Oleh : Alaiddin Koto
[ArtikelKeren] OPINI - Bagaikan mendengar petir di siang bolong, hampir semua penduduk di Indonesia terkejut luar biasa membaca head line semua surat kabar yang memberitakan ditangkapnya Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari hari yang lalu.
Bagaimana seorang ketua lembaga penegak hukum yang selama ini sangat diharapkan mampu menjaga martabat negeri bisa melalukan tindakan yang sangat menyedihkan hati rakyat itu?
Benarlah kata orang tua, “uang adalah penggoda yang paling hebat dan godaan yang paling berat” bagi siapa saja. Uang ternyata mempunyai kekuatan luar biasa untuk menguasai siapa saja yang lengah dengan imannya.
Uang adalah senjata pemungkas setan di saat seseorang tidak mampu digoda dengan wanita dan kuasa.
Tapi, terlepas dari benar atau tidaknya sangkaan yang dikenakan kepada Akil Mukhtar, masyarakat awam menjadi bingung luar biasa. Ada apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Semakin gencar gerakan anti korupsi disuarakan, semakin besar pula syahwat orang untuk melakukannya.
Bagaikan semut dengan madu. Betapapun kita memproteksi bejana tempat madu dengan meletakkan di atas air, tidak akan pernah menyurutkan keinginan semut untuk mereguknya, walau akhirnya sang semut akan mati tenggelam di lautan madu yang disyahwatinya.
Sepertinya, pemberantasan korupsi di negeri ini bagaikan kita memangkas dahan dan ranting pohon kayu yang masih hidup. Ditebas satu, tumbuh sepuluh.
Ditebas sepuluh, tumbuh seratus. Ditebas seratus, tumbuh seribu. Begitu terus menerus, sehingga korupsi benar-benar menjadi darah dan daging orang Indonesia sampai ke level terbawah dalam strata sosialnya.
Kenyataannya prilaku yang mengancam keutuhan suatu bangsa ini tidak bisa diberantas dengan memangkas-mangkas seperti dahan dan ranting kayu, melainkan harus dilakukan dengan membongkar akarnya sehingga mati dan diganti dengan pohon yang baru.
Tapi, apa atau di mana akar korupsi itu di negeri ini? Ibarat pohon, akar adalah sistem dan juga “penguasa” yang menjadi penentu baik atau tidak baik, hidup atau matinya sebuah pohon.
Membunuh pohon adalah dengan mencabut kekuasaan dan sistem yang menjadi penentu hidupnya pohon, yaitu akarnya.
Artinya, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi, yaitu mencabut kekuasaan dari tangan di pelaku korupsi, lalu kemudian membongkar sistem atau semua aturan yang diperkirakan memberi peluang atau mendorong orang melakukan korusp itu sendiri.
Karena kekuasaanlah seseorang berpeluang untuk melakukan penyelewengan, dan karena sistemlah orang tergoda dan juga bisa terlindungi dalam melakukan penyelewengan.
Kata orang tua, bila selama ini ternyata kita telah sesat jalan karena ulah kita sendiri, maka kembali ke pangkal jalan adalah keniscayaan.
Di negeri ini telah begitu banyak regulasi yang dilahirkan tidak lagi atas dasar hati nurani untuk menegakkan dan melindungi hak-hak rakyat, tetapi atas kepentingan-kepentingan tertentu yang dibungkus dengan bungkusan kemunafikan “atas nama rakyat.”
Sistem pemilihan umum atau Pemilukada yang diberlakukan pasca dan atas nama reformasi serta demokrasi seperti sekarang adalah di antara regulasi yang perlu ditinjau ulang.
Kenyataan menunjukkan bahwa melalui sistem yang berlaku sekarang, bangsa ini akan terjebak ke dalam jurang korupsi yang semakin mengerikan, karena semua diukur dengan uang, sehingga akhirnya berujung pula kepada “demi uang,” namun dengan bungkusan “demi masyarakat,”
Tapi, ada pertanyaan yang lebih mendasar lagi. Yaitu, siapa yang akan membongkar akar dan sistem itu di Indonesia?
Pertanyaan semacam itu mengemuka karena masyarakat melihat pihak-pihak dan lembaga-lembaga yang diharap untuk melakukan itu sudah hampir-hampir tidak ada yang dapat dipercaya lagi. Kecuali terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih mungkin untuk dipercayai, krisis kepercayaan kepada pejabat dan badan-badan negara yang ada telah begitu tipis, kalau tidak bisa dikatakan telah habis.
