CERPEN | Jumadi Zanu Rois
[ArtikelKeren] CERPEN - Hari ini minggu yang ke lima. Kami masih juga tidak mendapat kabar dari kampung. Apa lagi kiriman uang. Simpanan telah pula menipis. Risau dengan biaya dengan yang harus kami keluarkan dalam minggu ini. Bagai mimpi buruk. Menikam setiap sendi di tubuh kami. Dari ujung rambut hingga ujung jari. Hanya kata sabar yang dapat aku lontarkan kepada adikku satu-satunya itu.
Tak biasa Ayah seperti ini. Kabar dari kampung biasanya kami dapat dari Ayah. Setiap akhir minggu Ayah selalu saja menelpon kami. Di minggu ke empat, Ayah akan menyuruh aku untuk mengecek di rekening. Untuk melihat kiriman uang. Setelah uangnya kami ambil. Aku akan segera menghubungi Ayah. Untuk mengucapkan terima kasih. Tidak biasanya Ayah seperti ini. Segala duga berkecamuk di benak kami.
"Kalau juga Ayah tidak megirim belanja. Kita makan apa, bang?’’
"Sabar Sin. Ayah tak mungkin lupa. Di musim hujan seperti ini, mungkin membuat ayah sulit untuk mendapatkan uang,’’ bujuk aku kepada Husin. Sambil kupandang Netbook yang wallpapernya ku pasang gambar kami sekeluarga.
"Inilah salah satu solusi jika kiriman tak juga kami terima akhir bulan ini,’’ kataku dalam hati.
"’Ini sudah hampir dua purnama, bang’’.
"Ya. Sabar. Lagi pun persediaan kita masih cukup sampai satu minggu ke depan’’.
"Lalu biaya kuliah kita?. Minggu ini terakhir kita harus bayar uang praktik’’.
"...................’’
Hasan hanya diam. Ingatan tentang biaya kuliah menghentak kepalanya. "Jika aku harus menjual Netbook ini, tak juga akan cukup untuk membayar biaya kuliah,’’ gumamku dalam hati.
"Kalau saja Ayah mengizinkan kita kerja sampingan. Tentu kita tak serumit ini, bang’’.
"Ayah hanya ingin kita kuliah. Ayah tak mau kerja akan menghambat kuliah kita. Cepat selesai. Cepat pulang kampung. Di kampung kita bisa praktekkan semua ilmu yang kita miliki. Dikampung lebih membutuhkan kita. Cuma itu harapan ayah’’.
Sejak kami meninggalkan kampung. Ayah telah menekan bahwa kami tidak boleh bekerja sampingan untuk mencari uang selama kuliah. "Kebun karet yang kita punya cukup untuk biaya kuliah kalian,’’ kata Ayah menjelang keberangkatan kami besok harinya. Ibu kota provinsi sangat jauh dari kampung kami. Ini terbukti kampung kami jarang mendapat jatah pembangunan.
"Maaf. Kami baru menyadari kampung ini ternyata mempunyai kekayaan tersendiri. Kami dari pihak pemerintah, akan bertanggung jawab dengan kemajuan kampung ini. Dalam jangka waktu dua tahun akan datang, kampung ini akan segera kami dirikan Sekolah Menengah Pertama. Tiga ruang kelas permanen akan segera kami bangunkan. Insya Allah. Yang menjadi pikiran kami sekarang, jarak letak kampung yang jauh dari kota akan menghambat barang masuk ke daerah ini. Maka perlu waktu yang lama untuk menjadikan kampung ini tak tertinggal dari kampung yang lain’’. Inilah pidato yang paling aku ingat ketika Bapak Bupati berkunjung di kampung kami. Saat itu aku kelas empat Sekolah Dasar.
Janji pak Bupati di tepati. Aku adalah siswa perdana di Sekolah Menengah Pertama itu. Dengan sepuluh orang murid yang semuanya laki-laki. Sekarang sekolah itu menjadi SMP Negeri 1 di kecamatan kami. Berkat Sekolah ini mengantarkan kami ke bangku kuliah.
Ingatanku tentang kampung terhenti. Husin menangis.
"Aku risau dengan ayah, bang’’.
"Apa yang kau pikirkan?’’
"Aku takut ada sesuatu terjadi dengan Ayah’’.
