Dalam setiap kehidupan, ada kesedihan dan kebahagiaan, ada hari dimana kita kehilangan kepercayaan kita, hari dimana teman kita melawan diri kita sendiri. Tapi hari itu tak akan pernah datang saat kita membela suatu hal yang paling berharga dalam hidup ~ @MotivatorSuper

Selasa, 03 Desember 2013

Pemidanaan atas Kelalaian

Selasa, Desember 03, 2013 By Unknown No comments

Oleh : Erdianto Effendi


[ArtikelKeren] OPINI - Yang dapat kita tangkap dari berbagai pernyataan pembelaan para dokter di dunia maya dan aksi-aksi unjuk rasa dan mogok adalah bahwa apa yang menjadi alasan pemidanaan dr Ayu dan rekannya adalah bahwa dr Ayu dan rekannya bukan penentu kematian pasien tetapi sudah takdir Tuhan. Ini lah yang mungkin perlu diluruskan.

Pembuktian dalam hukum dunia tidak sama dengan pembuktian hukum Tuhan dalam kehidupan beragama. Dalam agama (Islam), ketidaksengajaan tidak menyebabkan kita berdosa, hanya sengaja lah yang membuat kita berdosa.

Lupa bahwa kita sedang puasa sehingga kita makan sampai kenyang tidak menyebabkan batalnya puasa.

Dalam hukum dunia, manusia tidak berdaya menerka apa isi hati manusia lainnya. Karena itu ada pepatah, “dalam laut dapat diduga, isi hati siapa yang tahu”.

Karenanya, semuanya harus dibuktikan dengan jalan yang juga dapat dirasa dan dilihat oleh manusia lain, itulah yang disebut dengan pembuktian kebenaran ilmiah.

Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran Ilahiah yang untuk menyakini kebenarannya berdasarkan keyakinan, baru dibuktikan dengan cara-cara empiris, percaya dulu baru buktikan. Sedang dalam kebenaran ilmiah, buktikan dulu baru percaya.

Itu lah salah satu sebab mengapa ada pasal kelalaian dalam hukum dunia, karena kita tidak pernah tahu apakah orang secara sengaja atau tidak melakukan sesuatu yang berdampak kerugian bagi orang lain.

Jika para pengendara yang tidak sengaja menabrak orang lalu menimbulkan kematian dimaafkan dan tidak dihukum karena alasan tidak sengaja, maka akan besar sekali kemungkinannya menabrak dengan kendaraan sebagai sarana manusia untuk saling membunuh dengan sarana kendaraan bermotor.

Hukum dunia sangat sulit menentukan kapan orang sengaja menabrak atau tidak sengaja menabrak.

Bukan Kesengajaan Saja

Bahkan lagi para terpidana yang diputus bersalah karena membunuh, banyak di antaranya tidak sengaja membunuh, karena jika sengaja membunuh, ia bukan dipidana dengan pasal pembunuhan biasa (338 KUHP) tetapi tentu saja akan dihukum dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya jauh lebih berat.

Banyak kasus di mana seseorang hanya memukul untuk melumpuhkan tetapi ternyata berakibat pada kematian, ia dipidana dengan tuduhan membunuh.

Hukum pidana menganggap orang dewasa sudah dapat memperkirakan seberapa bahaya pukulan yang ia lakukan apakah akan dapat menyebabkan kematian atau tidak.

Jika ternyata ia beralasan tidak dapat memperkirakan akibat dari pukulan yang ia lakukan, maka tentu saja hakim atau penyidik akan meminta keterangan ahli kejiwaan apakah orang tersebut normal jiwanya atau tidak.

Jika ada satu saja alasan yang menerangkan bahwa orang tersebut tidak normal jiwanya, maka baik penyidik, penuntut umum maupun hakim akan melepaskan orang tersebut dari segala tuntutan, dan berdasarkan Pasal 44 KUHP orang tersebut tidak dapat mempertangggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya tidak boleh dihukum.

Sepanjang ia normal, maka ia akan dihukum dengan pasal pembunuhan biasa (338) walaupun ia mengaku tidak berniat membunuh. Pembunuhan adalah delik materil yang menekankan pada akibat yang timbul dari perbuatan pelaku.

Hakim akan menilai sejauh mana hubungan sebab akibat dari perbuatan pelaku sehingga menyebabkan matinya seseorang. Menyebabkan kematian orang lain yang jauh lebih ringan hukumannya adalah penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain yang diatur dalam Pasal 351 dan yang paling ringan adalah diatur dalam Pasal 359 yaitu kelalaian yang menyebabkan orang lain mati.

Pasal ini lah yang paling sering digunakan untuk menghukum para pengendara kendaraan bermotor yang “tidak sengaja” menyebabkan matinya orang.

Yakinlah bahwa tidak ada seorang pun orang yang berniat membunuh ketika membeli mobil atau motor, dan publik pun sesungguhnya bersimpati kepada para pengendara yang telah berhati-hati tapi secara tidak sengaja menyebabkan matinya orang lain.

Dalam hal ini pun hakim akan sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara.

Tidak semua pengendara yang terlibat kecelakaan lalu lintas maut akan dipidana. Hakim akan sangat teliti dan seksama menilai apakah ada hubungan sebab akibat sehingga si pengendara layak dipersalahkan. Harus dipastikan benar apa yang menjadi penyebab kematian korban kecelakaan lalu lintas itu.

Begitu juga dalam kasus korupsi, jangan bayangkan semua pelaku korupsi secara sengaja mengambil uang negara untuk kepentingan pribadinya.

