinya meninggal 10 tahun silam. Sebagai duda dan anaknya sudah berkeluarga serta menetap di kota lain, kebutuhan hidup sangat berkurang. Selain untuk ibadah di bulan penuh berkah dan pintu pengampunan terbuka lebar, tak ada yang dilakukannnya. Sahur dan berbuka cukup seadanya, yang diberi atau sumbangan tetangga.
‘’Pak Parman mah enak, tak ada lagi yang dipikirkan. Anak sudah berkeluarga, isteri tak ada. Jadi ya beribadah saja. Kalau saya seperti begitu, wah bisa diusir keluarga,’’ kata Sudi, tangganya saat mengobrol di surau.
Parman memilih di surau kecil itu, daripada tinggal di rumahnya yang juga tak besar. Bukan sebagai marbot, namun demgan ikhlas ia membersihkan dan merawat surau itu. Setiap kotor sekecil apapun, tak luput ia bersihkan.
Imam surau sangat senang dengannya. Pengurus surau memperhatikannya dengan mengirim makanan sahur bergantian. Begitulah, akhirnya Parman seperti benar-benar marbot di surau itu. Dan rumahnya selalu dalam keadaan terkunci, dan lampu penerang pun mati.
Ibadahnya makin diperbanyak, ketika Ramadhan sudah 17 hari. Ketika masuk 21 hari, sepertinya ia tak lagi pernah ke kamar wudhu karena batal. Ia duduk bersila membuka al-Quran kecil dan di tangan kanan tasbih, setelah jamaah lain pulang sesuai tarawih. Lalu bangkit menuju mihrab untuk mengumandangkan adzan subuh.
Entah siapa yang datang ke surau sebelum adzan subuh. Pintu surau masih terkunci. Segera mengetuk berkali-kali, tak juga ada sahutan. Ia masuk liwat kamar wudhu, setelah menaiki tembok. Ia pikir Parman ketiduran karena semalaman beribadah dan berdzikir. Mungkin ia terlelap setelah bertemu malaikat yang turun, seperti dijanjikan.
Tak tahunya, ia memang benar-benar mendapatkan malaikat pada malam ke 23. Malaikat turun dan menyambanginya. Tersenyum ramah. Mengajaknya bercakap-cakap sejenak, setelah memberinya sesuatu. Tak seorang jamaah tahu apa yang diberikan malaikat, selain Parman benar-benar pergi untuk selamanya. Ia telah mengkhatamkan ibadah puasa dan amalan lain di bulan Ramadhan kali ini. Tanpa di sisi istri atau di hadapan anaknya.
Parman sangat bahagia. Itu terpancar dari wajahnya yang ceria, dan senyumnya mengembang.
‘’Innalillahi wa inna ilaihi roojiun,’’ ucap imam surau, lalu berdoa sesaat di sisi tubuh Parman.
Jamaah lain ikut mengucap amin. Kemudian memindahkan jenazah Parman ke dekat mihrab, untuk disalatkan selepas subuh.***
Bandarlampung, 4-14 Juli 2013
Isbedy Stiawan ZS
adalah penyair Lampung yang telah menghasilkan berbagai karya sastra. Karya-karyanya banyak dimuat diberbagai media massa lokal maupun nasional serta dibukukan.
[ArtikelKeren] CERPEN - Ucapan itu berulangkali meluncur dari bibir Parman, tentu dengan intonasi yang berubah-ubah menyesuaikan situasi ataupun emosi sesaat yang dirasakannya.
Jadi, terkadang bernada tanya yang cenderung ragu. Pada kesempatan lain, seperti penegasan atau optimistis; malaikat turun di bulan Ramadhan seperti sering didengarnya sewaktu pengajian di masa kecil maupun dari ceramah para ustad.
Parman yakin janji Tuhan tak pernah ingkar. Setiap ayat yang terangkum dalam kitab suci adalah kata-kata Tuhan, kebenaran yang tak terbantahkan. Tapi apa pula tanda bahwa malaikat turun di bulan Ramadhan? Sewaktu Musa ingin melihat wajah Tuhan, maka Tuhan memperlihatkan dengan cahaya yang dapat merobek Tursina.
Tetap, kini bukan zaman Musa lagi. Tak ada tanda. Tidak mungkin menerima tanda bahwa malaikat benar-benar turun di malam Ramadhan lalu menghampirinya, seperti ketika malaikat menghampiri Muhammad dalam rupa manusia.
Apalagi sudah 60 tahun Parman bertemu Ramadhan, meskipun baru 50 tahun ia benar-benar menjalani seluruh ibadah dalam bulan yang disucikan itu. Ya, setelah usia 10 tahun ia berpuasa penuh sehari. Juga pada saat usia itu, dia tak lagi meninggalkan puasa, tarawih, dan amalan sunnah lainnya.
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Parman selalu bermalam di surau atau masjid untuk melaksanakan iktikaf. Bahkan, ia hampir-hampir menghentikan aktivitas duniawinya.
‘’Saya ingin khusyuk beribadah. Bagaimana bisa saya ibadah dengan baik kalau urusan dunia masih terpikir,’’ kata Parman ketika seorang tetangga seperti heran padanya yang lebih mementingkan ibadah daripada duniawinya.
Padahal kebanyakan orang, saat menjelang Lebaran sudah sibuk bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, demi membeli baju baru, kue, daging, dan sebagainya. Lebaran ibarat pesta setelah berpuasa.
Pesta? Membayangkang kata itu, karena itu mereka berlomba memamerkan kekayaannya di hari Idul Fitri. Para perantau berbondong pulang ke kampung halaman, membawa seluruh tabungan selama setahun. Membawa kesombongan dan harta kekayaan, yang entah dari mana diperolehnya.
Parman justru berharap malaikat turun di malam Ramadhan, bahkan sejak 60 tahun silam. Ia tak begitu riang kedatangan putra satu-satunya yang merantau di Medan dan telah berkeluarga pada Idul Fitri. Walaupun anak, menantu, dan satu cucunya itu tak perna alpa membawa buah tangan seperti kain sarung, kopiah, dan baju koko.
Menurut Parman, para perantau seperti menjadi keharusan pulang sebagai bentuk rindu pada tanah kelahiran. Atau kepada ibu yang telah mengenalkan dunia pada anak-anak.
***
MALAIKAT turun di malam Ramadhan.
Tetapi, sudah hari ke empat memasuki bulan Ramadhan pada hari ini. Parman tetap tak absen menjalankan puasa di siang hari dan ibadah-ibadah lain pada malamnya.
Dia begitu khusyuk. Agar tak malas, Parman hanya berbuka secukupnya, lalu solat maghrib, melanjutkan takjil dan minum teh manis. Eejurus kemudian, ia mengambil sarung dan kopiah, mengenakan koko, dan menuju surau. Solat tarawih berjamaah.
Sesampai surau, sekadar menyapa jamaah lain yang juga tetangganya, dilanjutkan solat sunnah, dzikir atau membuka al-Quran. Sebentar kemudian adzan berkumandang untuk solat isya. Tarawih 11 rakaat.
Seperti tahun-tahun silam, Parman tak pernah bolong. Baginya Ramadhan mesti syukuri dan kehadirannya disambut penuh riang. Begutulah sikap yang ditunjukkan kanjeng Muhammad SAW dan para sahabat. Bahkan ada sahabat yang selama Ramadhan, bisa berkali-kali mengkhatamkan al-Quran.
Sementara bagi Parman cukuplah sekali khatam al-Quran, tetapi tarawih tak absen, iktikaf selalu dilakukan menjelang tamat Ramadhan.
Parman ingin sekali di bulan Ramadhan mendapatkan malaikat turun, seperti dijanjikan Tuhan. Ia sering mendengar ceramah dari mubaligh, malaikat akan turun pada malam Ramadhan dan akan mendatangi umat Islam yang beribadah pada malam dan siang. Itu sebabnya, kata sang ustad, zaman dulu muslim akan cuti mencari nafkah saat masuk Ramadhan demi khusyuk beribadah.
Parman akhirnya mengikuti para ulama terdahulu. Dia istirahat bekerja, apalagi ia hidup sendiri setelah isterinya meninggal 10 tahun silam. Sebagai duda dan anaknya sudah berkeluarga serta menetap di kota lain, kebutuhan hidup sangat berkurang. Selain untuk ibadah di bulan penuh berkah dan pintu pengampunan terbuka lebar, tak ada yang dilakukannnya. Sahur dan berbuka cukup seadanya, yang diberi atau sumbangan tetangga.
‘’Pak Parman mah enak, tak ada lagi yang dipikirkan. Anak sudah berkeluarga, isteri tak ada. Jadi ya beribadah saja. Kalau saya seperti begitu, wah bisa diusir keluarga,’’ kata Sudi, tangganya saat mengobrol di surau.
Parman memilih di surau kecil itu, daripada tinggal di rumahnya yang juga tak besar. Bukan sebagai marbot, namun demgan ikhlas ia membersihkan dan merawat surau itu. Setiap kotor sekecil apapun, tak luput ia bersihkan.
Imam surau sangat senang dengannya. Pengurus surau memperhatikannya dengan mengirim makanan sahur bergantian. Begitulah, akhirnya Parman seperti benar-benar marbot di surau itu. Dan rumahnya selalu dalam keadaan terkunci, dan lampu penerang pun mati.
Ibadahnya makin diperbanyak, ketika Ramadhan sudah 17 hari. Ketika masuk 21 hari, sepertinya ia tak lagi pernah ke kamar wudhu karena batal. Ia duduk bersila membuka al-Quran kecil dan di tangan kanan tasbih, setelah jamaah lain pulang sesuai tarawih. Lalu bangkit menuju mihrab untuk mengumandangkan adzan subuh.
Entah siapa yang datang ke surau sebelum adzan subuh. Pintu surau masih terkunci. Segera mengetuk berkali-kali, tak juga ada sahutan. Ia masuk liwat kamar wudhu, setelah menaiki tembok. Ia pikir Parman ketiduran karena semalaman beribadah dan berdzikir. Mungkin ia terlelap setelah bertemu malaikat yang turun, seperti dijanjikan.
Tak tahunya, ia memang benar-benar mendapatkan malaikat pada malam ke 23. Malaikat turun dan menyambanginya. Tersenyum ramah. Mengajaknya bercakap-cakap sejenak, setelah memberinya sesuatu. Tak seorang jamaah tahu apa yang diberikan malaikat, selain Parman benar-benar pergi untuk selamanya. Ia telah mengkhatamkan ibadah puasa dan amalan lain di bulan Ramadhan kali ini. Tanpa di sisi istri atau di hadapan anaknya.
Parman sangat bahagia. Itu terpancar dari wajahnya yang ceria, dan senyumnya mengembang.
‘’Innalillahi wa inna ilaihi roojiun,’’ ucap imam surau, lalu berdoa sesaat di sisi tubuh Parman.
Jamaah lain ikut mengucap amin. Kemudian memindahkan jenazah Parman ke dekat mihrab, untuk disalatkan selepas subuh.***
Bandarlampung, 4-14 Juli 2013
Isbedy Stiawan ZS
adalah penyair Lampung yang telah menghasilkan berbagai karya sastra. Karya-karyanya banyak dimuat diberbagai media massa lokal maupun nasional serta dibukukan.
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.