"Kita sama-sama berdoa. Semoga tidak terjadi sesuatu dengan Ayah,’’ tak sadar air mataku jatuh. Tatapanku jauh ke kampung. Bayangan Ayah merambah hutan pikiranku. Ingin segera aku berlari menemuinya.
***
Sudah tiga minggu. Kampung betul-betul ditandang kecamuk yang menakutkan. Malam-malam yang membuat para perempuan yang bersuami tak bisa tidur seperti biasa. Kampung semula terkenal aman dan tentram, tiba-tiba menjadi sebuah hutan puaka. Gemuruh tangis mengisi suasana malam bak simphoni dari sebuah orkestrasi dengan nada-nada sumbang dan mengerikan.
Hal yang tak pernah dibayangkan masyarakat kampung ini sebelumnya. Begitu juga Maskur dan Salma. Pasangan suami istri yang juga tinggal di kampung ini. Sejak kedatangan mereka dari pulau Jawa dua puluh lima tahun lalu, tak pernah mereka mengalami kejadian seperti ini. Kini kampung mereka betul-betul bagai momok yang siap menerkam mereka. Para suami sibuk menyiapkan berbagai senjata tajam. Sedang para istri hanya bisa menangis sedaya mereka. Sebab mereka tahu, suami mereka tetap tidak akan membatalkan niat untuk melepas geram malam itu. Suasana seperti ini pun terjadi di rumah Maskur dan Salma.
Di luar rumah. Suara tangis dan teriakan begitu membuat telinga Salma bergetar hebat. Dari pelupuk mata, mengalir air membasah sebagian pipinya.
"Bagaimana dengan nasib anak kita, bang?’’
"’Kau kan masih ada’’.
"Jadi abang betul-betul ingin bunuh diri?’’
"Siapa yang ingin bunuh diri?’’
"Melawan mereka sama dengan bunuh diri, bang’’.
"Kami hanya mempertahankan hak kami. Kalau pun nyawa kami melayang, setidaknya itu sebagai bukti kami dalam mempertahankan hak’’.
Semakin membuncah air mata Salma mendengar penjelasan suaminya. Dari mata istrinya, Maskur melihat ada keraguan atas keputusan yang dipilih ini. Maskur sangat mengerti Salma. Jika Salma sudah tidak sanggup lagi melarang, maka air mata adalah kata-kata terakhir yang digunakan. Tak jarang Maskur pun akan membatalkan segala niat untuk sesuatu hal. Derai air matanya mengabarkan betapa dia tidak akan kuat bila hidup tak ada suami di sampingnya. Tapi untuk sekali ini. Maskur harus memaksa kehendaknya kepada istrinya itu.
"Ini marwah. Walau nyawa taruhannya. Kalau nanti nasib buruk menimpa abang, keikhlasanmu sangat abang harapkan. Ini juga merupakan tugas abang sebagai ayah dan sebagai suami. Sesuatu yang menjadi milik keluarga jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Anak-anak kita tidak boleh menjadi asing di kampungnya sendiri. Kampung ini akan menjadi harta warisan untuk mereka kelak,’’ jelas Maskur sembari membelai rambut istrinya.
Betapa Maskur melihat kecantikan sang istri menancap jauh ke dalam hatinya. Wajah istrinya tak ubah saat pertama kali mereka bertemu. Tak bisa dia ingkari. Kecantikan parasnya membuat Maskur bergejolak untuk memilikinya. Kini kebersamaan mereka sudah dua puluh lima tahun. Segala ombak telah mereka tempuh bersama. Dari rahim istrinya, telah lahir dua laki-laki tangguh. Anak mereka. Tidak terlintas di pikiran Maskur untuk menduakan sang istri. Meskipun, garis keturunan Ayahnya beristri banyak, ternyata tak mengalir di darah Maskur. Keperempuanan Salma, menjadikan Maskur sebagai laki-laki yang paling beruntung di dunia.
"Terima kasih Salma. Dari lembut tanganmu telah kau jahit sulam sutra yang begitu indah,’’ puji Maskur di dalam hati saat bibirnya menyentuh kening sang istri.
Maskur melenggang meninggalkan Salma. tak ada sedikit pun keraguan dari setiap langkahnya. Meski air mata Istrinya semakin mengalir. Dengan langkah tegap dan sebelah kapak di tangan kirinya, Maskur telah hilang dari penglihatan Salma.
