Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Minggu, 14 Juli 2013

Asal Usul Pangkalan Terang | CERITA RAKYAT BENGKALIS

Minggu, Juli 14, 2013 By Unknown No comments

[ArtikelKeren] CULTURE - Pada zaman dahulu, saat sebelum desa – desa menjadi besar terdapat banyak nama desa di Kabupaten Bengkalis ini. Di masa itulah hidup sebuah keluarga miskin yang tinggal di daerah jalan laut Sebauk. Jalan laut ini dibuat pada masa penjajahan Belanda. Keluarga miskin itu terdiri dari Bapak yang bernama Sianjing, Mak bernama Seteri dan seorang anak gadisnya yang diberi nama Yang Mah. 

Setiap hari Sianjing bekerja sebagai pengasah gigi orang di kampungnya. Kadang dia juga mengambil upah menebas semak – semak. Sedang isterinya, Seteri bekerja mengambil upah menuai padi. Dia selalu pergi menuai padi di Bukit Batu, setelah selesai dia pulang lagi ke Sebauk, begitulah seterusnya. Yang Mah tumbuh menjadi gadis yang cantik dalam kehidupan yang serba kekurangan. Meskipun demikian, keluarga mereka tidak ada masalah, senantiasa akur. 

Seperti hari – hari biasa, hari ini Seteri pun akan berangkat ke Bukit Batu untuk mengambil upah menuai padi. 


“Yang Mah, Mak pergi dulu”. Kata Seteri sambil membenahi kain sarung untuk menutupi kepalanya.

“Iya Mak” Sahut Yang Mah dari dalam rumah.


“Jangan lupa memasak untuk Bapak kau Yang Mah, nanti dia kelaparan pulang dari menebas”


Sambut Seteri lagi.

“Iya Mak, nanti Yang Mah masak”. 


Jawab Yang Mah mengiayakan perintah Maknya, Seteri langsung menuju pangkalan. Yang Mah mulai memasak di dapur untuk makan Bapaknya pulang kerja nanti.

Sore hari Seteri sudah sampai lagi di rumahnya.


“Yang Mah,” Panggilnya kepada Yang Mah.


“Iya Mak” sahutnya. “Sudah balik Mak?” Kata Yang Mah sambil berdiri di pintu menyambut maknya.

“Tak banyak hari ini Yang Mah, Bapak kau dah balik?” 
Katanya sambil naik setelah mencuci kakinya dengan air yang ada di tempayan di sampng tangga rumahnya.

“Belum Mak”
“Kau tak susul dia Yang Mah?”
“Sekejap lagi Bapak baliklah tu Mak”.

Benarlah tak lama setelah itu, Sianjing pun sampai di depan pintu dengan membawa parang yang digunakannya untuk menebas. Dia mencuci kaki dan meletakkan parang itu di tepi rumah.

“Assalamu’alaikum”. Salam Sianjing.
“Ha itu Bapak balik Mak, Walaikum Salam”.
 
Yang Mah berlari ke depan pintu menyamut Bapaknya pulang.

“Lambat balik hari ini Pak?”
“Banyak juga hari ini orang minta tebas ladangnya, Yang Mah”.
“O….. Ayolah Pak makan, tu Mak dan menunggu Bapak dari tadi”
“Dah balik Mak kau rupanya Mah”.
“Iya Pak, ayolah Pak”.
Ajak Yang Mah lagi.
“Ayolah, Bapak pun dah lapar”.

 
Merekapun makan dengan lahap, maklum sudah seharian bekerja aru sore hari berjumpa dengan nasi lagi. Tidak ada yang berbicara, semua asyik dengan makanan m asing – masing. Lagipun, sudah adatnya orang melayu kalaumakan tidak boleh berbicara. Selesai makan, haripun mulai gelap. Mereka sudah tertidur pulas karena kecapekan kerja seharian.

Pagi – pagi lagi Yang Mah sudah bantun sebelum orang tuannya bangun untuk membuat sarapan. Setelah selesai barulah nanti Yang Mah membangunkan Mak dan Bapaknya untuk diajak sarapan bersama. Begitu juga hari itu, Yang Mah sudah selesai membuat sarapan untuk Mak dan Bapaknya.

“Mak, Pak, bangunlah, sarapan dan siap Mah buat”. 
Kata Yang Mah seraya menggolek – golekkan tubuh Mak dan Bapaknya. Tak lama Mak dan Bapaknya bangun. Setelah membersihkan muka, mereka ikut sarapan.