Apa lagi dengan tertangkapnya Akil Mochtar yang menjabat sebagai Ketua MK seperti disebut di atas itu, semakin lengkaplah ketidakkepercayaan tersebut.
Kini, putus asa adalah bayang-bayang yang membahayakan kehidupan berbangsa dan negara. Dikatakan membahayakan karena akan membuat suburnya apatisme dan prilaku bodoh di kalangan masyarakat, dan juga karena Allah mencap orang yang putus asa kepada rahmatnya sebagai kaum yang kufur.
Artinya, jawaban untuk pertanyaan di atas bagaikan menghasta (mengukur) lingkaran kain sarung. Berputar-putar dan berbelit-belit tidak habis-habisnya, lalu hasilnya begitu-begitu juga.
Tidak ada yang didapat kecuali lelah dan habis waktu. Bagaikan menyapu lantai yang kotor, sapu yang akan menyapu juga kotor. Jangankan bertambah bersih, tetapi justru bertambah kotor.
Dana habis tidak hanya untuk membersihkan lantai, tetapi juga untuk membersihkan sapu dan penyapu. lalu, siapa yang akan membersihkan semua ?
Kini berkembang suara di tengah masyarakat bahwa hanya ada dua jalan untuk memberantas dan atau menghentikan penyakit korupsi di negeri ini, yaitu revolusi atau pemutihan semua prilaku korupsi yang sudah ada.
Ibarat tubuh yang dihinggapi penyakit ganas, semua sel dan bahkan saraf telah dijalari kanker.
Transplantasi sel yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Itu maknanya revolusi. Atau, bila revolusi terlalu berat dan akan menimbulkan bencana yang sangat besar, maka memaafkan karuptor (baca: pemutihan) sampai batas waktu tertentu, lalu menyusun sistem baru dan melakukan penegakan hukum secara keras dan konsisten mungkin sebuah alternatif.***
Alaiddin Koto, Guru besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
[ArtikelKeren] OPINI - Bagaikan mendengar petir di siang bolong, hampir semua penduduk di Indonesia terkejut luar biasa membaca head line semua surat kabar yang memberitakan ditangkapnya Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari hari yang lalu.
Bagaimana seorang ketua lembaga penegak hukum yang selama ini sangat diharapkan mampu menjaga martabat negeri bisa melalukan tindakan yang sangat menyedihkan hati rakyat itu?
Benarlah kata orang tua, “uang adalah penggoda yang paling hebat dan godaan yang paling berat” bagi siapa saja. Uang ternyata mempunyai kekuatan luar biasa untuk menguasai siapa saja yang lengah dengan imannya.
Uang adalah senjata pemungkas setan di saat seseorang tidak mampu digoda dengan wanita dan kuasa.
Tapi, terlepas dari benar atau tidaknya sangkaan yang dikenakan kepada Akil Mukhtar, masyarakat awam menjadi bingung luar biasa. Ada apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Semakin gencar gerakan anti korupsi disuarakan, semakin besar pula syahwat orang untuk melakukannya.
Bagaikan semut dengan madu. Betapapun kita memproteksi bejana tempat madu dengan meletakkan di atas air, tidak akan pernah menyurutkan keinginan semut untuk mereguknya, walau akhirnya sang semut akan mati tenggelam di lautan madu yang disyahwatinya.
Sepertinya, pemberantasan korupsi di negeri ini bagaikan kita memangkas dahan dan ranting pohon kayu yang masih hidup. Ditebas satu, tumbuh sepuluh.
Ditebas sepuluh, tumbuh seratus. Ditebas seratus, tumbuh seribu. Begitu terus menerus, sehingga korupsi benar-benar menjadi darah dan daging orang Indonesia sampai ke level terbawah dalam strata sosialnya.
Kenyataannya prilaku yang mengancam keutuhan suatu bangsa ini tidak bisa diberantas dengan memangkas-mangkas seperti dahan dan ranting kayu, melainkan harus dilakukan dengan membongkar akarnya sehingga mati dan diganti dengan pohon yang baru.