Malam itu. Suasana kampung sangat mencekam. Mungkin beginilah nanti saat kiamat datang. Tak ada suara azan yang terdengar. Sejak Maghrib, semua laki-laki telah mengumpul di rumah Hanafi. Segala kegiatan telah diliburkan. Begitu pula kegiatan mengaji di rumah Wak Samat. Anak-anak dan perempuan tidak di izinkan untuk keluar.
"Sesiapa yang masih menyimpan takut, sebaiknya mundur. Kami izinkan untuk segera tinggalkan kampung ini,’’ kata-kata Hanafi mengumandang ke telinga yang hadir.
Ada enam puluh lima orang berkumpul di halaman rumah Hanafi. Di tangan mereka telah pula terdapat berbagai macam senjata tajam. Dari pisau, celurit, grambik, kapak, panah, senapan angin, parang, rantai kapal, kayu dan lima kilo minyak benzin per orang. Dari wajah mereka tak ada sedikit pun ketakutan. Saat ini nyawa bagi mereka bukanlah barang yang berharga. Semangat mempertahankan hak mereka adalah senjata paling ampuh.
"Segala akibat buruk bukanlah suatu kebetulan. Lebih baik mati berdiri dari pada hidup berlutut. Nenek moyang kita telah mewariskan kampung ini. Adalah tugas kita untuk mempertahankannya. Inilah malam bukti bahwa kita ada. Akan kita hapus ingatan mereka tentang kampung tak berpenduduk ini’’. Semangat Hanafi begitu berkobar. Membakar segala rasa takut.
Sebuah lakon akan segera dipentaskan. Bukan sandiwara. Ini nyata. Setelah menyusun rencana penyerangan. Enam puluh lima orang itu bergegas menuju barak tempat mereka istirahat. Membakar semua alat berat adalah rencana yang pertama. Sepuluh alat berat yang telah meratakan hutan di kampung ini mengeluarkan dentuman yang sangat keras. Dentuman keras di sambut dengan tembakan dari pihak keamanan perusahaan dan juga masyarakat kampung. Pertempuran pisik tak pula dapat di elak. Ratusan keamanan tentara, polisi, sampai sekuriti dari pihak perusahaan dengan senjata lengkap menyebar mencari penduduk.
"Jangan ada satu pun yang mundur!’’ jerit Hanafi dari balik semak.
Masyarakat menyerbu. Gelap malam tak buat mata mereka rabun mencari musuh. Pukulan, sabitan, lemparan, sampai tembakan tak berhenti. Beberapa lemparan yang mengenai kepala sama sekali tak buat hancur semangat Maskur dan kawan-kawan. Satu tembakan melesat. Tembakan dari pihak lawan mengenai lutut. Persis di samping Maskur. Sontel terluka. Geram di dada Maskur semakin bergejolak.
DOR...!!! Sebuah peluru mendarat mulus ke dada Maskur. Kini giliran Maskur tertembak. Seketika saja ia merasa dunia terang.
Tiba-tiba saja bayangan anak-anak menatapnya dengan tangisan. Ia teringat Salma. Senyum manis, lembut rambut, wangi tubuh serta masakan istrinya begitu terasa di hidungnya.
Anak-anaknya, Hasan dan Husin. Harapannya. Tingkah mereka ketika masih anak-anak berlari di ingatan Maskur. Dialah yang memandikan mereka setelah selesai bermain debu. Dia juga yang mengantar mereka saat pertama kali mendaftar ke sekolah. Memberi tanda tangan setiap akhir semester di raport sekolah. Dia juga ingat kalau ia belum mengirimkan biaya kuliah untuk kedua buah hatinya. Setiap helai lembaran kenangan bersama mereka berjalan begitu cepat. Tak bisa terbaca setiap kalimat. Dengan teriakkan Maskur sampaikan sebuah azam.
"Ini tanah kalian!. Pertahankan!’’
Inilah bakti Maskur kepada mereka. Bakti terakhir untuk mereka dan kampung ini. Maskur sekarat. Seketika cahaya menghilang dari matanya.***
Jumadi Zanu Rois
adalah alumnus jurusan Seni Teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Memainkan dan menyutradari sejumlah pertunjukan teater, dan mengikuti sejumlah festival teater di Bandung dan Yogyakarta. Kini ia mulai menekuni sastra, dengan terus belajar membaca dan menulis. Tinggal di Pekanbaru.
[ArtikelKeren] CERPEN - Hari ini minggu yang ke lima. Kami masih juga tidak mendapat kabar dari kampung. Apa lagi kiriman uang. Simpanan telah pula menipis. Risau dengan biaya dengan yang harus kami keluarkan dalam minggu ini. Bagai mimpi buruk. Menikam setiap sendi di tubuh kami. Dari ujung rambut hingga ujung jari. Hanya kata sabar yang dapat aku lontarkan kepada adikku satu-satunya itu.
Tak biasa Ayah seperti ini. Kabar dari kampung biasanya kami dapat dari Ayah. Setiap akhir minggu Ayah selalu saja menelpon kami. Di minggu ke empat, Ayah akan menyuruh aku untuk mengecek di rekening. Untuk melihat kiriman uang. Setelah uangnya kami ambil. Aku akan segera menghubungi Ayah. Untuk mengucapkan terima kasih. Tidak biasanya Ayah seperti ini. Segala duga berkecamuk di benak kami.
"Kalau juga Ayah tidak megirim belanja. Kita makan apa, bang?’’
"Sabar Sin. Ayah tak mungkin lupa. Di musim hujan seperti ini, mungkin membuat ayah sulit untuk mendapatkan uang,’’ bujuk aku kepada Husin. Sambil kupandang Netbook yang wallpapernya ku pasang gambar kami sekeluarga.
"Inilah salah satu solusi jika kiriman tak juga kami terima akhir bulan ini,’’ kataku dalam hati.
"’Ini sudah hampir dua purnama, bang’’.
"Ya. Sabar. Lagi pun persediaan kita masih cukup sampai satu minggu ke depan’’.
"Lalu biaya kuliah kita?. Minggu ini terakhir kita harus bayar uang praktik’’.
"...................’’
Hasan hanya diam. Ingatan tentang biaya kuliah menghentak kepalanya. "Jika aku harus menjual Netbook ini, tak juga akan cukup untuk membayar biaya kuliah,’’ gumamku dalam hati.
"Kalau saja Ayah mengizinkan kita kerja sampingan. Tentu kita tak serumit ini, bang’’.
"Ayah hanya ingin kita kuliah. Ayah tak mau kerja akan menghambat kuliah kita. Cepat selesai. Cepat pulang kampung. Di kampung kita bisa praktekkan semua ilmu yang kita miliki. Dikampung lebih membutuhkan kita. Cuma itu harapan ayah’’.
Sejak kami meninggalkan kampung. Ayah telah menekan bahwa kami tidak boleh bekerja sampingan untuk mencari uang selama kuliah. "Kebun karet yang kita punya cukup untuk biaya kuliah kalian,’’ kata Ayah menjelang keberangkatan kami besok harinya. Ibu kota provinsi sangat jauh dari kampung kami. Ini terbukti kampung kami jarang mendapat jatah pembangunan.
"Maaf. Kami baru menyadari kampung ini ternyata mempunyai kekayaan tersendiri. Kami dari pihak pemerintah, akan bertanggung jawab dengan kemajuan kampung ini. Dalam jangka waktu dua tahun akan datang, kampung ini akan segera kami dirikan Sekolah Menengah Pertama. Tiga ruang kelas permanen akan segera kami bangunkan. Insya Allah. Yang menjadi pikiran kami sekarang, jarak letak kampung yang jauh dari kota akan menghambat barang masuk ke daerah ini. Maka perlu waktu yang lama untuk menjadikan kampung ini tak tertinggal dari kampung yang lain’’. Inilah pidato yang paling aku ingat ketika Bapak Bupati berkunjung di kampung kami. Saat itu aku kelas empat Sekolah Dasar.
Janji pak Bupati di tepati. Aku adalah siswa perdana di Sekolah Menengah Pertama itu. Dengan sepuluh orang murid yang semuanya laki-laki. Sekarang sekolah itu menjadi SMP Negeri 1 di kecamatan kami. Berkat Sekolah ini mengantarkan kami ke bangku kuliah.
Ingatanku tentang kampung terhenti. Husin menangis.
"Aku risau dengan ayah, bang’’.
"Apa yang kau pikirkan?’’
"Aku takut ada sesuatu terjadi dengan Ayah’’.