“Mak, Bapak kerja hari ini?” tanya Yang Mah.
“Tidak” Jawab mereka serentak. Yang Mah tersenyum menggoda.
“Ai, dan tua – tua pun masih kompak ya” Goda Yang Mah
“Bapak kau ni yang suka ikut Mak” Jawab Maknya dengan tersipu.
“Eh….eh awaklah yang ikut dia?!” Bantah Sianjing, merekapun tertawa.

Sore harinya, mereka duduk di depan beranda rumah. Berbual – bual sambil bercanda. Memang jarang mereka dapat kumpul bersama seperti hari ini. Biasanya orang tua Yang Mah sibuk kerja. Pergi pagi pulang petang, jumpanya ketika malam baru bisa bersama itupun tidak lama, mereka langsung tidur, ketiak mereka asyik berbual – bual, lewatlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah mereka jumpa.

“Hai, anak muda, mau kemana kah tuan hamba?” Tanya Sianjing tatkala pemuda itu lewat di depan rumahnya. Pemuda itu berhenti, dan tersenyum dengan ramah kepada keluarga Sianjing.
“Saya ini orang pelayar, jadi kapal kami berlabuh di pangkalan sana,” Tunjuk pemuda itu ke arah hulu. Memang sebenarnya di Sebauk waktu itu tidak ada pelabuhan, yang ada Cuma pangkalan tempat masuknya kapal atau perahu, itupun terletak di sebelah hulu dari tempat Sianjing tingal. 
”Saya ingin melihat – lihat desa ini”. Terang si pemuda asing itu lagi.
“O…. kemarilah dulu, kita berbual – bual, sambil minum kopi.”
Ajak Sianjing dengan ramah.

Pemuda itu menurut. Dia singgah di rumah Sianjing dan ikut duduk di beranda rumah bersama keluarga Sianjing.

“Mah, buatkan kopi satu lagi”.
Perintah Sianjing pada anaknya.
“Baik Pak.”
Yang Mah bangkit dari duduk, langsung ke dapur untuk membuat secangkir lagi kopi buat tetamunya.

“Jadi Tuan Hamba ini pelayar?”
Sianjing membuka pembicaraan. Pemuda itu mengangguk mengiyakan.

“Siapa nama tuan hamba?”
Tanay Seteri pula.
“Nama saya Awang Mahmuda Makcik”.
Jawab pemuda yang bernama Awang Mahmuda.

“Berapa lama nak Awang tinggal di Sebauk ini?”
“Mungkin dalam sebulan Pak Cik”.
“Dimana mau tinggal?”
“Mungkin di kapal saja, Mak Cik”.
“Eh…eh mengapa pula di kapal? Kalau sudi tinggallah di rumah kami ni, yakan Mak Nye?”
Tawar Sianjing pada Awang Mahmuda.

“Betul tu nak”, Seteri menyetujui pendapat suaminya.
“Terima kasih Pak Cik, Mak Cik”.
Yang Mah keluar membawa talam berisikan secangkir kopi.

“Silakan diminumkan Bang”.
“Terima kasih”
“Ini anak kami namanya Yang Mah”, Kata Seteri memperkenalkan anaknya.

Untuk sementara waktu Awang Mahmuda tinggal bersama keluarga Sianjing, dia ikut menolong Sianjing menebas ladang orang. Begitulah setiap hari. Sianjing senang karena pekerjaannya dibantu oleh Awang Mahmuda. Tanpa sepengetahuan orang tuannya, Yang Mah dan Awang Mahmuda ternyata salng terpikat satu sama lain. Mereka menjalin hubungan secara diam – diam. Mereka sangat pandai menyimpan hubungan ini sampai orang tuannya tidak mengetahuinya.

Setiap malam setelah orang tuannya tidur, Yang Mah dan Awang Mahmuda berjumpa di belakang rumah untuk memadu kasih.

“Bang, bukankah sebaiknyakita beritahu saja hubungan kita ini kepada Mak dan Bapak?” kata Yang Mah pada suatu malam.

“Bukannya Abang tak mau Mah, Cuma abang takut Mak dan Bapak Mah tak setuju, maklumlah Abang ini perantau, suka berlayar ke sana ke mari”.
Jelas Awang Mahmuda.

“Mak dan Bapak pasti mengerti Bang”.
Pujuk Yang Mah.
“Nantilah Mah, bila abang ke sini lagi akan abang sampaikan lamaran abang kepada orang tua Mah”.
“Bila Abang ke sini lagi?”
“Munkgin sebulan, besok Abang harus berlayar Mah”.
Air mata Yang Mah mulai jatuh, hatinya begitu hampa mendengar keksaih hatinya akan pergi berlayar. Itu berarti akan lama untuk berjumpa,

“Jangan menangis Mah, Abang pergi hanya sebulan, setelah itu Abang pasti datang untuk melamar Mah”. Pujuk Awang Mahmuda pula kepada kekasihnya.