Tapi, apa atau di mana akar korupsi itu di negeri ini? Ibarat pohon, akar adalah sistem dan juga “penguasa” yang menjadi penentu baik atau tidak baik, hidup atau matinya sebuah pohon.
Membunuh pohon adalah dengan mencabut kekuasaan dan sistem yang menjadi penentu hidupnya pohon, yaitu akarnya.
Artinya, ada dua hal yang perlu dilakukan untuk memberantas korupsi, yaitu mencabut kekuasaan dari tangan di pelaku korupsi, lalu kemudian membongkar sistem atau semua aturan yang diperkirakan memberi peluang atau mendorong orang melakukan korusp itu sendiri.
Karena kekuasaanlah seseorang berpeluang untuk melakukan penyelewengan, dan karena sistemlah orang tergoda dan juga bisa terlindungi dalam melakukan penyelewengan.
Kata orang tua, bila selama ini ternyata kita telah sesat jalan karena ulah kita sendiri, maka kembali ke pangkal jalan adalah keniscayaan.
Di negeri ini telah begitu banyak regulasi yang dilahirkan tidak lagi atas dasar hati nurani untuk menegakkan dan melindungi hak-hak rakyat, tetapi atas kepentingan-kepentingan tertentu yang dibungkus dengan bungkusan kemunafikan “atas nama rakyat.”
Sistem pemilihan umum atau Pemilukada yang diberlakukan pasca dan atas nama reformasi serta demokrasi seperti sekarang adalah di antara regulasi yang perlu ditinjau ulang.
Kenyataan menunjukkan bahwa melalui sistem yang berlaku sekarang, bangsa ini akan terjebak ke dalam jurang korupsi yang semakin mengerikan, karena semua diukur dengan uang, sehingga akhirnya berujung pula kepada “demi uang,” namun dengan bungkusan “demi masyarakat,”
Tapi, ada pertanyaan yang lebih mendasar lagi. Yaitu, siapa yang akan membongkar akar dan sistem itu di Indonesia?
Pertanyaan semacam itu mengemuka karena masyarakat melihat pihak-pihak dan lembaga-lembaga yang diharap untuk melakukan itu sudah hampir-hampir tidak ada yang dapat dipercaya lagi. Kecuali terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih mungkin untuk dipercayai, krisis kepercayaan kepada pejabat dan badan-badan negara yang ada telah begitu tipis, kalau tidak bisa dikatakan telah habis.
Apa lagi dengan tertangkapnya Akil Mochtar yang menjabat sebagai Ketua MK seperti disebut di atas itu, semakin lengkaplah ketidakkepercayaan tersebut.
Kini, putus asa adalah bayang-bayang yang membahayakan kehidupan berbangsa dan negara. Dikatakan membahayakan karena akan membuat suburnya apatisme dan prilaku bodoh di kalangan masyarakat, dan juga karena Allah mencap orang yang putus asa kepada rahmatnya sebagai kaum yang kufur.
Artinya, jawaban untuk pertanyaan di atas bagaikan menghasta (mengukur) lingkaran kain sarung. Berputar-putar dan berbelit-belit tidak habis-habisnya, lalu hasilnya begitu-begitu juga.
Tidak ada yang didapat kecuali lelah dan habis waktu. Bagaikan menyapu lantai yang kotor, sapu yang akan menyapu juga kotor. Jangankan bertambah bersih, tetapi justru bertambah kotor.
Dana habis tidak hanya untuk membersihkan lantai, tetapi juga untuk membersihkan sapu dan penyapu. lalu, siapa yang akan membersihkan semua ?
Kini berkembang suara di tengah masyarakat bahwa hanya ada dua jalan untuk memberantas dan atau menghentikan penyakit korupsi di negeri ini, yaitu revolusi atau pemutihan semua prilaku korupsi yang sudah ada.
Ibarat tubuh yang dihinggapi penyakit ganas, semua sel dan bahkan saraf telah dijalari kanker.
Transplantasi sel yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Itu maknanya revolusi. Atau, bila revolusi terlalu berat dan akan menimbulkan bencana yang sangat besar, maka memaafkan karuptor (baca: pemutihan) sampai batas waktu tertentu, lalu menyusun sistem baru dan melakukan penegakan hukum secara keras dan konsisten mungkin sebuah alternatif.***
Alaiddin Koto, Guru besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
Sumber : riaupos.co
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.