"Kita sama-sama berdoa. Semoga tidak terjadi sesuatu dengan Ayah,’’ tak sadar air mataku jatuh. Tatapanku jauh ke kampung. Bayangan Ayah merambah hutan pikiranku. Ingin segera aku berlari menemuinya.
***
Sudah tiga minggu. Kampung betul-betul ditandang kecamuk yang menakutkan. Malam-malam yang membuat para perempuan yang bersuami tak bisa tidur seperti biasa. Kampung semula terkenal aman dan tentram, tiba-tiba menjadi sebuah hutan puaka. Gemuruh tangis mengisi suasana malam bak simphoni dari sebuah orkestrasi dengan nada-nada sumbang dan mengerikan.
Hal yang tak pernah dibayangkan masyarakat kampung ini sebelumnya. Begitu juga Maskur dan Salma. Pasangan suami istri yang juga tinggal di kampung ini. Sejak kedatangan mereka dari pulau Jawa dua puluh lima tahun lalu, tak pernah mereka mengalami kejadian seperti ini. Kini kampung mereka betul-betul bagai momok yang siap menerkam mereka. Para suami sibuk menyiapkan berbagai senjata tajam. Sedang para istri hanya bisa menangis sedaya mereka. Sebab mereka tahu, suami mereka tetap tidak akan membatalkan niat untuk melepas geram malam itu. Suasana seperti ini pun terjadi di rumah Maskur dan Salma.
Di luar rumah. Suara tangis dan teriakan begitu membuat telinga Salma bergetar hebat. Dari pelupuk mata, mengalir air membasah sebagian pipinya.
"Bagaimana dengan nasib anak kita, bang?’’
"’Kau kan masih ada’’.
"Jadi abang betul-betul ingin bunuh diri?’’
"Siapa yang ingin bunuh diri?’’
"Melawan mereka sama dengan bunuh diri, bang’’.
"Kami hanya mempertahankan hak kami. Kalau pun nyawa kami melayang, setidaknya itu sebagai bukti kami dalam mempertahankan hak’’.
Semakin membuncah air mata Salma mendengar penjelasan suaminya. Dari mata istrinya, Maskur melihat ada keraguan atas keputusan yang dipilih ini. Maskur sangat mengerti Salma. Jika Salma sudah tidak sanggup lagi melarang, maka air mata adalah kata-kata terakhir yang digunakan. Tak jarang Maskur pun akan membatalkan segala niat untuk sesuatu hal. Derai air matanya mengabarkan betapa dia tidak akan kuat bila hidup tak ada suami di sampingnya. Tapi untuk sekali ini. Maskur harus memaksa kehendaknya kepada istrinya itu.
"Ini marwah. Walau nyawa taruhannya. Kalau nanti nasib buruk menimpa abang, keikhlasanmu sangat abang harapkan. Ini juga merupakan tugas abang sebagai ayah dan sebagai suami. Sesuatu yang menjadi milik keluarga jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Anak-anak kita tidak boleh menjadi asing di kampungnya sendiri. Kampung ini akan menjadi harta warisan untuk mereka kelak,’’ jelas Maskur sembari membelai rambut istrinya.
Betapa Maskur melihat kecantikan sang istri menancap jauh ke dalam hatinya. Wajah istrinya tak ubah saat pertama kali mereka bertemu. Tak bisa dia ingkari. Kecantikan parasnya membuat Maskur bergejolak untuk memilikinya. Kini kebersamaan mereka sudah dua puluh lima tahun. Segala ombak telah mereka tempuh bersama. Dari rahim istrinya, telah lahir dua laki-laki tangguh. Anak mereka. Tidak terlintas di pikiran Maskur untuk menduakan sang istri. Meskipun, garis keturunan Ayahnya beristri banyak, ternyata tak mengalir di darah Maskur. Keperempuanan Salma, menjadikan Maskur sebagai laki-laki yang paling beruntung di dunia.
"Terima kasih Salma. Dari lembut tanganmu telah kau jahit sulam sutra yang begitu indah,’’ puji Maskur di dalam hati saat bibirnya menyentuh kening sang istri.
Maskur melenggang meninggalkan Salma. tak ada sedikit pun keraguan dari setiap langkahnya. Meski air mata Istrinya semakin mengalir. Dengan langkah tegap dan sebelah kapak di tangan kirinya, Maskur telah hilang dari penglihatan Salma.