Keesokan harinya sebelum berangkat Awang Mahmuda minta diasahkan giginya kepada Bapak Angkatnya, Sianjing. Sianjing bersedia mengasah gigi Awang Mahmuda. Dalam pikiran Sianjing pastikah Awang Mahmuda kelak memberi upah yang besar sebagai bayaran dan tanda ucapan terima kasih karena dia memberikan tempat tinggal kepada Awang Mahmuda. Namun, itu hanyalah hayalannya saja, setelah giginya diasah Awang Mahmuda tidak memberikan uang sebagai upah tapi hanya mengucapkan terima kasih dan pamit pulang kepada Sianjing dan Seteri serta Yang Mah. Sianjing menyimpan rasa dongkolnya di depan Awang Mahmuda. Awang Mahmuda tidak tahu bahwa Sianjing kesal padanya berlalu seakan tanpa beban.

“Dasar budak tak tahu berterima kasih, awak dan penat – penat mengasah gigi dia, usahkan nak bayar lebih sedikitpun tidak. Dia sangka awak ni orang kaya” Umpat Sianjing setelah Awang Mahmuda pergi.

“Sudahlah Pak, mungkin Abang Awang tak ada duit”.
Balas Yang Mah secara tidak langsung membela kekasihnya.

“Dia memang tak pandai balas budi, nanti – nanti jangan diterima lagi dia di rumah ni”. 
Sungut Sianjing sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Mengambil parang dan mengasahnya untuk menebas ladang pagi esok. Yang Mah dan Maknya pun naik, mengerjakan apa yang patut dikerjakan.

Hari ke hari sudah berlalu, hampir setengah bulan Awang Mahmuda pergi, selama itu pulalah Yang Mah memendam rindu, makan tak selera, tidur pun tak lena. Badanya semakin kurus, namun tidak memudarkan kecantikan alaminya tanpa ada campur tanan make-up. Dia tidak tahu kabar tentang Awang Mahmuda.

Pada suatau hari datanglah rombongan dari Sungai Alam ke rumah Sianjing. Mereka datang dengan maksud ingin melamar Yang Mah anak mereka, Awang Bungsu.

“Ada apa gerangan rombongan tuan hamba datang ke rumah hamba yang tak seperti ini?” tanya Sianjing kepada rombongan itu setelah dipersilahkan dulu duduk dan minum air yang disediakan.

“Begini tuan hamba, kami datang ini dengan hajat besar?”
“Apakah hajat besar itu?”
“Kami datang ke mari untuk melamar anak tuan hamba buat anak kami Awang Bungsu”. 
Jelas salah seorang dari mereka. Sianjing dan isterinya tersenyum, ternyata masih ada orang yang terpikat dengan anak daranya. Mereka tidak sadar bahwa Yang Mah yang mendengar semua ini dari balik tirai pintu benar – benar merasa terpukul dan sedih.

“Begitu rupanya, kami sekeluarga merasa terhormat dan pastinya kami menerima lamaran dari pihak tuan hamba”. Jawab Sianjing dengan wajah berseri – seri.

“Apakah tidak ditanya dulu kepada yang punya badan, tuan hamba?”
kata mereka pula.
“Yang Mah itu anak yang penurut, dia pasti tidak akan membantah dengan lamaran ini, lagipun setahu kami dia b elum ada berpunya”. 
Isteri Sianjing menambahkan.

“Baguslah kalau begitu, kalau semua telah selesai kita akan lanjutkan perundingan tentang pernikahan pula lain hari”.
“Baik sangatlah tu”.
“Kami permisi dulu”.
“Iya, hati – hati”.

 
Selepas kepergian rombongan dari Sungai Alam tersebut, Sianjing dan Isterinya melonjak gembira, hal ini terlihat dari wajahnya yang berseri – seri dan senyum yang tersungging di bibirnya. Sedang Yang Mah tidak kuasa menolak laraman itu hanya menahan perih yang dalam di hatinya. Perundingan demi perundingan terus berjalan, sampailah penetapan hari perkawinan. Pada hari yang telah ditetapkan, maka berlangsunglah acara dari dua belah pihak. Di rumah Awang Bungsu di Sungai Alam dan rumah Yang Mah di Sebauk. Pada hari itu pulalah Awang Mahmuda sampai di pangkalan biasa berlabuh. Teman – teman Yang Mah yang mengetahui kepulangan Awang Mahmuda memberitahu Yang Mah.

“Yang Mah, ….. Yang Mah…” Panggil Timah dengan nafas tersenggal – senggal. Yang Mah menatap heran.