Banyak juga di antara mereka yang sebenarnya sama sekali tidak menikmati uang yang dituduhakan kepada mereka. Yang menikmati boleh jadi bawahan mereka, tetapi mereka tetap dihukum karena dituduh lalai dalam mengawasi anak buahnya sehingga timbul kerugian pada keuangan negara.

Mens Rea

Dalam hukum pidana ada dua sebab atau unsur yang membuat seseorang dapat dipidana yaitu actus reus (unsur objektif) dan mens rea (unsur subjektif). Kesengajaan dan kelalaian adalah bagian dari unsur subjektif tadi.

Orang dipersalahkan bukan saja karena sengaja melakukan suatu tindak pidana tetapi juga karena kelalaiannya. Dan sudah tentu, hukuman untuk yang sengaja dengan tidak sengaja (lalai) akan berbeda.

Maksud dihadirkannya lembaga kelalaian dalam hukum pidana selain karena sesama manusia tidak dapat menerka isi hati orang lain, adalah agar setiap orang berhati-hati dalam menjalankan aktivitasnya.

Jika telah hati-hati, tetapi timbul juga suatu peristiwa pidana, maka itu lah yang disebut sebagai kelalaian kecil atau lemah.

Bagaimana kita menilai sesuatu itu sebagai kelalaian besar atau kecil? Ukurannya dikembalikan kepada kepatutan pada umumnya.

Seorang ibu yang bermain dengan anaknya yang masih kecil di tepi sebuah sungai atau kolam seharusnya memahami bahwa akan ada kemungkinan anaknya berlari ke dalam sungai atau kolam.

Karena itu hukum pidana menentukan agar si ibu berhati-hati. Jika si ibu tidak mengawasi anaknya dengan benar, maka si ibu akan dianggap lalai.

Bukankah sebagai orang dewasa yang normal seharusnya ia sudah dapat memperhitungkan kemungkinan yang umumnya terjadi. Akan tetapi kalau si ibu melakukan hal-hal yang biasa seperti dilakukan orang lain, tetapi peristiwa pidana tetap terjadi maka si ibu tidak dapat dipersalahkan.

Begitu juga seorang pejabat yang dituduh lalai dalam mengawasi anak buahnya sehingga terjadi kerugian keuangan negara. Jika si pejabat telah melakukan tindakan-tindakan yang benar dalam mencegah timbulnya kerugian keuangan negara, walaupun pada faktanya tetap timbul kerugian pada keuangan negara, maka si pejabat akan dilepaskan dari segala tuntutan. Sifat kelalaianya menjadi hapus.

Itu lah yang juga terjadi di dunia kedokteran. Seorang dokter yang telah melakukan tugasnya dengan baik sebagaimana dilakukan dokter lain dan standar profesi tetapi ternyata menimbulkan kematian bagi pasiennya, tentu saja tidak dapat dipidana. Kalau tiap kematian pasien dokter dianggap orang yang bertanggung jawab, maka tentu saja penjara akan penuh.

Namun, jika ternyata terbukti bahwa si dokter tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sebagai seorang dokter atau melalukan sesuatu yang tidak sesuai prosedur, maka si dokter diangggap lalai.

Lalai sehingga menyebabkan matinya orang tidak sama dengan membunuh. Perbuatannya berbeda dan karenanya hukumannya berbeda pula.

Orang dapat dihukum bukan saja karena melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang akan tetapi oleh karena ia tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.

Dalam kasus dr Ayu dan rekannya, kita tidak mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi. Tetapi tentu saja para hakim bukanlah orang yang mengerti teknis dan prosedur standar pelayanan pasien.

Untuk mengetahui standar dan prosedur pelayanan pasien tentu saja hakim menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan ahli yang sudah tentu adalah para dokter juga.

Jadi hakim tidak serta merta menjatuhkan putusan tanpa alat bukti, yang mana salah satu alat bukti itu bernama keterangan ahli.

Namun dalam dunia hukum berlaku adagium twi juristen tri meningen (dua orang sarjana hukum akan menghasilkan tiga pendapat).

Di Pengadilan Negeri para dokter tersebut dibebaskan, namun di Mahkamah Agung dinyatakan bersalah. Hakim seperti juga dokter adalah manusia biasa yang mungkin salah.

Kesalahan dokter bisa menyebabkan kematian orang lain, kesalahan hakim bisa menyebabkan orang yang tidak bersalah dihukum atau orang yang salah tidak dihukum.

Namun bedanya adalah bahwa kesalahan dokter dalam menangani pasien dapat dihukum, kesalahan hakim dalam memutus perkara tidak dapat dihukum berupa pidana, namun tetap dapat dihukum dalam bentuk sanksi lain.

Perbedaan lain, walaupun mungkin salah, putusan hakim harus tetap diangggap benar dan harus dilaksanakan.***(ak27/rp)



Erdianto Effendi
Dosen Hukum Pidana FH Unri dan kandidat doktor di Unpad


0 komentar :

Posting Komentar

Terima kasih atas partisipasi anda. Semoga hari ini menyenangkan.


http://artikelkeren27.blogspot.com/2014/01/hasil-seleksi-cpns-kota-pekanbaru-2013.html

http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-kelulusan-cpns-kementerian.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/pengumuman-daftar-nilai-tkd-dan-tkb.html



http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-indragiri.html


http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-kuantan.html
http://artikelkeren27.blogspot.com/2013/12/hasil-seleksi-cpns-kabupaten-siak-2013.html










PETUNJUK PENGGUNAAN