Malam itu. Suasana kampung sangat mencekam. Mungkin beginilah nanti saat kiamat datang. Tak ada suara azan yang terdengar. Sejak Maghrib, semua laki-laki telah mengumpul di rumah Hanafi. Segala kegiatan telah diliburkan. Begitu pula kegiatan mengaji di rumah Wak Samat. Anak-anak dan perempuan tidak di izinkan untuk keluar.
"Sesiapa yang masih menyimpan takut, sebaiknya mundur. Kami izinkan untuk segera tinggalkan kampung ini,’’ kata-kata Hanafi mengumandang ke telinga yang hadir.
Ada enam puluh lima orang berkumpul di halaman rumah Hanafi. Di tangan mereka telah pula terdapat berbagai macam senjata tajam. Dari pisau, celurit, grambik, kapak, panah, senapan angin, parang, rantai kapal, kayu dan lima kilo minyak benzin per orang. Dari wajah mereka tak ada sedikit pun ketakutan. Saat ini nyawa bagi mereka bukanlah barang yang berharga. Semangat mempertahankan hak mereka adalah senjata paling ampuh.
"Segala akibat buruk bukanlah suatu kebetulan. Lebih baik mati berdiri dari pada hidup berlutut. Nenek moyang kita telah mewariskan kampung ini. Adalah tugas kita untuk mempertahankannya. Inilah malam bukti bahwa kita ada. Akan kita hapus ingatan mereka tentang kampung tak berpenduduk ini’’. Semangat Hanafi begitu berkobar. Membakar segala rasa takut.
Sebuah lakon akan segera dipentaskan. Bukan sandiwara. Ini nyata. Setelah menyusun rencana penyerangan. Enam puluh lima orang itu bergegas menuju barak tempat mereka istirahat. Membakar semua alat berat adalah rencana yang pertama. Sepuluh alat berat yang telah meratakan hutan di kampung ini mengeluarkan dentuman yang sangat keras. Dentuman keras di sambut dengan tembakan dari pihak keamanan perusahaan dan juga masyarakat kampung. Pertempuran pisik tak pula dapat di elak. Ratusan keamanan tentara, polisi, sampai sekuriti dari pihak perusahaan dengan senjata lengkap menyebar mencari penduduk.
"Jangan ada satu pun yang mundur!’’ jerit Hanafi dari balik semak.
Masyarakat menyerbu. Gelap malam tak buat mata mereka rabun mencari musuh. Pukulan, sabitan, lemparan, sampai tembakan tak berhenti. Beberapa lemparan yang mengenai kepala sama sekali tak buat hancur semangat Maskur dan kawan-kawan. Satu tembakan melesat. Tembakan dari pihak lawan mengenai lutut. Persis di samping Maskur. Sontel terluka. Geram di dada Maskur semakin bergejolak.
DOR...!!! Sebuah peluru mendarat mulus ke dada Maskur. Kini giliran Maskur tertembak. Seketika saja ia merasa dunia terang.
Tiba-tiba saja bayangan anak-anak menatapnya dengan tangisan. Ia teringat Salma. Senyum manis, lembut rambut, wangi tubuh serta masakan istrinya begitu terasa di hidungnya.
Anak-anaknya, Hasan dan Husin. Harapannya. Tingkah mereka ketika masih anak-anak berlari di ingatan Maskur. Dialah yang memandikan mereka setelah selesai bermain debu. Dia juga yang mengantar mereka saat pertama kali mendaftar ke sekolah. Memberi tanda tangan setiap akhir semester di raport sekolah. Dia juga ingat kalau ia belum mengirimkan biaya kuliah untuk kedua buah hatinya. Setiap helai lembaran kenangan bersama mereka berjalan begitu cepat. Tak bisa terbaca setiap kalimat. Dengan teriakkan Maskur sampaikan sebuah azam.
"Ini tanah kalian!. Pertahankan!’’
Inilah bakti Maskur kepada mereka. Bakti terakhir untuk mereka dan kampung ini. Maskur sekarat. Seketika cahaya menghilang dari matanya.***
Jumadi Zanu Rois
adalah alumnus jurusan Seni Teater Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Memainkan dan menyutradari sejumlah pertunjukan teater, dan mengikuti sejumlah festival teater di Bandung dan Yogyakarta. Kini ia mulai menekuni sastra, dengan terus belajar membaca dan menulis. Tinggal di Pekanbaru.
0 komentar :
Posting Komentar
Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.