“Kenapa kau Timah? Macam dikejar setan pulak”.
“Itu… A…Awang Mahmuda udah balek, dia ada di pangkalan”.
“Betulkan itu Timah?” u
lang Yang Mah sambil memegang bahu Timah.

“Betul, pergilah sekarang Mah”
“Iya, aku harus pergi menemui Bang Awang, terima kasih Timah”. 
Setelah mendapat tahu Awang Mahmuda sudah pulang, Yang Mah langsung pergi menyusul nya. Dia pergi secara diam – diam, tidak ada yang tahu kepergiannya kecuali Timah. Orang – orang sibuk mempersiapkan berbagai macam untuk acara ini.

Tibalah Yang Mah dipangkalan di mana Awang Mahmuda berada.

“Bang, mengapa Abang datang terlambat?” Isak Yang Mah dalam rangkulan Awang Mahmuda.

“Mungkin kita tidak berjodoh Mah, pulanglah, bukankah hari ini hari pernikahan kau Mah?”
“Tapi Mah tak inginkan pernikahan ini Bang”.
“Mah hanya manu menikah dengan Abang”.
 
Kata Yang Mah dalam isak tangisnya. Awang Mahmuda tak kuasa menahan air mata, dia juga terpukul mengatahui kekasihnya akan menikah dengan laki – laki lain. Ini semua karena kelalaiannya.

“Sudahlah Mah, pulanglah, kasian Mak dan Bapak Mah”.
Pujuk Awang Mahmuda, tapi Yang Mah tetap tidak mau pulang.

Di rumah Yang Mah orang – orang sibuk mencari Yang Mah.

“Kemana Yang Mah Mak Andam? Rombongan laki – laki tak lama lagi sampai.” Tanya Mak Yang Mah panik.
“Saya tidak tahu, tadi saya tinggalkan Yang Mah sekejap di kamar ni, ketika saya datang lagi dia sudah tidak ada.” Kata Mak Andam ketakukan.

Entah siapa yang mengadu, orang – orang di sana tahu Yang Mah ada di pangkalan bersama Awang Mahmuda. Mereka pergi menyusul Yang Mah termasuk Mak dan Bapak Yang Mah pun datang.

“Nak, baliklah. Tak lama lagi Awang Bungsu sampai, tak sedap ditengok orang kau di sini”. Pinta Maknya memelas.

“Mah, tak mau Mak, Mah hanya mau menikah dengan Bang Awang Mahmuda,”
jawab Yang Mah
 
Sementera mereka sibuk membujuk Yang Mah, Awang Bungsu yang akan berarak menuju Sebauk ini dapat tahu bahwa bakal isterinya ada bersama Awang Mahmuda. Darah muda Awang Bungsu bergejolak, dengan membawa sebatang tombak pergi menuju pangkalan. Dengan perasaan marah Awang Bungsu langsung menentang Awang Mahmuda untuk menyelesaikan masalah ini secara jantan. Awang Mahmuda bukanlah seorang pemuda pengecut, diterimanya tantangan Awang Bungsu. 

“Bang…..” desah Yang Mah memegang lengan Awang Mahmuda.
“Tenang Mah, abang pasti bisa mengatasinya”.
Kata Awang Mahmuda menenangkan.
“Cepatlah kau pengecut”. 
Teriak Awang Bungsu keras. Awang Mahmuda maju, perkelahian pun tak dapat dielakkan. Pukulan demi pukulan, terjang menerjang, jurus – jurus pun sudah dikeluarkan. Tidak ada satu orang pun yang dapat melerai. Menurut cerita masyarakat setempat, pertarungan ini terjadi selama 40 hari. Daerah di pangkalan yang tadinya penuh dengan semak – semak, batang kenuduk, semua menjadi rata dengan tanah. Pangkalan yang semula semak sekarang menjadi terang. Itulah sebabnya daerah ini disebut pangkalan terang.

Bagaimanapun sebuah pertarungan pasti ada kalah dan ada yang menang. Dengan kemahiran Awang Mahmuda, akhirnya Awang Bungsu dapat dikalahkan. Tak lama setelah kejadian itu, daerah yang bersimbah darah tumbuh patang piai meladang dari pangkalan sampai ke tepi jalan. Tapi sekarang piai itu hanya dijumpai satu-satu karena sudah banyaknya rumah penduduk. Seterusnya pangkalan terang ini terletak di sempadan antara kampung Parit dan Pelimau. Sekarang pangkalan terang jarang disebut – sebut, orang – orang hanya mengenalnya sebagai desa Kampung Parit.

Konon, menurut salah satu narasumber seseorang pernah termimpi bahwasanya di pangkalan terang itu terdapat batu raksasa dan kuil orang India. Kebenaran dari cerita tersebut belum dapat dipastikan.

0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN